HG Heyting Pimpin Kolonisasi Perdana ke Lampung
Kolonisasi perdana di Indonesia berlangsung pada 1905. Tetapi, Pemerintah Hindia Belanda menganggap pemberangkatan dari Jawa ke Lampung tersebut belum sempurna. Perbaikan sistem pun dilakukan secara bertahap. Sampai akhir masa kekuasaannya di Indonesia tahun 1942, Pemerintah Hindia Belanda berhasil melaksanakan 32 kolonisasi ke Lampung dengan tiga sistem berbeda. Perbedaan sistem dikenal dengan periodisasi pelaksanaan kolonisasi.
Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Lampung (Unila) Wakidi mengatakan, ketiga sistem terbagi menjadi, sistem cuma-cuma periode 1905-1911, sistem pinjaman bank periode 1912-1928, dan sistem bawon periode 1932-1941.
“Pada periodisasi ketiga, muncul juga sistem keluarga yang berlangsung pada 1937-1941,” tutur Wakidi saat ditemui di kediamannya, Sabtu (10/3).
Meskipun begitu, data yang disampaikan Wakidi ternyata memiliki perbedaan dengan arsip serupa milik Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Lampung. Perbedaan tampak pada waktu pelaksanaan sistem pinjaman bank. Disnakertrans mencatat, periode kedua berlangsung pada 1912-1922. Tetapi, penjelasan lebih lanjut mengenai ketiga sistem tersebut tidak banyak terdapat dalam kearsipan Disnakertrans Lampung.
Periode kolonisasi 1905-1911, menurut Wakidi, merupakan masa percobaan pelaksanaan kolonisasi. Pemerintah Hindia Belanda masih memperkirakan kemungkinan keberhasilan program tersebut. Supaya berhasil, pemerintah mengatur segala keperluan bagi pelaksanaan kolonisasi. Hal itu dilakukan bahkan dalam pelaksanaan ekspedisi pemindahan penduduk.
“Pada 1905 yang merupakan kolonisasi pertama, kolonis dipimpin langsung Asisten Residen Banyumas HG Heyting yang merupakan pejabat Pemerintahan Hindia Belanda. Kolonis memanggilnya Tuan Steng. Dia menemani seluruh perjalanan dari Jawa sampai Lampung,” terang Wakidi.
Pada periode dengan sistem cuma-cuma, Pemerintah Hindia Belanda menanggung penuh biaya pemindahan penduduk dari Jawa ke Lampung. Penduduk yang mengikuti kolonisasi mendapatkan segala kebutuhan dari pemerintah secara cuma-cuma. Pemenuhan kebutuhan diberikan untuk satu tahun sejak kepindahan.
Biaya pemindahan penduduk per keluarga, lanjut Wakidi, rata-rata mencapai 750 gulden. Jumlah itu digunakan untuk pengangkutan kolonis dari daerah asal sampai ke daerah kolonisasi, penginapan sementara dalam bedeng, pembuatan rumah, dan porskot (semacam uang saku) kepada setiap keluarga.
Pemerintah Hindia Belanda juga menggunakan anggaran tersebut untuk pembelian alat rumah tangga, alat pertanian, pembukaan lahan pekarangan dan sawah, bibit tanaman, hewan ternak, pelayanan kesehatan dan obatan-obatan, serta keperluan makan yang terdiri dari beras, palawija, dan ikan asin.
“Ikan asin waktu itu menjadi makanan umum di Lampung. Dalam arsipnya, pemerintah menanggung biaya untuk satu tahun. Tetapi laporan yang disampaikan koran-koran Belanda, kolonis hanya menerima tanggungan untuk enam sampai delapan bulan,” urai Wakidi.
Masa percobaan kolonisasi tidak berlangsung mulus. Wakidi menerangkan, faktor pertama yang menjadi penyebab adalah latar belakang kolonis. Banyak dari kolonis memiliki latar belakang petani. Dengan pemberian pelatihan yang sangat singkat, banyak kolonis tidak mampu mengelola lahan dengan baik.
