Betawi: Cikal Bakal dan Filosofi Sejarah
Keberadan Indonesia memang sering banyak dipertanyakan oleh banyak pihak, bagaimana tidak, indonesia terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, dan keanekaragaman budaya. Hal ini, menurut budayawan Emha ainun nadjib mengindikasikan bahwa di Indonesia ini telah terjadi proses sejarah yang sangat panjang dan tidak dengan begitu mudah untuk mengungkapkan satu persatu secara mendetail terhadap keberadaan sejarah panjang Indonesia itu sendiri.
Keunikan sejarah ini kadang membuat para sejarawan dari dalam maupun luar negri dengan tanggap dengan memulai proyek-proyek penelitian sejarah yang sampai sekarang ada yang tuntas maupun masih dalam proses penyelesaian. Semua itu dilakukan hanya untuk proses penghayatan terhadap sejarah itu sendiri maupun pencatatan sejarah, yang mana bahwa kehidupan ini tidak dimulai dengan sendirinya “begitu saja” ada proses panjang yang dilaluinya “sejarah”. Dengan begitu dapat mengetahui pola-pola kehidupan pada saat itu, tohadanya sekarang khan karena adanya masa lalu.
Menurut Wilhelm Dilthey, bahwa terdapat suatu konstruksi spekulatif yang dimaksudkan untuk menemukan makna dalam sejarah sebagai cara memahami dengan lebih mendalam daripada penelitian historis, maka dari itu yang terpending adalah pola-pola atau hubungan-hubungan yang memberikan makna pada sejarah itu.[1]Memang demikian adanya perihal sejarah manusia yang mengindikasikan perubahan alur yang dinamis “tidak statis” dan terkadang perubahan itu tidak terlihat (tidak tercatat).
Secara singkat dapat diungkapkan oleh sejarah bahwa awalnya Indonesia adalah dari keberadaan Nama kepulauan besar yang disebut Jawa, kemudian semakin mengerucut berubah menjadi Nusantara, dan saat ini menjadi Indonesia. Dari hal ini saja tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat keanekaragaman dalam berbagai hal di dalam Indonesia pada saat ini.
Sejarah ini tidak dilalui dengan waktu yang singkat akan tetapi melaui waktu yang sangat panjang, begitu juga dengan keberadaan suku-suku yang ada di Indonesia. Ada beragam suku yang terbentuk dari proses kehidupan dulu maupun sekarang dan mungkin akan ada lagi suku-suku baru yang terbentuk oleh proses keadaan dan perkembangan kehidupan, karena memang secara lahiriah manusia memiliki sifat yang tidak statis, selalu buerubah-ubah menurut waktu dan keadaan yang dilaluinya.
Suku betawi adalah salah satu dari sekian banyak suku yang ada di Indonesia, yang terbentuknya juga melalui proses sejarah panjang dan terbilang baru, kemunculannya tercatat oleh para sejarawan, sekitar pada abad 19.
Keberadaan suku betawi saat ini yang berada dalam pulau jawa di bagian barat (Jawa barat) dan terdapat dalam provinsi “kota” Jakarta, yang mana kota Jakarta terbentuk oleh proses sejarah yang rumit dengan keadaan kota ini yang telah tergantikan namanya sekitar 3 kali sebelum menjadi nama yang saat ini, Jakarta.
Sejarah Betawi
Daerah yang sekarang dikenal dengan nama Jakarta memiliki sejarah yang cuku panjang. Dari hasil penggalian arkeologi di berbagai tempat, terutama di sepanajng sungai ciliwung, dapat dipastikan bahwa daerah itu sudah mulai dihuni orang sejak sekitar tiga ribu tahun yang lalu. Salah satu kerajaan tertua di Indonesia, Tarumanegara, kekuasaannya juga meliputi daerah ini. Ssetelah Tarumanegara runtuh, dan muncul kerajaan sunda beberapa abad kemudian, daerah Jakarta bahkan sebagai pintu utama hubungan dagang dan politik kerajaan itu dengan daerah lain. Pada masa itu daerah tersebut dikenal dengan nama Kalapa.[2]
Daerah Kalapa yang menjadi kekuasaan Sunda kelapa pada saat itu, ditaklukan oleh tentara gabungan muslim dari Cirebon dan banten di bawah pimpinan Fatahillah, menantu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung jati, itu terjadi pada tahun 22 juni 1527. Kemudian Sunan Gunung jati mengganti nama Kalapa dengan Jayakarta, kata yang berarti kemenangan besar. Bagi kesultanan muslim terebutnya daerah Kalapa adalah penanda lengpnya keruntuhan kerajaan Hindu di Jawa barat.[3]
Penguasaan Fatahillah atas Jayakarta memang tidak lama (1527-1610), namun telah mengubah masyarakat setempat menjadi beragama Islam. Bahkan telah mengislamkan masyarakat dari Cirebon, Indramayu hingga ke banten.
Pada tahun 1610 VOC (orang Belanda yang tergabung dalam persekutuan dagang) berhasil merebut kota Jayakarta dan menjadikan pusat kekuasaanya, kemudian mengganti nama Jayakarta dengan Batavia.[4]
Pimpinan VOC pada saat itu, Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon coen (J.P. Coen), memberikan corak yang khas pada kota Batavia, menjadikan kota ini tertutup bagi masyarakat pribumi dan dipagari oleh tembok yang kokoh, dijaga ketat oleh para serdadu VOC. Hanya orang-orang belanda dan para pegawai serta budak-budaknya, yakni dengan mendatangkan para tawanan pribumi sebagai budak dari berbagai suku di indonesia, mulai dari Jawa, Sunda, Sulawesi Selatan, Sumbawa, Ambon dan Banda, dan Melayu. Warga pribumi sendiri berada diluar tembok Batavia dan ada juga yang melarikan diri jauh dari tembok batavia [5]
Adapun orang-orang yang tinggal di Batavia pinggiran selain daripada warga pribumi, mereka datang untuk proses perdagangan, terdiri dari cina, Pakistan, india dan arab. Kemudian orang-orang cina lah yang mengawali proses kemajuan perdagangan pada saat itu, sehingga membuat VOC menjadi geram, akhirnya terjadilah pembunuhan besar-besaran terhadap orang cina, hal ini terjadi pada tahun 1741 kemudian orang cina dipindahkan dalam satu tempat yang disebut kampung cina yang sekarang disebut Glodok.[6] Adapun orang Mardjikers yaitu orang-orang yang dibebaskan dari status budak mereka sering disebut juga portugis karena berasal dari wilayah jajahan portugis tentu saja mereka berkulit hitam, memang asalnya sebenarnmya dari Afrika selatan.[7]
Batavia yang menjadi pusat kekuasaan dan sebelumnya memang telah menjadi pusat pintu perdagangan dari berbagai arah, sehingga dalam tahun-tahun berikutnya banyak berdatangan warga Indonesia ke kota ini untuk proses perdagangan, sehingga mereka yang datang ke kota ini ditempatkan dan dikelompokkan menurut kelompok suku “etnis” masing-masing. Maka terlihat banyak nama tempat di Jakarta memakai nama kelompoknya. Lain hal nya dengan orang-orang sunda mereka dianggap sebagai penduduk asli, maka dari itu dicatat dalam daftar penduduk Batavia. [8]
Entah bagaimana proses kejadiannya sehingga nama Batavia diganti namanya menjadi Jakarta. Yang saat ini sebagai ibu kota Indonesia.
Menutup sejarah terbentuknya komposisi penduduk Cikal bakalpenduduk Jakarta dapat ditarik kesimpulan bahwa komponen penduduk yang berasal dari berbagai tempat dan golongan itulah yang pada akhirnya merupakan asal-usul pembentuk masyarakat yang mewujudkan suku baru yang kita kenal sebagai sebagai suku betawi.[9] Sementara nama betawi diambil dari pengucapan atas kata Batavia yang mana warga pribumi yang tidak bisa melafalkan kata Batavia dengan baik sehingga menjadi betawi. Demikian juga dari segi bahasa, tokoh masyarakat betawi saat ini —Ridwan saidi— mengatakan: tidak ada, bahasa betawi terbentuk dari berbagai macam bahasa dari berbagai suku yang ada pada saat itu.[10] Muhadjir menyebutnya dengan bahas baru dengan sebutan bahasa melayu lokal.[11]
Sepanjang abad ke-18, kelompok terbesar penduduk kota berstatus budak. Komposisi mereka cepat berubah karena banyak yang mati. Demikian juga dengan orang Mardijker. Karena itu, jumlah mereka turun dengan cepat pada abad itu dan pada awal abad ke-19 mulai diserap dalam kaum Betawi, Oleh sebab itu, apa yang disebut dengan orang atau Suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta pada saat itu. Antropolog Univeristas Indonesia, Dr Yasmine Zaki Shahab MA menaksir, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893.
Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Casle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, di mana dikategorisasikan berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.
Namun, pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Menyebutkan bahwa suku betawi menjadi masyarakat mayoritas penduduk Batavia waktu itu.[12]
Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.
Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Moh Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.
Pada April 1967 di majalah Indonesia terbitan Cornell University, Amerika, Castles mengumumkan penelitiannya menyangkut asal-usul orang Betawi. Hasil penelitian yang berjudul “The Ethnic Profile of Jakarta” menyebutkan bahwa orang Betawi terbentuk pada sekitar pertengahan abad 19 sebagai hasil proses peleburan dari berbagai kelompok etnis yang menjadi budak di Batavia.
Secara singkat sketsa sejarah terjadinya orang Betawi menurut Castles dapat ditelusuri dari, pertama daghregister, yaitu catatan harian tahun 1673 yang dibuat Belanda yang berdiam di dalam kota benteng Batavia. Kedua, Catatan Thomas Stanford Raffles dalam History of Java pada tahun 1815. Keriga, catatan penduduk pada Encyclopaedia van Nederlandsch Indie tahun 1893 dan keempat sensus penduduk yang dibuat pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930.
Oleh karena klasifikasi penduduk dalam keempat catatan itu relatif sama, maka ketiganya dapat diperbandingkan, untuk memberikan gambaran perubahan komposisi etnis di Jakarta sejak awal abad 19 hingga awal abad 20. Sebagai hasil rekonstruksi, angka-angka tersebut mungkin tidak mencerminkan situasi yang sebenarnya, namun menurut Castles hanya itulah data sejarah yang tersedia yang relatif meyakinkan.
Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi – dalam arti apapun juga – tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, suku Betawi menjadi minoritas penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Walaupun sebetulnya, suku Betawi tidaklah pernah tergusur datau digusur dari Jakarta, karena proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung. Sekiranya sejarah telah mencatat, bahwa melalui proses panjang itu pulalah suku Betawi hadir di bumi Nusantara-Indonesia.
Dari proses waktu yang panjang terbentuknya suku betawi dan dengan pola-pola yang telah terjadi dalam sejarahnya. –bukan main– ternyata betawi telah memberikan pelajaran yang berharga kepada kita, tentang proses terbentuknya suku baru “komunitas baru”, –tercatat– meskipun tidak sedetail yang diinginkan para peneliti sejarah.
Sekarang ini, kita dapat menyangsikan sendiri bahwa di Jakarta juga mulai ada minoritas manusia yang mulai membentuk komunitas baru “suku baru” yaitu mereka yang menyebut dirinya golongan Metropolis –orang modern-, manusia masa kini (dengan budaya dan cara berkehidupan yang mereka miliki), yang bertempat tinggal disekitar jalan MH Thamrin, Sudirman, dan segitiga emas, bukan ayal suatu saat akan menjadi suku baru di bumi Indonesia ini.
Demikian secara singkat dapat dituliskan paparan tentang cikal bakal suku betawi, semoga dapat menjadi bahan pertimbangan maupun informasi yang dapat membantu berlangsungnya proses keilmuan.
Daftar Bacaan
Muhadjir. Bahasa Betawi: sejarah dan perkembangannya (Jakarta: yayasan obor Indonesia, 2001)
Ridwan Saidi, Glosari Betawi: Kamus kata-kata dan peristiwa dari zaman prasejarah hingga zaman modern (Jakarta: betawi ngeriung)
Sumaryono, E. Hermeneutik: sebuah metode filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999)
__________________________________________________________________________________
[1] E. Sumaryono, Hermeneutik: sebuah metode filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999), h. 48.
[2] Muhadjir, bahasa betawi: sejarah dan perkembangannya (Jakarta: yayasan obor Indonesia, 2001), h. 35.
[3] Muhadjir, h. 41..
[4] Ibid., h. 41
[5] Ibid., h. 44.
[6] Ibid., h. 45-46.
[7] Ibid., h. 44-45.
[8] Muhadjir, h. 48-50.
[9] Ibid., h. 53.
[10] Ridwan Saidi, Glosari Betawi: Kamus kata-kata dan peristiwa dari zaman prasejarah hingga zaman modern (Jakarta: betawi ngeriung), h. iii-v.
[11] Muhadjir, h. 23.
[12] Muhadjir, h. 78.
mahbubrisad
Keunikan sejarah ini kadang membuat para sejarawan dari dalam maupun luar negri dengan tanggap dengan memulai proyek-proyek penelitian sejarah yang sampai sekarang ada yang tuntas maupun masih dalam proses penyelesaian. Semua itu dilakukan hanya untuk proses penghayatan terhadap sejarah itu sendiri maupun pencatatan sejarah, yang mana bahwa kehidupan ini tidak dimulai dengan sendirinya “begitu saja” ada proses panjang yang dilaluinya “sejarah”. Dengan begitu dapat mengetahui pola-pola kehidupan pada saat itu, tohadanya sekarang khan karena adanya masa lalu.
Menurut Wilhelm Dilthey, bahwa terdapat suatu konstruksi spekulatif yang dimaksudkan untuk menemukan makna dalam sejarah sebagai cara memahami dengan lebih mendalam daripada penelitian historis, maka dari itu yang terpending adalah pola-pola atau hubungan-hubungan yang memberikan makna pada sejarah itu.[1]Memang demikian adanya perihal sejarah manusia yang mengindikasikan perubahan alur yang dinamis “tidak statis” dan terkadang perubahan itu tidak terlihat (tidak tercatat).
Secara singkat dapat diungkapkan oleh sejarah bahwa awalnya Indonesia adalah dari keberadaan Nama kepulauan besar yang disebut Jawa, kemudian semakin mengerucut berubah menjadi Nusantara, dan saat ini menjadi Indonesia. Dari hal ini saja tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat keanekaragaman dalam berbagai hal di dalam Indonesia pada saat ini.
Sejarah ini tidak dilalui dengan waktu yang singkat akan tetapi melaui waktu yang sangat panjang, begitu juga dengan keberadaan suku-suku yang ada di Indonesia. Ada beragam suku yang terbentuk dari proses kehidupan dulu maupun sekarang dan mungkin akan ada lagi suku-suku baru yang terbentuk oleh proses keadaan dan perkembangan kehidupan, karena memang secara lahiriah manusia memiliki sifat yang tidak statis, selalu buerubah-ubah menurut waktu dan keadaan yang dilaluinya.
Suku betawi adalah salah satu dari sekian banyak suku yang ada di Indonesia, yang terbentuknya juga melalui proses sejarah panjang dan terbilang baru, kemunculannya tercatat oleh para sejarawan, sekitar pada abad 19.
Keberadaan suku betawi saat ini yang berada dalam pulau jawa di bagian barat (Jawa barat) dan terdapat dalam provinsi “kota” Jakarta, yang mana kota Jakarta terbentuk oleh proses sejarah yang rumit dengan keadaan kota ini yang telah tergantikan namanya sekitar 3 kali sebelum menjadi nama yang saat ini, Jakarta.
Sejarah Betawi
Daerah yang sekarang dikenal dengan nama Jakarta memiliki sejarah yang cuku panjang. Dari hasil penggalian arkeologi di berbagai tempat, terutama di sepanajng sungai ciliwung, dapat dipastikan bahwa daerah itu sudah mulai dihuni orang sejak sekitar tiga ribu tahun yang lalu. Salah satu kerajaan tertua di Indonesia, Tarumanegara, kekuasaannya juga meliputi daerah ini. Ssetelah Tarumanegara runtuh, dan muncul kerajaan sunda beberapa abad kemudian, daerah Jakarta bahkan sebagai pintu utama hubungan dagang dan politik kerajaan itu dengan daerah lain. Pada masa itu daerah tersebut dikenal dengan nama Kalapa.[2]
Daerah Kalapa yang menjadi kekuasaan Sunda kelapa pada saat itu, ditaklukan oleh tentara gabungan muslim dari Cirebon dan banten di bawah pimpinan Fatahillah, menantu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung jati, itu terjadi pada tahun 22 juni 1527. Kemudian Sunan Gunung jati mengganti nama Kalapa dengan Jayakarta, kata yang berarti kemenangan besar. Bagi kesultanan muslim terebutnya daerah Kalapa adalah penanda lengpnya keruntuhan kerajaan Hindu di Jawa barat.[3]
Penguasaan Fatahillah atas Jayakarta memang tidak lama (1527-1610), namun telah mengubah masyarakat setempat menjadi beragama Islam. Bahkan telah mengislamkan masyarakat dari Cirebon, Indramayu hingga ke banten.
Pada tahun 1610 VOC (orang Belanda yang tergabung dalam persekutuan dagang) berhasil merebut kota Jayakarta dan menjadikan pusat kekuasaanya, kemudian mengganti nama Jayakarta dengan Batavia.[4]
Pimpinan VOC pada saat itu, Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon coen (J.P. Coen), memberikan corak yang khas pada kota Batavia, menjadikan kota ini tertutup bagi masyarakat pribumi dan dipagari oleh tembok yang kokoh, dijaga ketat oleh para serdadu VOC. Hanya orang-orang belanda dan para pegawai serta budak-budaknya, yakni dengan mendatangkan para tawanan pribumi sebagai budak dari berbagai suku di indonesia, mulai dari Jawa, Sunda, Sulawesi Selatan, Sumbawa, Ambon dan Banda, dan Melayu. Warga pribumi sendiri berada diluar tembok Batavia dan ada juga yang melarikan diri jauh dari tembok batavia [5]
Adapun orang-orang yang tinggal di Batavia pinggiran selain daripada warga pribumi, mereka datang untuk proses perdagangan, terdiri dari cina, Pakistan, india dan arab. Kemudian orang-orang cina lah yang mengawali proses kemajuan perdagangan pada saat itu, sehingga membuat VOC menjadi geram, akhirnya terjadilah pembunuhan besar-besaran terhadap orang cina, hal ini terjadi pada tahun 1741 kemudian orang cina dipindahkan dalam satu tempat yang disebut kampung cina yang sekarang disebut Glodok.[6] Adapun orang Mardjikers yaitu orang-orang yang dibebaskan dari status budak mereka sering disebut juga portugis karena berasal dari wilayah jajahan portugis tentu saja mereka berkulit hitam, memang asalnya sebenarnmya dari Afrika selatan.[7]
Batavia yang menjadi pusat kekuasaan dan sebelumnya memang telah menjadi pusat pintu perdagangan dari berbagai arah, sehingga dalam tahun-tahun berikutnya banyak berdatangan warga Indonesia ke kota ini untuk proses perdagangan, sehingga mereka yang datang ke kota ini ditempatkan dan dikelompokkan menurut kelompok suku “etnis” masing-masing. Maka terlihat banyak nama tempat di Jakarta memakai nama kelompoknya. Lain hal nya dengan orang-orang sunda mereka dianggap sebagai penduduk asli, maka dari itu dicatat dalam daftar penduduk Batavia. [8]
Entah bagaimana proses kejadiannya sehingga nama Batavia diganti namanya menjadi Jakarta. Yang saat ini sebagai ibu kota Indonesia.
Menutup sejarah terbentuknya komposisi penduduk Cikal bakalpenduduk Jakarta dapat ditarik kesimpulan bahwa komponen penduduk yang berasal dari berbagai tempat dan golongan itulah yang pada akhirnya merupakan asal-usul pembentuk masyarakat yang mewujudkan suku baru yang kita kenal sebagai sebagai suku betawi.[9] Sementara nama betawi diambil dari pengucapan atas kata Batavia yang mana warga pribumi yang tidak bisa melafalkan kata Batavia dengan baik sehingga menjadi betawi. Demikian juga dari segi bahasa, tokoh masyarakat betawi saat ini —Ridwan saidi— mengatakan: tidak ada, bahasa betawi terbentuk dari berbagai macam bahasa dari berbagai suku yang ada pada saat itu.[10] Muhadjir menyebutnya dengan bahas baru dengan sebutan bahasa melayu lokal.[11]
Sepanjang abad ke-18, kelompok terbesar penduduk kota berstatus budak. Komposisi mereka cepat berubah karena banyak yang mati. Demikian juga dengan orang Mardijker. Karena itu, jumlah mereka turun dengan cepat pada abad itu dan pada awal abad ke-19 mulai diserap dalam kaum Betawi, Oleh sebab itu, apa yang disebut dengan orang atau Suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta pada saat itu. Antropolog Univeristas Indonesia, Dr Yasmine Zaki Shahab MA menaksir, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893.
Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Casle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, di mana dikategorisasikan berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.
Namun, pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Menyebutkan bahwa suku betawi menjadi masyarakat mayoritas penduduk Batavia waktu itu.[12]
Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.
Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Moh Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.
Pada April 1967 di majalah Indonesia terbitan Cornell University, Amerika, Castles mengumumkan penelitiannya menyangkut asal-usul orang Betawi. Hasil penelitian yang berjudul “The Ethnic Profile of Jakarta” menyebutkan bahwa orang Betawi terbentuk pada sekitar pertengahan abad 19 sebagai hasil proses peleburan dari berbagai kelompok etnis yang menjadi budak di Batavia.
Secara singkat sketsa sejarah terjadinya orang Betawi menurut Castles dapat ditelusuri dari, pertama daghregister, yaitu catatan harian tahun 1673 yang dibuat Belanda yang berdiam di dalam kota benteng Batavia. Kedua, Catatan Thomas Stanford Raffles dalam History of Java pada tahun 1815. Keriga, catatan penduduk pada Encyclopaedia van Nederlandsch Indie tahun 1893 dan keempat sensus penduduk yang dibuat pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930.
Oleh karena klasifikasi penduduk dalam keempat catatan itu relatif sama, maka ketiganya dapat diperbandingkan, untuk memberikan gambaran perubahan komposisi etnis di Jakarta sejak awal abad 19 hingga awal abad 20. Sebagai hasil rekonstruksi, angka-angka tersebut mungkin tidak mencerminkan situasi yang sebenarnya, namun menurut Castles hanya itulah data sejarah yang tersedia yang relatif meyakinkan.
Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi – dalam arti apapun juga – tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, suku Betawi menjadi minoritas penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Walaupun sebetulnya, suku Betawi tidaklah pernah tergusur datau digusur dari Jakarta, karena proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung. Sekiranya sejarah telah mencatat, bahwa melalui proses panjang itu pulalah suku Betawi hadir di bumi Nusantara-Indonesia.
Dari proses waktu yang panjang terbentuknya suku betawi dan dengan pola-pola yang telah terjadi dalam sejarahnya. –bukan main– ternyata betawi telah memberikan pelajaran yang berharga kepada kita, tentang proses terbentuknya suku baru “komunitas baru”, –tercatat– meskipun tidak sedetail yang diinginkan para peneliti sejarah.
Sekarang ini, kita dapat menyangsikan sendiri bahwa di Jakarta juga mulai ada minoritas manusia yang mulai membentuk komunitas baru “suku baru” yaitu mereka yang menyebut dirinya golongan Metropolis –orang modern-, manusia masa kini (dengan budaya dan cara berkehidupan yang mereka miliki), yang bertempat tinggal disekitar jalan MH Thamrin, Sudirman, dan segitiga emas, bukan ayal suatu saat akan menjadi suku baru di bumi Indonesia ini.
Demikian secara singkat dapat dituliskan paparan tentang cikal bakal suku betawi, semoga dapat menjadi bahan pertimbangan maupun informasi yang dapat membantu berlangsungnya proses keilmuan.
Daftar Bacaan
Muhadjir. Bahasa Betawi: sejarah dan perkembangannya (Jakarta: yayasan obor Indonesia, 2001)
Ridwan Saidi, Glosari Betawi: Kamus kata-kata dan peristiwa dari zaman prasejarah hingga zaman modern (Jakarta: betawi ngeriung)
Sumaryono, E. Hermeneutik: sebuah metode filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999)
__________________________________________________________________________________
[1] E. Sumaryono, Hermeneutik: sebuah metode filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999), h. 48.
[2] Muhadjir, bahasa betawi: sejarah dan perkembangannya (Jakarta: yayasan obor Indonesia, 2001), h. 35.
[3] Muhadjir, h. 41..
[4] Ibid., h. 41
[5] Ibid., h. 44.
[6] Ibid., h. 45-46.
[7] Ibid., h. 44-45.
[8] Muhadjir, h. 48-50.
[9] Ibid., h. 53.
[10] Ridwan Saidi, Glosari Betawi: Kamus kata-kata dan peristiwa dari zaman prasejarah hingga zaman modern (Jakarta: betawi ngeriung), h. iii-v.
[11] Muhadjir, h. 23.
[12] Muhadjir, h. 78.
mahbubrisad
No comments:
Post a Comment