Sampur Borobudur
(Catatan untuk sebuah monumen yang penuh catatan)
Menatap layar komputer yang dijejali oleh tulisan-tulisan mengenai borobudur, seperti berada dalam jaring temali interpretasi yang saling ikat tapi juga cekik. Candi yang mengundang kekaguman itu tak berhenti meluncurkan tanda tanya yang beranak-pinak. Tiap jaman yang dilewatinya, senantiasa digoda. Seperti bicara “Ini lho aku, apa yang kau tahu?” Borobudur adalah cerita yang tak pernah selesai. Pekerjaan rumah berjilid-jilid dengan lembaran-lembaran berisi barisan aksara sandi. Lalu pembaca, digiring menerjemahkannya.
Suatu saat di awal tahun 1999, saya sengaja mendatanginya pada senja hari. Tidak ingin mendekat, hanya hendak merasakan kekokohannya dari jarak yang jauh. Borobudur mempesona saya sejak kecil. Hingga menumpuk dalam kepala, pertanyaan-pertanyaan usil mengenai monumen berundak tersebut. Berhari-hari, ketika itu, saya terlibat dengan buku-buku hasil berburu, yang berkisah mengenai candi kuno itu. Rekaman para peneliti dalam dan luar negeri, tumpahan perspektif yang sedemikian beragam, membuat saya mendadak kangen. Ingin merasakan borobudur di senja hingga malam hari. Maka dengan sepeda motor butut, harta berharga saya dimasa itu, segera meluncur ke arah magelang, dari Jogjakarta, kota tempat saya belajar banyak hal. Setelah mendapatkan posisi yang nyaman, saya mengamati candi itu. Gagah, misterius dan dingin. Seperti hawa udara malam yang mulai menyelimuti.
Pada warna yang lebur, merah-kuning-hitam, ujung-ujung stupa itu layaknya tiang kokoh menyangga langit. Ada suasana “wingit” yang menjalar. Saat itu, saya mereka-reka, suasana seperti apa yang berlangsung di jaman borobudur dibangun. Mungkin ditempat saya berpijak adalah desa ramai, atau barangkali kota yang riuh. Bisa juga, disini adalah taman rindang, tempat untuk menikmati monumen pada jarak yang ideal.
Sebuah catatan berspekulasi, bahwa dibawah bangunan berstupa itu, dahulunya adalah bentangan danau. Adalah seniman dan pakar arsitektur Hindu Buddha, W.O.J. Nieuwenkamp, Tahun 1931, yang berpendapat bahwa Daratan tempat Borobudur berdiri, dulunya adalah danau purba. Pakar itu membaca mitologi Jawa, yang beberapa diantaranya menyitir cerita tersebut. Bayangan saya, jika itu benar, tentu sangat indah. Sebuah candi yang seakan mengapung pada gemerlap air danau, seperti teratai di kolam. Ilustrasi yang sama, seperti pergulatan benak Nieuwenkamp.
Susunan batu-batu yang nyaris mengunci sempurna, mulai samar ditutup bayangan hitam. Malam beranjak, dan bulan tidak kelihatan. Ini tanggal muda, dalam kalender jawa. Jika bertemu dengan purnama, tentu pemandangannya akan lain. Langit terang, dan wujud candi tidak terlalu terlihat menghitam. Masih ada kilatan terang pada sisi-sisi tertentu.
Sejak mulai mengenal borobudur, saya kerap bertanya kepada orang-orang terdekat, juga guru-guru, bagaimana bebatuan itu bisa saling mengunci? Lalu dengan seadanya mereka memberikan informasi. Lambat laun, saya merasa jawaban-jawaban semasa kecil itu tak lagi kompatibel dengan logika dan perkembangan cara berpikir saya. Hingga keingintahuan itu tak tuntas, bahkan makin membesar menuntut tanggapan. Tumpuk bebatuan yang menjulang dengan masa bertahan berabad-abad, bagi saya, bukan sesuatu yang remeh. Ini adalah hasil dari perhitungan yang matang dengan teknik perapatan antar bilah batu yang mumpuni. Pada lain sisi, fungsi atas bangunan candi belum terbongkar seluruhnya. Dalam pengetahuan umum, borobudur adalah tempat suci untuk peribadatan agama buddha. Tapi apakah hanya itu?