“Banyak juga yang sebelumnya merupakan pengangguran dan pengemis. Perekrutan kolonisasi sebenarnya ada unsur paksaan juga karena pendataan dilakukan aparat berwajib. Jadi, walaupun tidak punya kemampuan, mereka mau tidak mau tetap berangkat,” tutur peraih gelar Magister Humaniora Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 1997 tersebut.
Karena tidak mempunyai keahlian bertani, banyak kolonis kemudian menjadi malas-malasan bekerja. Bahkan, beberapa di antara mereka memutuskan untuk kembali ke daerah asal karena merasa tidak betah dengan kehidupan kolonisasi.
Faktor lain penyebab ketidakberhasilan kolonisasi sistem cuma-cuma adalah fasilitas sosial yang kurang optimal dalam pemberian pelayanan. Wakidi mencontohkan, salah satunya adalah sarana kesehatan.
Pemerintah Hindia Belanda sebenarnya telah menyediakan fasilitas kesehatan. Walaupun begitu, dukungan pemerintah untuk operasional fasilitas dapat dikatakan tidak ada. Sehingga, petugas kesehatan pun tidak bekerja secara optimal untuk memberikan pelayanan.
Banyak kolonis yang meninggal karena terkena penyakit. Wakidi mengatakan, penyakit yang menyerang masyarakat ketika itu, antara lain malaria dan disentri. Hal itu karena lingkungan tempat kolonisasi yang terbilang kumuh.
“Mantri kesehatan ada. Jawatannya ada. Tetapi, (mantri) tidak mau mengurus. Mereka tidak kerja karena tidak ada support (dukungan) dari pemerintah (Hindia Belanda),” terang Wakidi.
Melihat besaran biaya dan kendala yang timbul pada masa percobaan, Pemerintah Hindia Belanda mulai merencanakan sistem baru dalam pelaksanaan kolonisasi. Pemerintah tidak ingin lagi menjamin secara penuh biaya pelaksanaan kolonisasi. Biaya yang masih dijamin pemerintah hanya pada proses pemindahan penduduk. Kolonis akan menanggung sebagian biaya perpindahan melalui sistem pinjaman bank. Pinjaman tersebut akan dikembalikan secara bertahap oleh kolonis. Periode ini berlangsung selama kurang lebih 16 tahun, yaitu antara 1912-1928.
Dengan penerapan sistem utang, Wakidi menjelaskan, Pemerintah Hindia Belanda berharap kolonis akan berusaha lebih keras di daerah kolonisasi. Sebab, kolonis akan merasa memiliki tanggungan yang harus dikembalikan.
“Kolonis terlebih dahulu diberi dana. Harapannya kalau berutang, kolonis akan berusaha lebih keras,” tutur Wakidi.
Untuk melaksanakan sistem pinjaman bank, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Lampongsch Volkbank atau Bank Rakyat Lampung. Bank yang berkedudukan di Telukbetung itu mulai bekerja sejak tahun 1912.
Sistem baru tersebut ternyata masih memiliki kendala. Wakidi menuturkan, kolonis memiliki kebiasaan tanggung renteng atau tanggungan bersama dalam peminjaman dana ke bank. Ketika satu kolonis meminjam dana kepada bank, dana pinjaman tersebut kemudian dipinjamkan kembali kepada kolonis lain. Sehingga, bank mengalami kesulitan ketika menagih utang.
Kesulitan pengembalian utang juga terjadi karena perputaran uang di daerah kolonisasi rendah. Penyebabnya, kolonis mengalami kesulitan dalam menjual hasil panen mereka. Meskipun hasil panen melimpah, kolonis tidak serta merta langsung mendapatkan uang.
“Dulu, hasil panen masih dibawa ke Pasar Bambu Kuning di Tanjungkarang yang cukup jauh karena belum ada alat transportasi. Pasar (di sekitar daerah kolonisasi) waktu itu belum ada. Kolonis menjual sendiri hasil panen mereka. Itu mengakibatkan tingkat sirkulasi uang kolonis menjadi rendah,” urai Wakidi.
