Peraturan Nikah Pemerintahan Hindia Belanda
Peraturan Nikah Pemerintahan Hindia Belanda.
Setelah
tahun 1860, terjadi kolonisasi besar-besaran di daerah Sumatera Bagian
Timur. Hal ini disebabkan oleh dibukanya perkebunan di daerah tersebut
dan banyak orang Belanda dan Eropa bekerja disana. Hal ini mengakibatkan
adanya perbandingan yang tidak seimbang antara pria Belanda dan Eropa
dengan para wanita pada masa itu. Oleh sebab itu, perusahaan ditempat
mereka berkerja diminta oleh pemeritahan Hindia Belanda untuk membuatkan
aturan nikah. Aturannya adalah seorang asisten perkebunan Belanda yang
baru, setelah melaksanakan tugas dinasnya selama 6 tahun secara
terus-menerus baru dapat izin untuk menikah. Para Direksi perusahaan
berpendapat bahwa seorang asisten perkebunan, selain bertanggung-jawab
terhadap perkerjaannnya, ia juga memikul beban dan bertanggung-jawab
mengurus isteri dan anak-anaknya. Baru tahun 1922, keluar hukum yang
baru tentang pernikahan yang tidak mengikat dengan kontrak kerja.
Kekurangan wanita-wanita Eropa menyebabkan terjadinya ikatan antara pria-pria Belanda dan Eropa dengan wanita pribumi (Inlander)
yang jarang menuju jenjang perkawinan tetapi melalui pergundikan.
Sampai tahun 1940, pergundikan dikalangan pengusaha perkebunan dianggap
hal biasa dan lumrah. Para wanita Jawa didatangkan dan dikontrak. Mereka
ditugaskan untuk mengurus pekerjaan rumah tangga dan memuaskan
kebutuhan biologis majikan. Bila dalam hubungan ini terjadi anak, maka
wanita Jawa dapat dituduh memang dilakukan dengan sengaja.
Anak-anak
yang lahir dari hubungan tersebut, oleh orang Belanda dan Eropa disebut
Voorkinderen (anak-anak sebelumnya). Si Nyai dan anaknya dikirim ke
luar rumah. Sesudah tahun 1915, anak-anak yang lahir dari hubungan
demikian dapat ditampung di “Bala Keselamatan” yang tujuan awalnya
memang didirikan untuk menampung mereka. Terkadang anak ini dibawa oleh
bapaknya pergi ke Eropa dan tidak kembali lagi. Seorang anak yang ikut
bapaknya ke Eropa menjadi bukti bahwa kehidupan bapaknya dahulu yang
lepas kendali di Nusantara ini. Mereka yang ikut pindah dengan bapaknya
ke Eropa, mereka menjadi warga negara di Eropa keturunan Indonesia dan
kenyataannya saat ini Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI)
sedang mencari para pemain naturalisasi di Eropa untuk dijadikan skuad
Timnas PSSI.
Bagi
para petinggi militer dan pedagang tidak ada aturan dalam menikah.
Mereka akan memilih wanita dari darah campuran atau perempuan Indo.
Karena itu, selain terdapat kultur pribumi juga terjadi percampuran
kultur orang kulit putih dan orang kulit coklat. Dalam kultur dan
kebudayaan ini, pakaian Eropa seperti korset dan rok tidak dipakai lagi.
Akan tetapi digantikan dengan sarung kebaya yang lebih mudah dipakai.
Seorang pria Indo dan wanita Indo yang disebut juga Indo-Europeaan
menerima kebudayaan di Nusantara dengan mudah. Dalam kebudayaan
Indo-mestis kultur, peranan wanita Indo sangat menentukan. Bila ia
menikah dengan seorang pria Belanda totok, mereka tetap melakukan
kebiasaan pribumi seperti biasanya dan terpisah dari kebiasaan suaminya
yang ala Eropa.
No comments:
Post a Comment