Habib Utsman Bin Yahya dan Revitalisasi Keilmuan Kini

 Habib Utsman bin Yahya dikenal sebagai mufti Batavia yang melegenda. Kota Batavia di masa lalu saat VOC mempunyai kantor perwakilan

Habib Utsman bin Yahya dikenal sebagai mufti Batavia yang melegenda. Kota Batavia di masa lalu saat VOC mempunyai kantor perwakilan

Foto: wrecksite.eu
Habib Utsman bin Yahya dikenal sebagai mufti Batavia yang melegenda
Provinsi DKI Jakarta yang dikenal dengan Batavia era dulu, memiliki banyak ulama terkemuka. Kealimannya menjadi panutan dan teladan sampai saat ini.

Salah satunya adalah Habib Utsman bin Yahya adalah salah satu dari jajaran ulama Betawi yang tersohor dan memiliki karya yang tidak bisa dibilang sedikit. 

Habib Utsman memiliki keistimewaan dibanding ulama Betawi lainnya, karena mendapatkan gelar sebagai Mufti Agung Batavia, gelar yang sangat langka ditemui di Indonesia. 

Habib Ali bin Yahya, sejarawan sekaligus penulis biografi ulama dan tokoh-tokoh Muslim, menceritakan biografi ulama bernama lengkap Utsman bin Abdullah bin Agil bin Yahya atau lebih dikenal dengan nama Habib Ustman bin Yahya. 

Ulama kelahiran Jakarta 1822 tersebut merupakan salah satu cendekiawan Muslim yang aktif menciptakan karya-karya tulis, baik berupa kitab, risalah, maupun manuskrip. 

“Karya beliau yang tertera di dalam ensiklopedi ulama pilihan, ada sekitar 150, dalam berbagai bentuk. Kebanyakan berbahasa Arab Melayu, sepertiga persen, Arab, sepertiga persen, dan sisanya dalam bahasa Jawa dan Sunda,” jelas Habib Ali dalam pengajian virtual karya Habib Utsman bin Yahya yang diselenggarakan Rabithah Ma’ahid Islamiyah-NU DKI Jakarta, Rabu (17/11). 

Meski lahir dan meninggal di Jakarta, namun Habib Utsman merupakan keturunan Makkah. Ayahnya, Abdullah bin Agil bin Yahya, merupakan kelahiran Mekah, sedangkan ibunya, Aminah binti Syekh Abdurahman al-Misri merupakan keturunan ulama Mesir. Sejak berusia tiga tahun, Habib Utsman dididik sang kekek, Agil bin Yahya, yang juga merupakan ulama kelahiran Makkah. 

Saat berusia 19 tahun, tahun 1841, Habib Utsman merantau ke kampung halaman ayahanda, Mekah, dan menuntut ilmu di sana. 

Tak tanggung-tanggung, Habib Utsman menghabiskan waktu selama 21 tahun untuk belajar kepada banyak guru-guru masyhur di Makkah hingga Hadramaut. 

Habib Utsman pertama kali belajar di Mekah selama 5-6 tahun, beliau belajar pada banyak guru, salah satunya Syaikh Ahmad bin Zaini Dahlan, seorang Mufti Makkah dan tokoh berpengaruh di sana,” jelas Habib Ali. 

“Pada 1847, Habib Utsman merantau ke Hadramaut dan belajar selama 15 tahun pada banyak tokoh di sana, salah satunya Syekh Abdullah bin Husain bin Thahir,” sambungnya.   

Bukan hanya menuntut ilmu di Makkah...

Bukan hanya menuntut ilmu di Makkah dan Hadramaut, melainkan Habib Utsman juga sempat mengunjungi delapan negara lain pada 1855, mulai dari Madinah, Mesir, Tunisia, Aljazair, Maroko, Istanbul, Suriah, dan Palestina.

Pada 1862, ketika berusia 40 tahun, Habib Utsman kembali ke tanah kelahirannya, Jakarta, dan bergabung dalam majelis ilmu milik Syeikh Abdul Ghani al-Bimawy, putra Syeikh Subuh, mantan imam Masjidil Haram, hingga akhirnya menggantikan posisi Syeikh Abdul Ghani untuk mengajar hingga diakui sebagai mufti Batavia.  

Adapun karya pertama Habib Utsman adalah kitab mengenai manasik haji dan umrah yang diterbitkan pada 1875, saat beliau berusia 53 tahun. Meski telah berusia senja, namun sepanjang hayatnya, Habib Utsman berhasil menghasilkan sekitar 150 tulisan dengan berbagai jenis ilmu dan tema. 