Keadaan kolonis semakin membaik pada 1930-an. Hal itu terlihat dari hasil panen yang berlimpah. Bahkan, kolonis tidak mampu untuk memanen sendiri hasil pertanian yang mereka hasilkan. Kondisi ini menjadi awalan penerapan periode sistem bawon pada 1932-1941.
Karena ketidakmampuan untuk memanen hasil pertanian sendiri, kolonis meminta kepada Pemerintah Hindia Belanda supaya keluarga mereka di Jawa didatangkan ke daerah kolonisasi. Harapannya, keluarga kolonis bisa turut membantu mereka memanen.
Pemerintah Hindia Belanda menyetujui permintaan kolonis dan memberangkatkan keluarga mereka di Jawa untuk membantu panen di daerah kolonisasi. Wakidi menjelaskan, keluarga kolonis yang datang untuk sementara masih tinggal di rumah kolonis ketika sampai pertama kali dan bekerja kepada kolonis dengan membantu memanen. Ketika panen selesai, kolonis kemudian membagi hasil panen kepada keluarga yang membantu mereka yang telah menjadi kolonis baru.
Sementara itu, Pemerintah Hindia Belanda menyiapkan lahan yang akan digarap kolonis baru. Pemerintah juga mendirikan bedeng-bedeng sebagai tempat tinggal sementara kolonis baru. Kolonis baru tinggal di bedeng sampai dapat membangun rumah sendiri.
Untuk keperluan hidup sehari-hari, sebelum lahan yang digarap menuai panen, koloni baru bergantung kepada hasil panen yang mereka dapatkan dari membantu koloni lama.
Adapun, kolonisasi sistem keluarga yang timbul pada masa yang bersamaan dengan sistem bawon memiliki mekanisme yang tak berbeda jauh. Hanya saja, kepindahan penduduk dibiayai keluarga kolonis yang sudah berada di daerah kolonisasi.
Tahun 1932 yang menjadi awal pelaksanaan sistem bawon, Pemerintah Hindia Belanda untuk pertama kalinya mulai membuka daerah kolonisasi baru di Lampung. Sejak kolonisasi perdana pada 1905, pemerintah menempatkan kolonis di satu daerah di Lampung, yaitu Gedong Tataan (saat ini menjadi kecamatan di Kabupaten Pesawaran). Pembukaan daerah kolonisasi baru karena Gedong Tataan dianggap sudah penuh. Pada tahun tersebut, jumlah kolonis di Gedong Tataan sudah sebanyak 29.863 jiwa.
Daerah baru yang dibuka Pemerintah Hindia Belanda berada di Gedong Dalam, Sukadana. Sebagian penduduk yang dipindahkan pada 1932 pun sudah mulai menempati daerah tersebut.
Walaupun begitu, perbedaan data kembali ditunjukkan Disnakertrans Lampung. Dalam data Disnakertrans Lampung mengenai penempatan transmigran pada periode kolonisasi, kolonis baru ditempatkan ke Sukadana pada 1934.
Dengan adanya periodisasi sistem, Wakidi memandang, hal itu menunjukkan pelaksanaan kolonisasi tidak sekadar hanya untuk memindahkan penduduk karena kepadatan yang terjadi di Jawa. Pemerintah Hindia Belanda memiliki tujuan politis lain demi mempertahankan kepentingan penjajahan.
Berdasarkan tinjauan yang dilakukan Wakidi, kolonisasi memiliki tujuan tersembunyi untuk mengantisipasi terjadinya pemberontakan di Jawa. Pemerintah Hindia Belanda melihat, jumlah penduduk Jawa yang semakin banyak sangat rentan menimbulkan pemberontakan terhadap pemerintahan penjajah.
“Pemberontakan-pemberontakan banyak terjadi pada abad ke-19 di Jawa. Salah satu yang terbesar adalah perang Diponegoro. Pemerintah khawatir, banyaknya penduduk Jawa dapat memudahkan terjadinya pemberontakan. Hal ini tentunya berbahaya bagi keberadaan pemerintah (Hindia Belanda),” urai Wakidi.
Pemerintah berharap, pemindahan penduduk bisa mengurangi ketegangan yang terjadi di Jawa. Sehingga, pemberontakan maupun kerusuhan yang mungkin terjadi dapat dieliminasi.
Tujuan tersembunyi lain yang diharapkan Pemerintah Hindia Belanda dalam kolonisasi, menurut Wakidi, adalah untuk menyediakan tenaga kerja murah bagi perusahaan perkebunan swasta di luar Jawa. Pada 1939, sebanyak 41 perusahaan perkebunan swasta asing telah beroperasi di Lampung.
“Perusahaan perkebunan swasta asing yang operasional di Lampung rata-rata menanam karet,” tutur Wakidi.
Daerah kolonisasi di Lampung, lanjut Wakidi, diletakkan tidak jauh dari lokasi keberadaan perusahaan perkebunan. Daerah kolonisasi diharapkan bisa berkembang menjadi sebuah keramaian baru. Sehingga, perusahaan perkebunan dapat dengan mudah mendapatkan tenaga kerja murah untuk bekerja di perusahaan mereka.
“Ambil contoh sarana irigasi. Pengairan yang dibuat pemerintah dialirkan untuk kepentingan perusahaan. Sementara, wilayah kolonisasi tidak diberikan. Ini menunjukkan ada idealisme lain pemerintah,” kata Wakidi.
Hal serupa juga disampaikan Ketua Umum Perhimpunan Anak Transmigran Republik Indonesia (PATRI) Muhajir Utomo. Menurut Muhajir, pemenuhan tenaga kerja di luar Jawa menjadi satu bagian dari tujuan pemindahan penduduk.
“Adanya (perusahaan) perkebunan di luar Jawa menyebabkan Pemerintah Hindia Belanda merasa perlu membuat program yang bisa menyelesaikan masalah kependudukan di Jawa sekaligus pemenuhan tenaga kerja di luar Jawa,” jelas Muhajir, Jumat (9/3).
Selama berkuasa di Indonesia, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan 32 kali kolonisasi dari Jawa ke Lampung sejak 1905-1941. Kepala Seksi Transmigrasi Disnakertrans Lampung Neneng Sulasiah mengatakan, daerah asal kolonis di Jawa berasal dari Kedu dan Banyumas.
Sementara, penduduk yang berasal dari Madura baru mulai berpindah ke Lampung pada 1939-1940. Penduduk yang mengikuti kolonisasi lainnya adalah mantan buruh kontrak di Jawa. Kolonisasi mantan buruh kontrak terjadi pada 1932-1938 serta 1941.
“Kami kurang mengetahui daerah asal mereka. Yang pasti, mereka adalah eksburuh kontrak yang bekerja di Jawa,” tutur Neneng saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (8/3).
Selama masa penjajahan Belanda, kolonisasi ke Lampung mampu memindahkan 44.681 kepala keluarga (KK) atau 180.020 jiwa. Pemerintah Hindia Belanda hampir setiap tahun melakukan kolonisasi ke Lampung. Meskipun pada tahun tertentu, kolonisasi tidak dilaksanakan ke Lampung. Sejak 1905-1941, secara total, pemerintah tidak melaksanakan kolonisasi selama 14 tahun, yakni pada 1907-1911, 1923-1927, 1929-1931, dan 1933.
Tetapi, pemberangkatan kolonisasi pada tahun lainnya dilaksanakan lebih dari satu kali per tahun. Hal itu tampak pada kolonisasi tahun 1917, 1919, 1922, 1937, dan 1938 yang berlangsung dua kali per tahun serta tahun 1921 dan 1940 yang dilaksanakan tiga kali per tahun.
Setelah Pemerintah Hindia Belanda mengakhiri kekuasaan di Indonesia, kolonisasi ternyata masih dilanjutkan penguasa Indonesia berikutnya, yaitu Pemerintah Jepang. Disnakertrans mencatat, kolonisasi ke Lampung pada masa pemerintahan berlangsung satu kali pada 1943. Berbeda dengan kolonisasi Pemerintah Hindia Belanda, kolonisasi yang dilakukan Pemerintah Jepang adalah memindahkan romusha (pekerja paksa). Jumlah romusha yang dipindahkan sebanyak 6.329 KK atau 31.700 jiwa.
