Kontroversi Fatahillah: Renungan Ulang Tahun Jakarta 22 Juni
KONTROVERSI FATAHILLAH
(HISTORIVATOR, Sejarawan, Pengamat Politik dan Humaniora )
Fatahillah dikenal sebagai pendiri Jakarta. Padahal ia hanyalah pemberi nama Jayakarta pada kota yang dulunya bernama Sunda Kelapa. Ia memberi nama Jakarta setelah berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa. Jayakarta sendiri berarti kemenangan yang besar dan bersinar-sinar. Sebenarnya banyak kontroversi tentang Fatahillah. Apalagi sejak ditemukannya kitab klasik Pusaka Caruban Nagari di Keraton Cirebon pada tahun 1996. Ada beberapa kontroversi antara pengetahuan masyarakat tentang Fatahillah dengan data-data dan interpretasi sejarah yang ada.
Kontroversi pertama adalah pakaian. Menurut Denys Lombard (Lombard: 1996, 158, Jilid I) pakaian tradisional Jawa adalah kebaya, kain batik, dan selendang. Menurut Harry J. Benda (Benda: 1980), Clifford Geertz (Geertz: 1981), A.H. Johns (dalam Taufik Abdullah: 1987, 85-104), Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (1992, cet vii, jilid III) serta Widji Saksono (Saksono: 1995) Islam tidak akan diterima di Indonesia kalau keras dalam fiqh dan tidak mau menyesuaikan dengan budaya Indonesia. Dengan demikian penulis mengambil kesimpulan pada masa kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam tidaklah ada wanita muslimah yang memakai kerudung atau jilbab yang rapat seperti yang digambarkan dalam film Fatahillah yang dibuat tahun 1997.
Apalagi pada abad ke-19 gerakan-gerakan sosial yang bercorak Mahdiisme tuntutannya biasanya adalah pemakaian kerudung bagi wanita sebagai counter culture bagi pakaian tradisional Jawa dan pakaian Barat yang keduanya tanpa kerudung. Mengapa hanya argumen Lombard yang diangkat di sini ? Karena dari tiga karya tentang Kerajaan Jawa Islam yang bersifat Total History yaitu Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, (Jakarta: Gramedia, 1996); Antony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1280-1500, (Jakarta: Sinar Harapan, 1991); serta Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992, cet. vii) hanya karya Denys Lombard yang mengungkapkan tentang busana. Dari hasil wawancara dengan sejarawan Unpad Ahmad Mansur Suryanegara penulis mendapat data tentang evolusi pakaian wanita Jawa yaitu pada waktu zaman pra Islam pakaian wanita Jawa adalah tidak menutup dada, pada awal kedatangan Islam ada perubahan menjadi menutup dada dengan kemben, kemudian berubah lagi menjadi tangan panjang kebaya. Berarti pada masa Fatahillah pakaian wanita Jawa masih kemben.
Samakah Fatahillah dengan Sunan Gunung Jati? Dr. Simuh dalam seminar di FSUI mengatakan bahwa Walisongo dan Syekh Siti Jenar itu tidak ada. Yang ada adalah ribuan wali. (Simuh: 1995) Berarti keberadaan Sunan Gunung Jatipun patut dipertanyakan. A.H. Johns menerangkan tentang pentingnya peranan para sufi dalam penyebaran Islam di Indonesia termasuk walisongo di Jawa, tetapi ia tidak membahas secara khusus tentang Sunan Gunung Jati. Memang membicarakan samakah Fatahillah dengan Sunan Gunung Jati sangatlah sulit seperti membicarakan tiga teori besar masuknya Islam ke Nusantara, semuanya argumennya kuat.
Yang pertama mengungkapkan bahwa Sunan Gunung Jati sama dengan Fatahillah adalah Hoesein Djajadiningrat dalam disertasinya yang dibukukan yaitu Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Sejarah Banten, (Jakarta: Djambatan, 1984). Buku ini ditulis berdasarkan kitab Sadjarah Banten dan sebelum ditemukannya kitab Pusaka Caruban Nagari dari Cirebon. Dalam kitab Pusaka Caruban Nagari dikatakan Fatahillah berbeda dengan Sunan Gunung Jati, Fatahillah (Fadhilah Khan) adalah menantu dari Sunan Gunung Jati. Di Indonesia pengungkapan bahwa Fatahillah berbeda dengan Sunan Gunung Jati adalah baru tahun 1996 dan diungkapkan oleh Sejarawan Uka Tjandrasasmita setelah ditemukannya kitab Pusaka Caruban Nagari.