Saya membayangkan bertemu dengan perancang borobudur secara imajiner. Siapapun dia, arsitek candi tersebut, barangkali mempunyai keinginan untuk menyuguhkan informasi dalam bungkus ketakjuban-ketakjuban. Menyajikan puncak pencapaian pada masanya, hingga orang-orang dimasa depan bisa turut menikmati kegemilangan itu. Boleh disebut Gunadharma atau siapapun, saya tak mau terlibat dalam debat sangkaan perihal nama perancang itu. Yang saya bayangkan, dia adalah desainer ulung. Mengeksekusi konsep dari pernik simbol yang mengandung nilai dan pesan kedalam tata bentuk juga letak.
Dalam pemandangan saya, borobudur yang sedemikian anggun dan penuh misteri itu adalah monumen pengingat. Sama seperti catatan kamar yang dibuat ketika seseorang remaja, lantas dibuka kembali sewaktu usia menua. Dia pencatat yang berjibaku dengan alam. Bertahan dari goncangan gempa, berusaha tetap kokoh dalam semburan debu gunung berapi. Menyimpan gundukan pesan masa lalu yang dibungkus dalam panel-panel relief, lekuk arsitektur dan batu-batu pondasi yang mencengkeram lekat bumi. Para pembangunnya dan mereka yang menginisiasi candi itu tak ubahnya sengaja menyuguhkan teka-teki dengan serentetan simbol dan kode, lalu menyembunyikan kunci penerjemahannnya, sembari bilang “Cobalah terka, cari tahu, gunakan akalmu”
Waktu berlalu, dan hingga kini saya belum terentas dalam timbunan berlembar-lembar catatan mengenai tentang candi itu. Berloncatan antara tulisan-tulisan yang berkutat dalam kenangan dan pemujaan masa lalu yang megah, hingga tulisan penelitian yang serius dan bertebaran teori. Dibeberapa map data, terselip ulasan-ulasan dari para peneliti alternatif. Mereka yang memadukan mitologi, narasi diluar selubung konvensi standar ilmiah, dan juga telaah dari sudut pandang mistik. Saya mengibaratkan borobudur layaknya gadis jelita yang didekati oleh beragam pria. Namun hanya yang berani mengutarakan kemauanlah yang bersuara. Seperti catatan-catatan dalam komputer ini. Juga serupa dengan berbagai tulisan di blog-blog internet mengenai borobudur.
Analisa mengenai candi besar itu adalah ikhtiar yang butuh keberanian. Diluar perkara data dan fakta, borobudur adalah juga rumah simulasi. Bagaimana menerka kehidupan masa silam, berikut kelemahan-kekuatannya, hingga asumsi tentang kuno dan kini menjadi tak lagi bisa dipikirkan linear.
Barangkali waktu seperti gulungan benang. Saling terkait tapi susah ditemukan mana ujung mana pangkal dengan sederhana. Sejarah adalah upaya meruntut jalur lilitan. Supaya paham pola dan karakter, bahwa lingkaran benang didalam berbeda kondisi dengan yang diluarnya. Baik kekuatan, kepekatan warna juga arah lintangnya. Tak lagi sesuai, menilai persoalan masa serupa garis lurus yang menempatkan masa lalu sebagai keterbelakangan teknologi, khasanah intelektual juga spiritual. Lalu masa depan adalah kecermelangan pencapaian kehidupan.
Bagi saya, peradaban terpilah dalam tema masing-masing. Berjalan dalam lintasan zaman yang mengulir dinamis pada sebuah peta bernama waktu. Tiap peradaban mempunyai pencapaian sendiri-sendiri. Komparasi dilakukan bukan untuk mencari tahu siapa yang pemenang dan mana yang pencundang. Tapi lebih kepada upaya menyadap nilai-nilai sebuah masa untuk diterap berlakukan pada penggal waktu yang lain.
Sama seperti apa yang terjadi belakangan ini. Indonesia dikejutkan oleh penemuan-penemuan diluar hitungan yang menghentak. Adanya dugaan piramida yang tertimbun tanah membentuk bebukitan. Bertebaran spekulasi tentang masa lalu nusantara yang gilang gemilang. Kisah-kisah alternatif mengenai rekonstruksi sejarah kepulaan ini banyak bermunculan. Dibeberapa bagian rumah bernama Indonesia ini sedang sibuk mencari jatidirinya. Di saat kegaduhan politik sedang terjadi di teras.
Bisa jadi ini kerinduan terhadap identitas diri indonesia, meski juga tak menutup kemungkinan, kemeriahan penelaahan masa lalu nusantara adalah penjara nostalgia. Dimana orang bersibuk dalam wacana sejarah, baik yang konvensional maupun bukan, untuk asyik masyhuk dalam aroma kebesaran masa lalu, hingga lupa apa yang hendak diperbuat. Tak menghasilkan apapun kecuali cerita-cerita yang hanya mengundang decak kagum. Semoga bagian yang akhir tadi tidak menjadi wabah.
Demikian pula ketika membahas borobudur. Apa yang bisa didapatkan dari monumen itu selain nilai-nilai spiritualitas dan hakekat hidup? Barangkali disana masih bergelayutan simpul-simpul informasi yang berkaitan dengan hal teknis dan teknologi perangkat fisik kehidupan. Tentu itu bukan bertujuan mencari kebanggaan semata, tapi telusur atas formula, siapa tahu bisa menjadi aplikasi yang berguna untuk membantu kehidupan sosial pada jaman ini.
Borobudur bukan jawaban, tentang kehidupan manusia atau jatidiri indonesia sekalipun. Tapi dia adalah wahana mencurahkan pertanyaan. Dimana pada misteri yang melingkupi bangunan itu, percik-percik informasi bisa dijalin menjadi bentangan pengetahuan, untuk manfaat hidup bersama, dan cara memahami kebesaran Yang Maha Kuasa.
Layaknya gadis jelita yang digambarkan diatas. Borobudur adalah fenomena yang terus menebar pesona. Penari yang melirik kesempatan, melempar sampur kepada penontonnya. Apakah keikutsertaan itu membawa keceriaan, tumbuhnya energi yang membahagiakan sesama, atau hanya melunaskan keinginan diri untuk menggoyang kaki? Itu perkara pilihan. Yang jelas, masa lalu bisa menjadi kenangan yang ranum untuk di ambil sari manfaatnya, juga mampu menjelma penjara, dimana orang terasa indah, tapi tak menghasilkan apapun yang berguna bagi hidup bersama, selain menumpuk ilusi, memuja mimpi. Barangkali
Erik Supit
Menatap layar komputer yang dijejali oleh tulisan-tulisan mengenai borobudur, seperti berada dalam jaring temali interpretasi yang saling ikat tapi juga cekik. Candi yang mengundang kekaguman itu tak berhenti meluncurkan tanda tanya yang beranak-pinak. Tiap jaman yang dilewatinya, senantiasa digoda. Seperti bicara “Ini lho aku, apa yang kau tahu?” Borobudur adalah cerita yang tak pernah selesai. Pekerjaan rumah berjilid-jilid dengan lembaran-lembaran berisi barisan aksara sandi. Lalu pembaca, digiring menerjemahkannya.
Suatu saat di awal tahun 1999, saya sengaja mendatanginya pada senja hari. Tidak ingin mendekat, hanya hendak merasakan kekokohannya dari jarak yang jauh. Borobudur mempesona saya sejak kecil. Hingga menumpuk dalam kepala, pertanyaan-pertanyaan usil mengenai monumen berundak tersebut. Berhari-hari, ketika itu, saya terlibat dengan buku-buku hasil berburu, yang berkisah mengenai candi kuno itu. Rekaman para peneliti dalam dan luar negeri, tumpahan perspektif yang sedemikian beragam, membuat saya mendadak kangen. Ingin merasakan borobudur di senja hingga malam hari. Maka dengan sepeda motor butut, harta berharga saya dimasa itu, segera meluncur ke arah magelang, dari Jogjakarta, kota tempat saya belajar banyak hal. Setelah mendapatkan posisi yang nyaman, saya mengamati candi itu. Gagah, misterius dan dingin. Seperti hawa udara malam yang mulai menyelimuti.
Pada warna yang lebur, merah-kuning-hitam, ujung-ujung stupa itu layaknya tiang kokoh menyangga langit. Ada suasana “wingit” yang menjalar. Saat itu, saya mereka-reka, suasana seperti apa yang berlangsung di jaman borobudur dibangun. Mungkin ditempat saya berpijak adalah desa ramai, atau barangkali kota yang riuh. Bisa juga, disini adalah taman rindang, tempat untuk menikmati monumen pada jarak yang ideal.
Sebuah catatan berspekulasi, bahwa dibawah bangunan berstupa itu, dahulunya adalah bentangan danau. Adalah seniman dan pakar arsitektur Hindu Buddha, W.O.J. Nieuwenkamp, Tahun 1931, yang berpendapat bahwa Daratan tempat Borobudur berdiri, dulunya adalah danau purba. Pakar itu membaca mitologi Jawa, yang beberapa diantaranya menyitir cerita tersebut. Bayangan saya, jika itu benar, tentu sangat indah. Sebuah candi yang seakan mengapung pada gemerlap air danau, seperti teratai di kolam. Ilustrasi yang sama, seperti pergulatan benak Nieuwenkamp.
Susunan batu-batu yang nyaris mengunci sempurna, mulai samar ditutup bayangan hitam. Malam beranjak, dan bulan tidak kelihatan. Ini tanggal muda, dalam kalender jawa. Jika bertemu dengan purnama, tentu pemandangannya akan lain. Langit terang, dan wujud candi tidak terlalu terlihat menghitam. Masih ada kilatan terang pada sisi-sisi tertentu.
Sejak mulai mengenal borobudur, saya kerap bertanya kepada orang-orang terdekat, juga guru-guru, bagaimana bebatuan itu bisa saling mengunci? Lalu dengan seadanya mereka memberikan informasi. Lambat laun, saya merasa jawaban-jawaban semasa kecil itu tak lagi kompatibel dengan logika dan perkembangan cara berpikir saya. Hingga keingintahuan itu tak tuntas, bahkan makin membesar menuntut tanggapan. Tumpuk bebatuan yang menjulang dengan masa bertahan berabad-abad, bagi saya, bukan sesuatu yang remeh. Ini adalah hasil dari perhitungan yang matang dengan teknik perapatan antar bilah batu yang mumpuni. Pada lain sisi, fungsi atas bangunan candi belum terbongkar seluruhnya. Dalam pengetahuan umum, borobudur adalah tempat suci untuk peribadatan agama buddha. Tapi apakah hanya itu?
Saya membayangkan bertemu dengan perancang borobudur secara imajiner. Siapapun dia, arsitek candi tersebut, barangkali mempunyai keinginan untuk menyuguhkan informasi dalam bungkus ketakjuban-ketakjuban. Menyajikan puncak pencapaian pada masanya, hingga orang-orang dimasa depan bisa turut menikmati kegemilangan itu. Boleh disebut Gunadharma atau siapapun, saya tak mau terlibat dalam debat sangkaan perihal nama perancang itu. Yang saya bayangkan, dia adalah desainer ulung. Mengeksekusi konsep dari pernik simbol yang mengandung nilai dan pesan kedalam tata bentuk juga letak.
Dalam pemandangan saya, borobudur yang sedemikian anggun dan penuh misteri itu adalah monumen pengingat. Sama seperti catatan kamar yang dibuat ketika seseorang remaja, lantas dibuka kembali sewaktu usia menua. Dia pencatat yang berjibaku dengan alam. Bertahan dari goncangan gempa, berusaha tetap kokoh dalam semburan debu gunung berapi. Menyimpan gundukan pesan masa lalu yang dibungkus dalam panel-panel relief, lekuk arsitektur dan batu-batu pondasi yang mencengkeram lekat bumi. Para pembangunnya dan mereka yang menginisiasi candi itu tak ubahnya sengaja menyuguhkan teka-teki dengan serentetan simbol dan kode, lalu menyembunyikan kunci penerjemahannnya, sembari bilang “Cobalah terka, cari tahu, gunakan akalmu”
Waktu berlalu, dan hingga kini saya belum terentas dalam timbunan berlembar-lembar catatan mengenai tentang candi itu. Berloncatan antara tulisan-tulisan yang berkutat dalam kenangan dan pemujaan masa lalu yang megah, hingga tulisan penelitian yang serius dan bertebaran teori. Dibeberapa map data, terselip ulasan-ulasan dari para peneliti alternatif. Mereka yang memadukan mitologi, narasi diluar selubung konvensi standar ilmiah, dan juga telaah dari sudut pandang mistik. Saya mengibaratkan borobudur layaknya gadis jelita yang didekati oleh beragam pria. Namun hanya yang berani mengutarakan kemauanlah yang bersuara. Seperti catatan-catatan dalam komputer ini. Juga serupa dengan berbagai tulisan di blog-blog internet mengenai borobudur.
Analisa mengenai candi besar itu adalah ikhtiar yang butuh keberanian. Diluar perkara data dan fakta, borobudur adalah juga rumah simulasi. Bagaimana menerka kehidupan masa silam, berikut kelemahan-kekuatannya, hingga asumsi tentang kuno dan kini menjadi tak lagi bisa dipikirkan linear.
Barangkali waktu seperti gulungan benang. Saling terkait tapi susah ditemukan mana ujung mana pangkal dengan sederhana. Sejarah adalah upaya meruntut jalur lilitan. Supaya paham pola dan karakter, bahwa lingkaran benang didalam berbeda kondisi dengan yang diluarnya. Baik kekuatan, kepekatan warna juga arah lintangnya. Tak lagi sesuai, menilai persoalan masa serupa garis lurus yang menempatkan masa lalu sebagai keterbelakangan teknologi, khasanah intelektual juga spiritual. Lalu masa depan adalah kecermelangan pencapaian kehidupan.
Bagi saya, peradaban terpilah dalam tema masing-masing. Berjalan dalam lintasan zaman yang mengulir dinamis pada sebuah peta bernama waktu. Tiap peradaban mempunyai pencapaian sendiri-sendiri. Komparasi dilakukan bukan untuk mencari tahu siapa yang pemenang dan mana yang pencundang. Tapi lebih kepada upaya menyadap nilai-nilai sebuah masa untuk diterap berlakukan pada penggal waktu yang lain.
Sama seperti apa yang terjadi belakangan ini. Indonesia dikejutkan oleh penemuan-penemuan diluar hitungan yang menghentak. Adanya dugaan piramida yang tertimbun tanah membentuk bebukitan. Bertebaran spekulasi tentang masa lalu nusantara yang gilang gemilang. Kisah-kisah alternatif mengenai rekonstruksi sejarah kepulaan ini banyak bermunculan. Dibeberapa bagian rumah bernama Indonesia ini sedang sibuk mencari jatidirinya. Di saat kegaduhan politik sedang terjadi di teras.
Bisa jadi ini kerinduan terhadap identitas diri indonesia, meski juga tak menutup kemungkinan, kemeriahan penelaahan masa lalu nusantara adalah penjara nostalgia. Dimana orang bersibuk dalam wacana sejarah, baik yang konvensional maupun bukan, untuk asyik masyhuk dalam aroma kebesaran masa lalu, hingga lupa apa yang hendak diperbuat. Tak menghasilkan apapun kecuali cerita-cerita yang hanya mengundang decak kagum. Semoga bagian yang akhir tadi tidak menjadi wabah.
Demikian pula ketika membahas borobudur. Apa yang bisa didapatkan dari monumen itu selain nilai-nilai spiritualitas dan hakekat hidup? Barangkali disana masih bergelayutan simpul-simpul informasi yang berkaitan dengan hal teknis dan teknologi perangkat fisik kehidupan. Tentu itu bukan bertujuan mencari kebanggaan semata, tapi telusur atas formula, siapa tahu bisa menjadi aplikasi yang berguna untuk membantu kehidupan sosial pada jaman ini.
Borobudur bukan jawaban, tentang kehidupan manusia atau jatidiri indonesia sekalipun. Tapi dia adalah wahana mencurahkan pertanyaan. Dimana pada misteri yang melingkupi bangunan itu, percik-percik informasi bisa dijalin menjadi bentangan pengetahuan, untuk manfaat hidup bersama, dan cara memahami kebesaran Yang Maha Kuasa.
Riset-riset terkini yang menyeruak memberi aroma baru pada peneropongan borobudur. Meskipun tak semuanya diterima dalam diskusi-diskusi terbuka, tapi setidaknya, borobudur meluangkan tempat bagi siapapun yang ingin berkenalan dan dekat. Ada tim Arkeoastronomi Borobudur yang menemukan fungsi stupa pada candi itu sebagai alat penanda musim. Lalu juga teman-teman dari Bandung Fe Institute yang meneliti lantas berkesimpulan bahwa borobudur dibangun secara algoritimik atau seperti proses pembuatan program komputer, dengan mengikuti prosedur otomata selular totalistik. Hingga kemeriahan informasi yang disuguhkan oleh komunitas Turangga seta juga Fahmi Basya dengan pendapat-pendapatnya yang menggelitik, merupakan genderang riuh yang melingkupi kokohnya candi, dan usaha-usaha mencari tahu ada apa disebalik teka-teki.Sebab bagi saya hidup bukan medan mencari jawab, tapi tempat membuat pertanyaan. Semua jawaban sudah ada tersedia melalui mekanisme penciptaan dalam gelaran alam semesta dimana manusia ada didalamnya, tinggal bagaimana cara membuat pertanyaan secocok mungkin dengan konteks yang berjalan.
Layaknya gadis jelita yang digambarkan diatas. Borobudur adalah fenomena yang terus menebar pesona. Penari yang melirik kesempatan, melempar sampur kepada penontonnya. Apakah keikutsertaan itu membawa keceriaan, tumbuhnya energi yang membahagiakan sesama, atau hanya melunaskan keinginan diri untuk menggoyang kaki? Itu perkara pilihan. Yang jelas, masa lalu bisa menjadi kenangan yang ranum untuk di ambil sari manfaatnya, juga mampu menjelma penjara, dimana orang terasa indah, tapi tak menghasilkan apapun yang berguna bagi hidup bersama, selain menumpuk ilusi, memuja mimpi. Barangkali
Erik Supit
No comments:
Post a Comment