Ridwan Hardiansyah
Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Lampung (Unila) Wakidi mengatakan, ketiga sistem terbagi menjadi, sistem cuma-cuma periode 1905-1911, sistem pinjaman bank periode 1912-1928, dan sistem bawon periode 1932-1941.
“Pada periodisasi ketiga, muncul juga sistem keluarga yang berlangsung pada 1937-1941,” tutur Wakidi saat ditemui di kediamannya, Sabtu (10/3).
Meskipun begitu, data yang disampaikan Wakidi ternyata memiliki perbedaan dengan arsip serupa milik Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Lampung. Perbedaan tampak pada waktu pelaksanaan sistem pinjaman bank. Disnakertrans mencatat, periode kedua berlangsung pada 1912-1922. Tetapi, penjelasan lebih lanjut mengenai ketiga sistem tersebut tidak banyak terdapat dalam kearsipan Disnakertrans Lampung.
Periode kolonisasi 1905-1911, menurut Wakidi, merupakan masa percobaan pelaksanaan kolonisasi. Pemerintah Hindia Belanda masih memperkirakan kemungkinan keberhasilan program tersebut. Supaya berhasil, pemerintah mengatur segala keperluan bagi pelaksanaan kolonisasi. Hal itu dilakukan bahkan dalam pelaksanaan ekspedisi pemindahan penduduk.
“Pada 1905 yang merupakan kolonisasi pertama, kolonis dipimpin langsung Asisten Residen Banyumas HG Heyting yang merupakan pejabat Pemerintahan Hindia Belanda. Kolonis memanggilnya Tuan Steng. Dia menemani seluruh perjalanan dari Jawa sampai Lampung,” terang Wakidi.
Pada periode dengan sistem cuma-cuma, Pemerintah Hindia Belanda menanggung penuh biaya pemindahan penduduk dari Jawa ke Lampung. Penduduk yang mengikuti kolonisasi mendapatkan segala kebutuhan dari pemerintah secara cuma-cuma. Pemenuhan kebutuhan diberikan untuk satu tahun sejak kepindahan.
Biaya pemindahan penduduk per keluarga, lanjut Wakidi, rata-rata mencapai 750 gulden. Jumlah itu digunakan untuk pengangkutan kolonis dari daerah asal sampai ke daerah kolonisasi, penginapan sementara dalam bedeng, pembuatan rumah, dan porskot (semacam uang saku) kepada setiap keluarga.
Pemerintah Hindia Belanda juga menggunakan anggaran tersebut untuk pembelian alat rumah tangga, alat pertanian, pembukaan lahan pekarangan dan sawah, bibit tanaman, hewan ternak, pelayanan kesehatan dan obatan-obatan, serta keperluan makan yang terdiri dari beras, palawija, dan ikan asin.
“Ikan asin waktu itu menjadi makanan umum di Lampung. Dalam arsipnya, pemerintah menanggung biaya untuk satu tahun. Tetapi laporan yang disampaikan koran-koran Belanda, kolonis hanya menerima tanggungan untuk enam sampai delapan bulan,” urai Wakidi.
Masa percobaan kolonisasi tidak berlangsung mulus. Wakidi menerangkan, faktor pertama yang menjadi penyebab adalah latar belakang kolonis. Banyak dari kolonis memiliki latar belakang petani. Dengan pemberian pelatihan yang sangat singkat, banyak kolonis tidak mampu mengelola lahan dengan baik.
“Banyak juga yang sebelumnya merupakan pengangguran dan pengemis. Perekrutan kolonisasi sebenarnya ada unsur paksaan juga karena pendataan dilakukan aparat berwajib. Jadi, walaupun tidak punya kemampuan, mereka mau tidak mau tetap berangkat,” tutur peraih gelar Magister Humaniora Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 1997 tersebut.
Karena tidak mempunyai keahlian bertani, banyak kolonis kemudian menjadi malas-malasan bekerja. Bahkan, beberapa di antara mereka memutuskan untuk kembali ke daerah asal karena merasa tidak betah dengan kehidupan kolonisasi.
Faktor lain penyebab ketidakberhasilan kolonisasi sistem cuma-cuma adalah fasilitas sosial yang kurang optimal dalam pemberian pelayanan. Wakidi mencontohkan, salah satunya adalah sarana kesehatan.
Pemerintah Hindia Belanda sebenarnya telah menyediakan fasilitas kesehatan. Walaupun begitu, dukungan pemerintah untuk operasional fasilitas dapat dikatakan tidak ada. Sehingga, petugas kesehatan pun tidak bekerja secara optimal untuk memberikan pelayanan.
Banyak kolonis yang meninggal karena terkena penyakit. Wakidi mengatakan, penyakit yang menyerang masyarakat ketika itu, antara lain malaria dan disentri. Hal itu karena lingkungan tempat kolonisasi yang terbilang kumuh.
“Mantri kesehatan ada. Jawatannya ada. Tetapi, (mantri) tidak mau mengurus. Mereka tidak kerja karena tidak ada support (dukungan) dari pemerintah (Hindia Belanda),” terang Wakidi.
Melihat besaran biaya dan kendala yang timbul pada masa percobaan, Pemerintah Hindia Belanda mulai merencanakan sistem baru dalam pelaksanaan kolonisasi. Pemerintah tidak ingin lagi menjamin secara penuh biaya pelaksanaan kolonisasi. Biaya yang masih dijamin pemerintah hanya pada proses pemindahan penduduk. Kolonis akan menanggung sebagian biaya perpindahan melalui sistem pinjaman bank. Pinjaman tersebut akan dikembalikan secara bertahap oleh kolonis. Periode ini berlangsung selama kurang lebih 16 tahun, yaitu antara 1912-1928.
Dengan penerapan sistem utang, Wakidi menjelaskan, Pemerintah Hindia Belanda berharap kolonis akan berusaha lebih keras di daerah kolonisasi. Sebab, kolonis akan merasa memiliki tanggungan yang harus dikembalikan.
“Kolonis terlebih dahulu diberi dana. Harapannya kalau berutang, kolonis akan berusaha lebih keras,” tutur Wakidi.
Untuk melaksanakan sistem pinjaman bank, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Lampongsch Volkbank atau Bank Rakyat Lampung. Bank yang berkedudukan di Telukbetung itu mulai bekerja sejak tahun 1912.
Sistem baru tersebut ternyata masih memiliki kendala. Wakidi menuturkan, kolonis memiliki kebiasaan tanggung renteng atau tanggungan bersama dalam peminjaman dana ke bank. Ketika satu kolonis meminjam dana kepada bank, dana pinjaman tersebut kemudian dipinjamkan kembali kepada kolonis lain. Sehingga, bank mengalami kesulitan ketika menagih utang.
Kesulitan pengembalian utang juga terjadi karena perputaran uang di daerah kolonisasi rendah. Penyebabnya, kolonis mengalami kesulitan dalam menjual hasil panen mereka. Meskipun hasil panen melimpah, kolonis tidak serta merta langsung mendapatkan uang.
“Dulu, hasil panen masih dibawa ke Pasar Bambu Kuning di Tanjungkarang yang cukup jauh karena belum ada alat transportasi. Pasar (di sekitar daerah kolonisasi) waktu itu belum ada. Kolonis menjual sendiri hasil panen mereka. Itu mengakibatkan tingkat sirkulasi uang kolonis menjadi rendah,” urai Wakidi.
Keadaan kolonis semakin membaik pada 1930-an. Hal itu terlihat dari hasil panen yang berlimpah. Bahkan, kolonis tidak mampu untuk memanen sendiri hasil pertanian yang mereka hasilkan. Kondisi ini menjadi awalan penerapan periode sistem bawon pada 1932-1941.
Karena ketidakmampuan untuk memanen hasil pertanian sendiri, kolonis meminta kepada Pemerintah Hindia Belanda supaya keluarga mereka di Jawa didatangkan ke daerah kolonisasi. Harapannya, keluarga kolonis bisa turut membantu mereka memanen.
Pemerintah Hindia Belanda menyetujui permintaan kolonis dan memberangkatkan keluarga mereka di Jawa untuk membantu panen di daerah kolonisasi. Wakidi menjelaskan, keluarga kolonis yang datang untuk sementara masih tinggal di rumah kolonis ketika sampai pertama kali dan bekerja kepada kolonis dengan membantu memanen. Ketika panen selesai, kolonis kemudian membagi hasil panen kepada keluarga yang membantu mereka yang telah menjadi kolonis baru.
Sementara itu, Pemerintah Hindia Belanda menyiapkan lahan yang akan digarap kolonis baru. Pemerintah juga mendirikan bedeng-bedeng sebagai tempat tinggal sementara kolonis baru. Kolonis baru tinggal di bedeng sampai dapat membangun rumah sendiri.
Untuk keperluan hidup sehari-hari, sebelum lahan yang digarap menuai panen, koloni baru bergantung kepada hasil panen yang mereka dapatkan dari membantu koloni lama.
Adapun, kolonisasi sistem keluarga yang timbul pada masa yang bersamaan dengan sistem bawon memiliki mekanisme yang tak berbeda jauh. Hanya saja, kepindahan penduduk dibiayai keluarga kolonis yang sudah berada di daerah kolonisasi.
Tahun 1932 yang menjadi awal pelaksanaan sistem bawon, Pemerintah Hindia Belanda untuk pertama kalinya mulai membuka daerah kolonisasi baru di Lampung. Sejak kolonisasi perdana pada 1905, pemerintah menempatkan kolonis di satu daerah di Lampung, yaitu Gedong Tataan (saat ini menjadi kecamatan di Kabupaten Pesawaran). Pembukaan daerah kolonisasi baru karena Gedong Tataan dianggap sudah penuh. Pada tahun tersebut, jumlah kolonis di Gedong Tataan sudah sebanyak 29.863 jiwa.
Daerah baru yang dibuka Pemerintah Hindia Belanda berada di Gedong Dalam, Sukadana. Sebagian penduduk yang dipindahkan pada 1932 pun sudah mulai menempati daerah tersebut.
Walaupun begitu, perbedaan data kembali ditunjukkan Disnakertrans Lampung. Dalam data Disnakertrans Lampung mengenai penempatan transmigran pada periode kolonisasi, kolonis baru ditempatkan ke Sukadana pada 1934.
Dengan adanya periodisasi sistem, Wakidi memandang, hal itu menunjukkan pelaksanaan kolonisasi tidak sekadar hanya untuk memindahkan penduduk karena kepadatan yang terjadi di Jawa. Pemerintah Hindia Belanda memiliki tujuan politis lain demi mempertahankan kepentingan penjajahan.
Berdasarkan tinjauan yang dilakukan Wakidi, kolonisasi memiliki tujuan tersembunyi untuk mengantisipasi terjadinya pemberontakan di Jawa. Pemerintah Hindia Belanda melihat, jumlah penduduk Jawa yang semakin banyak sangat rentan menimbulkan pemberontakan terhadap pemerintahan penjajah.
“Pemberontakan-pemberontakan banyak terjadi pada abad ke-19 di Jawa. Salah satu yang terbesar adalah perang Diponegoro. Pemerintah khawatir, banyaknya penduduk Jawa dapat memudahkan terjadinya pemberontakan. Hal ini tentunya berbahaya bagi keberadaan pemerintah (Hindia Belanda),” urai Wakidi.
Pemerintah berharap, pemindahan penduduk bisa mengurangi ketegangan yang terjadi di Jawa. Sehingga, pemberontakan maupun kerusuhan yang mungkin terjadi dapat dieliminasi.
Tujuan tersembunyi lain yang diharapkan Pemerintah Hindia Belanda dalam kolonisasi, menurut Wakidi, adalah untuk menyediakan tenaga kerja murah bagi perusahaan perkebunan swasta di luar Jawa. Pada 1939, sebanyak 41 perusahaan perkebunan swasta asing telah beroperasi di Lampung.
“Perusahaan perkebunan swasta asing yang operasional di Lampung rata-rata menanam karet,” tutur Wakidi.
Daerah kolonisasi di Lampung, lanjut Wakidi, diletakkan tidak jauh dari lokasi keberadaan perusahaan perkebunan. Daerah kolonisasi diharapkan bisa berkembang menjadi sebuah keramaian baru. Sehingga, perusahaan perkebunan dapat dengan mudah mendapatkan tenaga kerja murah untuk bekerja di perusahaan mereka.
“Ambil contoh sarana irigasi. Pengairan yang dibuat pemerintah dialirkan untuk kepentingan perusahaan. Sementara, wilayah kolonisasi tidak diberikan. Ini menunjukkan ada idealisme lain pemerintah,” kata Wakidi.
Hal serupa juga disampaikan Ketua Umum Perhimpunan Anak Transmigran Republik Indonesia (PATRI) Muhajir Utomo. Menurut Muhajir, pemenuhan tenaga kerja di luar Jawa menjadi satu bagian dari tujuan pemindahan penduduk.
“Adanya (perusahaan) perkebunan di luar Jawa menyebabkan Pemerintah Hindia Belanda merasa perlu membuat program yang bisa menyelesaikan masalah kependudukan di Jawa sekaligus pemenuhan tenaga kerja di luar Jawa,” jelas Muhajir, Jumat (9/3).
Selama berkuasa di Indonesia, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan 32 kali kolonisasi dari Jawa ke Lampung sejak 1905-1941. Kepala Seksi Transmigrasi Disnakertrans Lampung Neneng Sulasiah mengatakan, daerah asal kolonis di Jawa berasal dari Kedu dan Banyumas.
Sementara, penduduk yang berasal dari Madura baru mulai berpindah ke Lampung pada 1939-1940. Penduduk yang mengikuti kolonisasi lainnya adalah mantan buruh kontrak di Jawa. Kolonisasi mantan buruh kontrak terjadi pada 1932-1938 serta 1941.
“Kami kurang mengetahui daerah asal mereka. Yang pasti, mereka adalah eksburuh kontrak yang bekerja di Jawa,” tutur Neneng saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (8/3).
Selama masa penjajahan Belanda, kolonisasi ke Lampung mampu memindahkan 44.681 kepala keluarga (KK) atau 180.020 jiwa. Pemerintah Hindia Belanda hampir setiap tahun melakukan kolonisasi ke Lampung. Meskipun pada tahun tertentu, kolonisasi tidak dilaksanakan ke Lampung. Sejak 1905-1941, secara total, pemerintah tidak melaksanakan kolonisasi selama 14 tahun, yakni pada 1907-1911, 1923-1927, 1929-1931, dan 1933.
Tetapi, pemberangkatan kolonisasi pada tahun lainnya dilaksanakan lebih dari satu kali per tahun. Hal itu tampak pada kolonisasi tahun 1917, 1919, 1922, 1937, dan 1938 yang berlangsung dua kali per tahun serta tahun 1921 dan 1940 yang dilaksanakan tiga kali per tahun.
Setelah Pemerintah Hindia Belanda mengakhiri kekuasaan di Indonesia, kolonisasi ternyata masih dilanjutkan penguasa Indonesia berikutnya, yaitu Pemerintah Jepang. Disnakertrans mencatat, kolonisasi ke Lampung pada masa pemerintahan berlangsung satu kali pada 1943. Berbeda dengan kolonisasi Pemerintah Hindia Belanda, kolonisasi yang dilakukan Pemerintah Jepang adalah memindahkan romusha (pekerja paksa). Jumlah romusha yang dipindahkan sebanyak 6.329 KK atau 31.700 jiwa.
Ridwan Hardiansyah
No comments:
Post a Comment