Tetapi apakah kita langsung mengekor pada teori yang terakhir ini ? Saya pikir tidak harus. Kita lihat saja mana argumen yang lebih kuat, dan sebagai sejarawan bisa saja melakukan interpretasi terhadap data yang ada. Sebagai contoh walaupun teori tentang masuknya Islam di Nusantara yang terakhir adalah teori Makkah tetapi tetap saja masih banyak ahli yang memakai teori Gujarat atau teori Parsi. Dalam kasus Fatahillah ini walaupun tahun 1996 Uka Tjandrasasmita telah mengungkapkan bahwa Fatahillah berbeda dengan Sunan Gunung Jati tetapi ketika tahun 1997 Denys Lombard datang ke Indonesia ia tetap tidak mau merevisi bukunya (edisi Indonesianya terbit tahun 1996) yang mengatakan bahwa Fatahillah dan Sunan Gunung Jati adalah orang yang sama.
Interpretasi terhadap Historiografi Tradisional
Sadjarah Banten dan Pusaka Caruban Nagari keduanya adalah jenis historiografi tradisional yang bersifat mitologis, legitimatif, dan etnosentris. Mitologis maksudnya jenis historiografi ini bersifat penuh mitos dan cerita-cerita yang tidak masuk akal. Legitimatif maksudnya jenis historiografi ini bersifat melegitimasikan kekuasaan. Etnosentris maksudnya jenis historiografi ini bersifat sangat menonjolkan suku atau etnis penulis tulisan sejarah tersebut. Contoh cerita yang mitologis misalnya penggambaran kesaktian raja-raja Jawa dan Walisongo dalam Babad Tanah Jawi. Contoh cerita yang legitimatif misalnya penggambaran silsilah raja Jawa yang keturunan Dewa Wisnu sekaligus keturunan Nabi Muhammad dalam babad yang sama. Tentang riwayat dalam Sadjarah Banten yang menyatakan bahwa ayah Sunan Gunung Jati ialah seorang raja Arab sedang ibunya adalah seorang putri raja Pajajaran, Dr. Hoesein Djajadiningrat menyatakan bahwa sesungguhnya periwayatan cerita yang sedemikian itu bermaksud memberikan dasar hukum bagi ketahtaan Sunan Gunung Jati atas satu daerah yang semula bawahan Pajajaran. Dengan demikian cerita tentang asal-usul tersebut memiliki tendensi untuk membelokkan perhatian mereka yang akan mengutak-atik hak tahta Sunan Gunung Jati sebagai raja di Cirebon. Contoh cerita yang etnosentris misalnya Babad Tanah Jawi mengungkapkan bahwa orang paling hebat di dunia ini adalah orang Jawa. Kemudian orang Jawa malu akan kekalahannya dari Jan Pieterzoen Coen. Lalu dibuatlah silsilah yang mengatakan kalau diurut-urut Jan Pieterzoen Coen adalah orang Jawa pula.
Karena sifat historiografi tradisional yang etnosentris ini penulis mempunyai interpretasi tentangPusaka Caruban Nagari yang mengungkapkan bahwa Fatahillah itu berbeda dengan Sunan Gunung Jati. Fatahillah adalah orang yang berada di bawah kekuasaan raja Demak Sultan Trenggono. Kalau Fatahillah sama dengan Sunan Gunung Jati berarti Sunan Gunung Jati dengan kerajaan Cirebonnya bertekuk lutut di bawah kekuasaan Demak. Bagi orang Cirebon, hal ini tidak boleh terjadi. Karena itu dibuatlah “buku sejarah” yang mengungkapkan bahwa Sunan Gunung Jati tidak berada di bawah kekuasaan Demak dengan cara mengungkapkan bahwa Sunan Gunung Jati itu bukan Fatahillah yang suruhan raja Demak.
Demikianlah beberapa kontroversi di seputar Fatahillah. Semoga bisa menjadi bahan diskusi yang baik dalam rangka HUT Jakarta ini. Wallahu A’lam bish Shawab.
* Pernah dimuat di Koran Tempo Juli 2001
AGUNG PRIBADI*
(HISTORIVATOR, Sejarawan, Pengamat Politik dan Humaniora )
Fatahillah dikenal sebagai pendiri Jakarta. Padahal ia hanyalah pemberi nama Jayakarta pada kota yang dulunya bernama Sunda Kelapa. Ia memberi nama Jakarta setelah berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa. Jayakarta sendiri berarti kemenangan yang besar dan bersinar-sinar. Sebenarnya banyak kontroversi tentang Fatahillah. Apalagi sejak ditemukannya kitab klasik Pusaka Caruban Nagari di Keraton Cirebon pada tahun 1996. Ada beberapa kontroversi antara pengetahuan masyarakat tentang Fatahillah dengan data-data dan interpretasi sejarah yang ada.
Kontroversi pertama adalah pakaian. Menurut Denys Lombard (Lombard: 1996, 158, Jilid I) pakaian tradisional Jawa adalah kebaya, kain batik, dan selendang. Menurut Harry J. Benda (Benda: 1980), Clifford Geertz (Geertz: 1981), A.H. Johns (dalam Taufik Abdullah: 1987, 85-104), Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (1992, cet vii, jilid III) serta Widji Saksono (Saksono: 1995) Islam tidak akan diterima di Indonesia kalau keras dalam fiqh dan tidak mau menyesuaikan dengan budaya Indonesia. Dengan demikian penulis mengambil kesimpulan pada masa kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam tidaklah ada wanita muslimah yang memakai kerudung atau jilbab yang rapat seperti yang digambarkan dalam film Fatahillah yang dibuat tahun 1997.
Apalagi pada abad ke-19 gerakan-gerakan sosial yang bercorak Mahdiisme tuntutannya biasanya adalah pemakaian kerudung bagi wanita sebagai counter culture bagi pakaian tradisional Jawa dan pakaian Barat yang keduanya tanpa kerudung. Mengapa hanya argumen Lombard yang diangkat di sini ? Karena dari tiga karya tentang Kerajaan Jawa Islam yang bersifat Total History yaitu Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, (Jakarta: Gramedia, 1996); Antony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1280-1500, (Jakarta: Sinar Harapan, 1991); serta Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992, cet. vii) hanya karya Denys Lombard yang mengungkapkan tentang busana. Dari hasil wawancara dengan sejarawan Unpad Ahmad Mansur Suryanegara penulis mendapat data tentang evolusi pakaian wanita Jawa yaitu pada waktu zaman pra Islam pakaian wanita Jawa adalah tidak menutup dada, pada awal kedatangan Islam ada perubahan menjadi menutup dada dengan kemben, kemudian berubah lagi menjadi tangan panjang kebaya. Berarti pada masa Fatahillah pakaian wanita Jawa masih kemben.
Samakah Fatahillah dengan Sunan Gunung Jati? Dr. Simuh dalam seminar di FSUI mengatakan bahwa Walisongo dan Syekh Siti Jenar itu tidak ada. Yang ada adalah ribuan wali. (Simuh: 1995) Berarti keberadaan Sunan Gunung Jatipun patut dipertanyakan. A.H. Johns menerangkan tentang pentingnya peranan para sufi dalam penyebaran Islam di Indonesia termasuk walisongo di Jawa, tetapi ia tidak membahas secara khusus tentang Sunan Gunung Jati. Memang membicarakan samakah Fatahillah dengan Sunan Gunung Jati sangatlah sulit seperti membicarakan tiga teori besar masuknya Islam ke Nusantara, semuanya argumennya kuat.
Yang pertama mengungkapkan bahwa Sunan Gunung Jati sama dengan Fatahillah adalah Hoesein Djajadiningrat dalam disertasinya yang dibukukan yaitu Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Sejarah Banten, (Jakarta: Djambatan, 1984). Buku ini ditulis berdasarkan kitab Sadjarah Banten dan sebelum ditemukannya kitab Pusaka Caruban Nagari dari Cirebon. Dalam kitab Pusaka Caruban Nagari dikatakan Fatahillah berbeda dengan Sunan Gunung Jati, Fatahillah (Fadhilah Khan) adalah menantu dari Sunan Gunung Jati. Di Indonesia pengungkapan bahwa Fatahillah berbeda dengan Sunan Gunung Jati adalah baru tahun 1996 dan diungkapkan oleh Sejarawan Uka Tjandrasasmita setelah ditemukannya kitab Pusaka Caruban Nagari.
Tetapi apakah kita langsung mengekor pada teori yang terakhir ini ? Saya pikir tidak harus. Kita lihat saja mana argumen yang lebih kuat, dan sebagai sejarawan bisa saja melakukan interpretasi terhadap data yang ada. Sebagai contoh walaupun teori tentang masuknya Islam di Nusantara yang terakhir adalah teori Makkah tetapi tetap saja masih banyak ahli yang memakai teori Gujarat atau teori Parsi. Dalam kasus Fatahillah ini walaupun tahun 1996 Uka Tjandrasasmita telah mengungkapkan bahwa Fatahillah berbeda dengan Sunan Gunung Jati tetapi ketika tahun 1997 Denys Lombard datang ke Indonesia ia tetap tidak mau merevisi bukunya (edisi Indonesianya terbit tahun 1996) yang mengatakan bahwa Fatahillah dan Sunan Gunung Jati adalah orang yang sama.
Interpretasi terhadap Historiografi Tradisional
Sadjarah Banten dan Pusaka Caruban Nagari keduanya adalah jenis historiografi tradisional yang bersifat mitologis, legitimatif, dan etnosentris. Mitologis maksudnya jenis historiografi ini bersifat penuh mitos dan cerita-cerita yang tidak masuk akal. Legitimatif maksudnya jenis historiografi ini bersifat melegitimasikan kekuasaan. Etnosentris maksudnya jenis historiografi ini bersifat sangat menonjolkan suku atau etnis penulis tulisan sejarah tersebut. Contoh cerita yang mitologis misalnya penggambaran kesaktian raja-raja Jawa dan Walisongo dalam Babad Tanah Jawi. Contoh cerita yang legitimatif misalnya penggambaran silsilah raja Jawa yang keturunan Dewa Wisnu sekaligus keturunan Nabi Muhammad dalam babad yang sama. Tentang riwayat dalam Sadjarah Banten yang menyatakan bahwa ayah Sunan Gunung Jati ialah seorang raja Arab sedang ibunya adalah seorang putri raja Pajajaran, Dr. Hoesein Djajadiningrat menyatakan bahwa sesungguhnya periwayatan cerita yang sedemikian itu bermaksud memberikan dasar hukum bagi ketahtaan Sunan Gunung Jati atas satu daerah yang semula bawahan Pajajaran. Dengan demikian cerita tentang asal-usul tersebut memiliki tendensi untuk membelokkan perhatian mereka yang akan mengutak-atik hak tahta Sunan Gunung Jati sebagai raja di Cirebon. Contoh cerita yang etnosentris misalnya Babad Tanah Jawi mengungkapkan bahwa orang paling hebat di dunia ini adalah orang Jawa. Kemudian orang Jawa malu akan kekalahannya dari Jan Pieterzoen Coen. Lalu dibuatlah silsilah yang mengatakan kalau diurut-urut Jan Pieterzoen Coen adalah orang Jawa pula.
Karena sifat historiografi tradisional yang etnosentris ini penulis mempunyai interpretasi tentangPusaka Caruban Nagari yang mengungkapkan bahwa Fatahillah itu berbeda dengan Sunan Gunung Jati. Fatahillah adalah orang yang berada di bawah kekuasaan raja Demak Sultan Trenggono. Kalau Fatahillah sama dengan Sunan Gunung Jati berarti Sunan Gunung Jati dengan kerajaan Cirebonnya bertekuk lutut di bawah kekuasaan Demak. Bagi orang Cirebon, hal ini tidak boleh terjadi. Karena itu dibuatlah “buku sejarah” yang mengungkapkan bahwa Sunan Gunung Jati tidak berada di bawah kekuasaan Demak dengan cara mengungkapkan bahwa Sunan Gunung Jati itu bukan Fatahillah yang suruhan raja Demak.
Demikianlah beberapa kontroversi di seputar Fatahillah. Semoga bisa menjadi bahan diskusi yang baik dalam rangka HUT Jakarta ini. Wallahu A’lam bish Shawab.
* Pernah dimuat di Koran Tempo Juli 2001
AGUNG PRIBADI*
No comments:
Post a Comment