Harapan Syahid yang tak Tercapai
Nama lengkapnya ialah Khalid bin Walid bin Mughirah bin Abdullah bin Umar. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah SAW pada Murrah bin Ka’ab. Oleh kawan-kawannya, ia kerap disapa dengan sebutan Abu Sulaiman atau Abu Walid.
Lelaki yang berperawakan gagah ini lahir 30 tahun sebelum Hijriyah atau kira-kira pada 592 Masehi. Ketika Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi utusan Allah, Khalid berumur 27 tahun. Beda usia antara dirinya dan Nabi SAW sekitar 22 tahun.
Secara kekerabatan, putra Walid bin Mughirah tersebut tidak begitu jauh dengan al-Musthafa. Anak saudagar yang kaya raya itu memiliki ibu bernama Lubabah ash-Shughra binti Harits. Ummul mukminin Maimunah binti Harits merupakan saudara kandung Lubabah.
Adapun Lubabah al-Kubra merupakan istri paman Nabi SAW, Abbas bin Abdul Muthalib. Menurut Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah fii Tamyiz ash-Shahabah, ibunda Khalid bin Walid wafat dalam keadaan memeluk Islam.
Masuk Islamnya Khalid bin Walid berkaitan dengan situasi umat Islam sejak Perjanjian Hudaibiyah. Sesuai kesepakatan, Rasul SAW dan kaum Muslimin akhirnya dapat memasuki Masjidil Haram, usai umrah mereka tertunda.
Khalid menyaksikan, betapa luar biasa umat Islam bersatu. Mereka diikat oleh iman dan kecintaan pada Allah dan Rasul-Nya. Pemandangan ini mengguncang jiwa sang jawara Quraisy.
View this post on Instagram
Berdirilah ia di tengah pemuka Quraisy dan berseru, “Sekarang nyata sudah bagi setiap orang yang berpikiran sehat bahwa Muhammad bukanlah seorang tukang sihir! Dia juga bukan seorang penyair! Apa yang dikatakannya adalah firman Tuhan semesta alam. Setiap orang yang punya hati nurani dan berakal pasti ingin menjadi pengikutnya!”
Seorang tokoh Quraisy menimpali, “Engkau telah murtad, wahai Khalid! Tidakkah engkau ingat bagaimana pengikut Muhammad telah melukai ayahmu!? Pamanmu dan sepupumu dibunuh mereka dalam Perang Badar!?”
“Yang kau katakan hanya didorong semangat fanatisme buta! Terserah kalian mau berkata apa, bagiku kebenaran sudah jelas! Demi Allah aku mengikuti agama Islam,” tegasnya.
Bagaimanapun, akhir hidup Khalid tidak sesuai dengan cita-citanya sebagai panglima jihad kaum Muslim. Khalid begitu sedih menyadari maut menjemput dirinya di atas kasur, bukan gugur di medan perang.
Padahal, ia telah menghabiskan hampir seluruh masa hidup di atas punggung kuda, di bawah kilatan pedang, dan berhadap-hadapan dengan musuh Allah.
Dialah yang dengan heroik menyertai peperangan bersama Rasulullah SAW. Pedang Khalid telah merontokkan keangkuhan Kekaisaran Persia dan Romawi. Seluruh kawasan Irak dan Syam telah dibebaskannya agar Islam semakin berjaya.
Dan, di sinilah ia meratapi kematian yang kian dekat sembari terbujur di atas kasur. Khalid mengungkapkan kepiluan hatinya dengan berkata, "Sungguh, aku telah mengikuti tiap peperangan ini dan itu.
Tidak ada satu jengkal pun pada tubuhku melainkan padanya terdapat bekas sabetan pedang dan lemparan anak panah. Akan tetapi, sekarang aku mati di atas kasurku bagaikan seekor unta. Namun, mata-mata para pengecut jangan sampai tertidur."
Saat nyawa lepas dari jasadnya, Khalid hanya meninggalkan harta berupa seekor kuda, sebilah pedang, dan seorang budak. Melihat kenyataan ini, Khalifah Umar bin Khattab berkata, "Semoga Allah merahmati Abu Sulaiman (Khalid ). Keadaannya persis seperti apa yang kami sangkakan."
Khalid wafat pada tahun 21 Hijriyah di Syam. rol
No comments:
Post a Comment