17 Oktober 59 Tahun Lalu, Angkatan Darat Mengepung Istana Negara

Ada sebuah peristiwa bersejarah yang terjadi pada tanggal 17 Oktober 1952, limapuluh sembilan tahun dari sekarang. Peristiwa itu adalah pengepungan Istana Negara oleh Angkatan Darat dibawah pimpinan AH Nasution. Ada sejumlah konflik di internal militer, ada pula konflik antar elit pemimpin negara dan antar lembaga negara. Ada ketidakpercayaan terhadap lembaga legislatif, namun juga ketidakpercayaan terhadap Presiden Soekarno.

Pada tanggal 17 Oktober 1952 terjadi demonstrasi di Jakarta. Semula massa mendatangi gedung parlemen, kemudian mereka menuju Istana Presiden untuk mengajukan tuntutan pembubaran parlemen dan menggantinya dengan parlemen baru serta tuntutan segera dilaksanakan pemilihan umum. Penyebab utama dari peristiwa ini adalah terlalu jauhnya campur tangan kaum politisi terhadap masalah intern Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI).

Demonstrasi ini direncanakan Markas Besar Angkatan Darat atas inisiatif Letnan Kolonel Sutoko dan Letnan Kolonel S. Parman. Pelaksanaannya diorganisasi oleh Kolonel dr. Mustopo Kepala Kedokteran Gigi Angkatan Darat dan Perwira Penghubung Presiden, dan Letkol Kemal Idris, Komandan Garnisun Jakarta. Seksi Intel Divisi Siliwangi mengerahkan demonstran dari luar Ibukota dengan menggunakan kendaraan truk militer.

Pada waktu itu, Pasukan Tank muncul di Lapangan Merdeka, dan beberapa pucuk meriam diarahkan ke Istana Presiden. Peristiwa 17 Oktober 1952 ini diupayakan diselesaikan melalui pertemuan Rapat Collegial (Raco) tanggal 25 Februari 1955 yang melahirkan kesepakatan Piagam Keutuhan Angkatan Darat yang ditandatangani oleh 29 perwira senior Angkatan Darat.

Saat Abdurrahman Wahid menjadi Presiden RI, berulang-ulang mengingatkan peristiwa itu di berbagai kesempatan. Mungkin itu dilakukan sebagai warning pada Militer bahwa ia tidak takut sejarah akan berulang. Presiden Wahid berujar bahwa BungKarno tidak gentar menghadapi ancaman tentara begitupun dirinya. Pesan yang ingin disampaikan kurang lebih, ia tidak akan mundur atau mengundurkan diri dari jabatannya sebelum tahun 2004, apapun resikonya. Namun ternyata Gus Dur berhenti sebelum masa kepemimpinannya berakhir.

Peristiwa Spontan

Menurut Harry Kawilarang, peristiwa 17 Oktober 1952 adalah suatu gerakan spontan dalam bentuk demonstrasi yang dimotori sejumlah perwira AD. Demonstrasi diikuti ribuan massa sempat memasuki dan mengobrak-abrik ruang sidang Parlemen. Mereka lalu berkumpul di depan Istana Merdeka. Di sana sudah siap pasukan kavaleri dan artileri Angkatan Darat lengkap dengan kendaraan lapis baja. Laras meriam dari pasukan artileri diarahkan ke Istana.

Para demonstran mengajukan tuntutan agar Presiden membubarkan Parlemen, karena dinilai tidak membawakan aspirasi rakyat. Agar diadakan pemilihan umum untuk menentukan anggota Parlemen baru. Berbagai spanduk bertuliskan “Bubarkan Parlemen,” “Adakan Segera Pemilihan Umum,” “Pergunakan Pasal 84 Undang-undang Dasar Sementara,” dan sebagainya.

Presiden Soekarno menyatakan tidak akan membubarkan Parlemen, karena tak mau menjadi diktator. Sebagai orator ulung, Soekarno berhasil membubarkan para demonstran. Kolonel Nasution diberhentikan. Bahkan posisi KSAP dihapuskan, untuk mendepak Simatupang.

Catatan Berulang: Tidak Kompak

Ternyata carut-marut antar lembaga penyelenggara negara sudah terjadi sejak zaman Soekarno sampai zaman Susilo Bambang Yudhoyono. Konflik di tubuh militer, dari dulu sudah ada. Konflik antara Pemerintah dengan legislatif, dari dulu juga sudah ada. Ketidaknyamanan militer kepada lembaga legislatif, dari dulu sudah ada. Catatan sejarah hanya berulang, dan kita gagal menghentikannya.

Hari ini, limapuluh sembilan tahun dari peristiwa pengepungan Istana Negara oleh Angkatan Darat, kondisi negara kita tidak kunjung membaik. Dalam bentuk yang berbeda, karena agenda yang juga berbeda, corak persoalan penyelenggaraan negara kita sesungguhnya sama. “Kita tidak bisa kompak”. Apapun alasannya.

Di internal instansi atau lembaga saja susah untuk kompak, apalagi antar lembaga. Misalnya di tubuh lembaga legislatif, mereka sulit kompak karena ada kepentingan komisi, fraksi dan kepentingan lain. Di satu fraksi saja sulit kompak, karena ada kepentingan personal dan perbedaan pandangan antar anggota. Di internal parpol sudah terbukti banyak konflik, sehingga sulit untuk membangun parpol yang solid dan kokoh.

Pemerintah atau eksekutif juga tidak bisa kompak. Ada ego sektoral kementrian, ego sektoral lembaga negara, dan lain sebagainya. Pada satu kementrian saja juga sulit berlaku kompak, karena banyaknya kepentingan yang ada di dalamnya. Bahkan seorang Menteri pernah bercerita, salah satu sebab sulit kompak itu bahkan ada di regulasi. Ada peraturan yang saling tidak mendukung satu dengan lainnya, yang membuat sulit berlaku kompak antar bagian di dalam kementrian itu. Belum lagi yang dari faktor personal.

Di lingkungan militer juga terjadi ketidakkompakan antar tiga angkatan, Darat, Laut dan Udara. Belum lagi hubungannya dengan Kepolisian. Demikianlah semua bagian dalam lembaga penyelenggara negara, terjadi ketidakkompakan. Dari dulu sampai sekarang. Waktu belajar kita sesungguhnya sudah sangat panjang. Namun kita tidak bisa melakukan perubahan yang berarti dalam membuat semua bisa kompak. Saling serang antar elit, saling tuduh menuduh, saling memukul dan mengambil kesempatan.

Sampai kapan ?

1. http://id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_17_Oktober

2. http://www.mail-archive.com/zamanku@yahoogroups.com/msg02916.html

Cahyadi Takariawan

No comments: