Napak Tilas Perang Pasifik di Tarakan
Hari masih siang saat saya menjejajakkan kaki di Bandara Juwata, Tarakan, Kalimantan Timur (18/8/2011). Perjalanan kurang lebih 3 jam ditempuh non stop dari Jakarta dengan transit di Balikpapan cukup melelahkan. Sepanjang perjalanan udara Balikpapan-Tarakan, penumpang disuguhi pemandangan unik berupa “ukiran bukit” yang merupakan kawasan tambang batubara. Deretan bukit dikeruk, digali, memenuhi hasrat ekonomi para petambang dengan puluhan eskavator. Bandara Juwata sendiri termasuk kategori Kelas 1 Khusus, saya menduga mungkin karena disebelahnya merupakan pangkalan militer ditandai dengan sejumlah pesawat militer dan helikopter tempur buatan Rusia bertengger.
“Selamat Datang di Tarakan, Gerbang Utara Borneo”. Segera saja saya langsung mencari peta wisata. Tarakan banyak menyimpan warisan sejarah terutama akibat peranan pentingnya di saat Perang Pasifik 1942-1945 dimana Tarakan menjadi tenpat transit pasukan sekutu yang akan menggempur pasukan Jepang. Sebelumnya, Tarakan juga konon menjadi tempat pendaratan pasukan Jepang sebelum merangsek bergerak menguasai Hindia Belanda (Indonesia). Dari Tarakan inilah, pasukan Jepang kemudian menggempur Belanda hingga menyerah melalui Perjanjian Kalijati. (Sumber: Buku Sejarah)
Jauh sebelum perang, Tarakan sudah mempesona dengan adanya penemuan minyak. Dan hingga hari ini, kita dapat menyaksikan sejumlah perusahaan minyak ternama masih memompa minyak dari bumi Tarakan. Belasan pompa “angguk” beroperasi sepanjang waktu dan yang sudah pensiun pun masih dapat dilihat. Mungkin karena potensinya inilah, Belanda menjadikan Tarakan sebagai salah satu basis militer penting dan sebaliknya bagi Jepang, penting juga untuk ditaklukkan.
Di daerah Juwata Laut (Tarakan bagian utara), kita masih dapat menyaksikan meriam-meriam yang dipasang di puncak-puncak bukit menghadap ke laut lepas. Meriam yang sudah terkena korosi parah ini seakan bercerita bahwa dulu ditempatnya berada, kerap terjadi kontak senjata hebat dengan nyawa pasukan sebagai taruhannya. Sayangnya, situs sejarah ini sudah berada didalam areal tanah mili sebuah perusahaan penggilingan kayu sehingga tidak mudah diakses. Saya sendiri harus menghubungi Kepala Desa setempat untuk mendapatkan ijin masuk.
Selain meriam, di kawasan ini juga banyak terdapat kantung persembunyian bawah tanah (bunker), terbuat dari beton yang ditanam dalam perut bukit. Konon, bunker-bunker ini adalah menjadi gudang senjata dan tempat berlindung bagi pasukan yang bertahan. Menurut Pak Nurda (70), warga setempat, kantung persembunyian ini dibangun tahun 1930-an oleh pihak Belanda. Mungkin saat itu ancaman serangan dari luar sudah terasa sehingga Belanda membangun bunker.
Kantung persembuyian (bunker) di Tarakan berukuran sekitar panjang 4 meter, lebar 3 meter dan tinggi cukup seukuran kepala (170 cm). Betonnya begitu kokoh, cukup sukar membayangkan bahwa lebih dari 80 tahun lalu, ternyata teknik beton yang digunakan sudah sangat maju, sementara di Indonesia sendiri, baru sekitar tahun 1990-an, mulai “demam” beton. Kondisi di dalam bunker sangat lembab, gelap karena tidak ada penerangan listrik. Lagi-lagi sangat disayangkan bahwa warisan sejarah penting semacam ini mungkin akan segera musnah dimakan usia.
Sejenak pikiran melayang, membayangkan perang pasifik sedang berkecamuk. Ketika pengeboman, maka semua orang bersembunyi di dalam bunker sambil harap-harap cemas. Sementara diluar, mereka yang gagah berani bertempur tembak menembak dengan meriam-meriam yang dipasang di puncak-puncak bukit menghadap ke laut lepas..Lamunan kemudian seketika sirna saat pandangan mata bertumpu pada karat-karat akut yang menggerogoti bekas-bekas meriam, serta bunker yang lembab, gelap dan tidak terawat.
Akhsin Muamar
No comments:
Post a Comment