Arsip dan Sejarah I; Menelisik Naskah Proklamasi
Dalam Metode Sejarah, penelusuran sumber atau heuristik merupakan tahap pertama menurut Kuntowijoyo; atau tahap kedua menurut Louis Gottschalk—tahap pertama: menentukan tema/ judul kajian. Apapun, sumber sejarah—baik primer, sekunder, maupun tersier—merupakan hal penting untuk melanjutkan ke tahap-tahap selanjutnya: kritik (intern dan ekstern), interpretasi, dan historiografi. Semakin ‘dekat’ sumber sejarah kepada peristiwa sejarah maka semakin pentinglah sumber tersebut, sedemikian primer. Sumber sejarah juga bisa berbeda berdasarkan bentuknya: tulisan yang menjangkau dokumen, koran, buku, catatan harian; dan wawancara terutama untuk periode kontemporer yang terwawancara (interviewee) mengalaminya sendiri, apabila terwawancara ‘hanya’ saksi ahli atau bukan pelaku sejarah maka statusnya adalah informan. Lebih lanjut, sumber sejarah—sebagaimana bentuk arsip—juga berbeda-beda. Bisa berupa kertas, pandang, dengar, dan pandang-dengar.
Selanjutnya, mari kita sama-sama lakukan tahap kedua (menurut Kuntowijoyo, atau ketiga menurut Gottschalk) yaitu kritik. Diorama Sejarah Perjalanan Bangsa Arsip Nasional Republik Indonesia—selanjutnya Diorama—menerakan ketiga ragam sumber primer dari naskah proklamasi. Pertama, tulisan tangan oleh Soekarno. Terdapat coretan pada kata penjerahan, namun akhirnya kata yang tertulis adalah pemindahan. Juga kata dioesahakan yang dicoret menjadi diselenggarakan. Kedua, tulisan yang ditik Sayuti Melik. Ragam yang kedua ini bersih dari coretan, dan menariknya terdapat perbedaan kata-kata. Pada ragam pertama tertulis wakil2 bangsa Indonesia, namun pada ragam kedua tertulis atas nama bangsa Indonesia. Juga penambahan hari 17 boelan 8, tahoen 05. Ketiga, ragam yang sering diperdengarkan terutama pada Perayaan Proklamasi Kemerdekaan. Ragam yang ketiga ini baru direkam lima tahun kemudian, jadi pada waktu pembacaan Proklamasi oleh Soekarno, begitu saja dibacakan tanpa direkam, namun berita Proklamasi tersebut terus menyebar ke seantero negeri. Apa yang membedakan kedua ragam yang pertama dengan ragam yang ketiga adalah perbedaan tahun. Pada ragam pertama dan kedua tertulis ’05, sedangkan apa yang terdengar pada ragam yang ketiga adalah seribu sembilanratus empatpuluh lima. ’05 mengacu pada Tahun Showa 2005. Satu lagi perbedaan: pelafalan diselenggarakan menjadi diselenggaraken, tempoh menjadi tempo, d. l. l. menjadi dan lain-lain. Jadi waktu Indonesia ‘diduduki’ Jepang, semua penduduknya mendadak lebih tua 60 tahun. Penulis persilakan menyimak ketiga ragam ini dengan mengunjungi Diorama.
Ragam pertama dan kedua merupakan sumber primer, bahkan ragam pertama merupakan sumber otentik atau asli, karena ditulis seketika peristiwa itu terjadi. Ragam ketiga masih merupakan sumber primer karena masih merujuk pada kedua ragam sumber primer. Sehingga kita masih bisa melakukan periksa-silang (koroborasi). Hal inilah yang tidak kita dapati pada naskah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966, karena kedua ragam yang terdapat pada Diorama pun berbeda satu sama lain. Kesamaan ragam pertama dan kedua adalah pada ejaan yang belum disempurnakan seperti menjatakan, Hal2, jang, kekoesaan, tjara, saksama, tempoh, sesingkat-singkatnja, Djakarta, wakil2, boelan, dan tahoen.
Selanjutnya, mari kita sama-sama lakukan tahap kedua (menurut Kuntowijoyo, atau ketiga menurut Gottschalk) yaitu kritik. Diorama Sejarah Perjalanan Bangsa Arsip Nasional Republik Indonesia—selanjutnya Diorama—menerakan ketiga ragam sumber primer dari naskah proklamasi. Pertama, tulisan tangan oleh Soekarno. Terdapat coretan pada kata penjerahan, namun akhirnya kata yang tertulis adalah pemindahan. Juga kata dioesahakan yang dicoret menjadi diselenggarakan. Kedua, tulisan yang ditik Sayuti Melik. Ragam yang kedua ini bersih dari coretan, dan menariknya terdapat perbedaan kata-kata. Pada ragam pertama tertulis wakil2 bangsa Indonesia, namun pada ragam kedua tertulis atas nama bangsa Indonesia. Juga penambahan hari 17 boelan 8, tahoen 05. Ketiga, ragam yang sering diperdengarkan terutama pada Perayaan Proklamasi Kemerdekaan. Ragam yang ketiga ini baru direkam lima tahun kemudian, jadi pada waktu pembacaan Proklamasi oleh Soekarno, begitu saja dibacakan tanpa direkam, namun berita Proklamasi tersebut terus menyebar ke seantero negeri. Apa yang membedakan kedua ragam yang pertama dengan ragam yang ketiga adalah perbedaan tahun. Pada ragam pertama dan kedua tertulis ’05, sedangkan apa yang terdengar pada ragam yang ketiga adalah seribu sembilanratus empatpuluh lima. ’05 mengacu pada Tahun Showa 2005. Satu lagi perbedaan: pelafalan diselenggarakan menjadi diselenggaraken, tempoh menjadi tempo, d. l. l. menjadi dan lain-lain. Jadi waktu Indonesia ‘diduduki’ Jepang, semua penduduknya mendadak lebih tua 60 tahun. Penulis persilakan menyimak ketiga ragam ini dengan mengunjungi Diorama.
Ragam pertama dan kedua merupakan sumber primer, bahkan ragam pertama merupakan sumber otentik atau asli, karena ditulis seketika peristiwa itu terjadi. Ragam ketiga masih merupakan sumber primer karena masih merujuk pada kedua ragam sumber primer. Sehingga kita masih bisa melakukan periksa-silang (koroborasi). Hal inilah yang tidak kita dapati pada naskah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966, karena kedua ragam yang terdapat pada Diorama pun berbeda satu sama lain. Kesamaan ragam pertama dan kedua adalah pada ejaan yang belum disempurnakan seperti menjatakan, Hal2, jang, kekoesaan, tjara, saksama, tempoh, sesingkat-singkatnja, Djakarta, wakil2, boelan, dan tahoen.
I. Tulisan tangan oleh Soekarno
II. Tulisan yang Ditik Sayuti Melik
No comments:
Post a Comment