Habib Ali menjelaskan, beliau menulis dalam berbagai bahasa, paling banyak dalam bahasa Arab Melayu karena beliau ingin karyanya dapat dipahami masyarakat.

Karya beliau ada yang membahas tentang ibadah sehari-hari, fikih, tasawuf, ada pula yang membahas tema tertentu seperti perhiasan untuk wanita, maulid, dan lainnya. “Jadi kitab Habib Utsman ada yang per disiplin ilmu ada yang sesuai tema,” jelas Habib Ali.

Selama memimpin majelis ilmu, murid-murid Habib Utsman bukan hanya berasal dari wilayah Jakarta melalinkan juga wilayah lain di Jawa Barat, maka mengherankan banyak kitab-kitab beliau yang diterjemahkan dalam bahasa Sunda. Selain menampilkan tema dan ilmu yang dibutuhkan masyarakat, Habib Utsman juga aktif menanggapi dan memberikan solusi atad persoalan yang terjadi di masyarakat. 

“Habib Utsman juga aktif merespon persoalan nasional, seperti Sarekat Dagang Islam, atau Sarekat Islam, yang didirikan KH Samanhudi yang bertujuan untuk menggalang kerjasama antara pedagang Islam demi memajukan kesejahteraan pedagang Muslim pribumi,” kata Habib Ali. 

Habib Ali juga menggarisbawahi kelengkapan dan kedalaman pembahasan ilmu yang terkandung dalam karya-karya Habib Utsman bin Yahya. 

Karya beliau, kata dia, memiliki pembahasan yang sangat dalam dan menyertakan kutipan dari banyak kitab langka. “Jadi walaupun banyak kitabnya yang tipis, jika dibandingkan kitab karya ulama lain, tapi isi kandungannya sangan lengkap dan kaya,” sambung Habib Ali.  

Hingga kini karya Habib...

Hingga kini karya Habib Utsman bin Yahya dapat dijumpai di Perpustakaan Nasional. Di antara yang terkenal antara lain Sifat 20, yang masih menjadi bacaan di majelis taklim Betawi.    

Sementara itu, Ketua PW RMI-NU DKI Jakarta, KH Rakhmad Zailani Kiki mengatakan, kajian kitab kuning perlu terus dibudayakan untuk menghindari terjadinya misinterpretasi atau salah tafsir.  

“Kita perlu membuka kembali pengajian kitab kuning karena ngaji harus bersumber pada sanad, jangan hanya mengandalkan google,apalagi jika sanadnya tidak jelas,” kata Rakhmad, dalam pertemuan virtual, Rabu (17/11). 

Dia mengatakan, penting untuk kembali mengkaji karya-karya ulama lokal, terlebih karya Habib Utsman bin Yahya sebagai ulama batavia yang disegani pada zamannya, terlebih masih banyak umat Muslim Jakarta yang belum mengerahui sosok beliau. 

Berdasarkan hasil survei RMI-NU DKI Jakarta, dari 234 majelis taklim seluruh Jakarta yang menggelar pengajian kitab kuning untuk laki-laki, tidak ada satu pun yang mengkaji kitab karangan Habib Utsman bin Yahya. 

“Berdasarkan survei kami, tidak ada satu pun dari 234 majelis taklim kitab kuning seluruh Jakarta yang mengajarkan karya habib utsman bin yahya padahal karya beliau hingga kini masih dapat ditemui di toko-toko kitab bahkan di toko emperan,” jelas Rakhmad. 

“Fakta ironis ini, menandakan adanya penurunan minat untuk mencaritahu karya-karya ulama lokal, khususnya ulama Betawi,” sambungnya, menambahkan bahwa kedepannya RMI-NU DKI Jakarta akan meningkatkan pengkajian kitab kuning karya ulama-ulama betawi di majelis hingga pesantren.  

Sementara itu, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta, Syamsul Ma'arif, mengatakan bahwa kajian kitab-kitab klasik adalah salah satu dari program yang tengah diupayakan PWNU. 

Dia mengatakan, sejatinya tradisi tulis-menulis telah ada sejak lama dan diterapkan oleh ulama-ulama terdahulu. Namun sayangnya kebiasaan tersebut semakin terkikis seiring berkembangnya zaman. 

Dia menyebutkan, tradisi membaca, menulis harus menjadi keseharian kita, tapi memang ada perbedaan kegiatan para santri zaman dulu dengan zaman sekarang, terutama dalam hal mengkaji kitab kuning. 

   “Saya berharap para ulama Jakarta bisa membiasakan diri untuk menulis dan membaca kitab seperti yang dicontohkan ulama-ulama terdahulu, sehingga ilmu yang diterangkan dalam kitab kuning bisa terus mengalir,” ujarnya.Rol

No comments: