Sultan Ageng Tirtayasa, Perjuangan Tanpa Akhir demi Terbebasnya Banten
“Bangsa yang besar ialah bangsa yang mengenal perjuangan para pahlawannya”
Baru beberapa hari
yang lalu kita, kaum muda memperingati Hari Sumpah Pemuda. Hari yang
mudah-mudahan masih bukan sekedar diperingati, tapi juga menjadi
momentum penyemangat tiap tahunnya bagi kita kaum muda untuk terus
berkarya bagi bangsa ini. Perjuangan kita saat ini memang bukanlah
mengangkat bambu runcing dan melawan para penjajah, perjuangan untuk
berkarya bagi bangsa itulah perjuangan kita saat ini dan untuk tetap
bertahan dari gempuran “penjajahan modern” bernama globalisasi dan
kapitalisme yang terus merajalela.
Untuk menambah
semangat juang kita, tak ada salahnya untuk mengingat kembali perjuangan
para pahlawan kita di masa penjajahan dahulu. Perjuangan para pahlawan
hendaknya terus diingat, diteladani dan terus diceritakan bagi generasi
penerus. Terkadang sedih hati ini bila saya bertanya pada adik saya
tentang para pahlawan, hanya sedikit saja yang diketahui namanya apalagi
perjuangannya. Jangankan adik saya, mungkin kita-kita yang sudah dewasa
dan bahkan pernah mendapat pelajaran sejarah hingga bangku SMA pun bila
ditanya mengenai pahlawan nasional, hanya beberapa saja yang kita
ingat.
Sebenarnya banyak
cerita pahlawan yang menarik, tapi sebagai orang Banten maka tentunya
saya akan membahas tentang Sultan Ageng Tirtayasa. Bagi orang Banten
tentu nama pahlawan yang satu ini sangat dikenal. Bahkan namanya menjadi
nama salah satu universitas negeri di Kota Serang. Tapi mungkin banyak
yang belum mengetahui bagaimana perjuangan kisah pahlawan Banten yang
satu ini.
Sultan Ageng
Tirtayasa, merupakan penguasa Banten yang terkenal cakap dalam
menjalankan pemerintahan di Banten pada sekitar tahun 1651-1683. Dalam
masa pemerintahannya, Banten mengalami masa kejayaan terutama dalam
bidang perdagangan dan penyebaran agama Islam.
Peran Sultan Ageng Tirtayasa dalam Mengembangkan Perdagangan Banten
Dalam
pengembangan bidang perdagangan, beliau sejak masih dalam usia muda dan
bergelar Sultan Abdul Fathi telah mengamati bahwa adanya VOC di Batavia
suatu saat akan membahayakan Banten dalam bidang perdagangan. Praktek
monopoli perdagangan yang dilakukan VOC akan merugikan perekonomian
Banten, hal ini disebabkan para pedagang yang akan berlayar ke pelabuhan
Banten harus singgah dulu di Batavia. Untuk mengatasi hal ini, Sultan
Ageng Tirtayasa mengeluarkan sejumlah kebijakan, yakni memperluas
wilayah perdagangan dengan memperluas daerah kekuasaan dan mengusir
Belanda dari Batavia.
Berkat kebijakan itu, Banten menjadi kota pelabuhan dan perdagangan yang amat penting di Selat Malaka, dibandingkan Batavia. VOC
yang tidak menyukai hal ini kemudian melakukan blokade perdagangan
dengan Banten. Hingga akhirnya setelah tiga tahun lamanya, dan dampak
blokade makin terasa akhirnya Banten terpaksa menyatakan
pengakuan atas hak-hak Belanda dan perdagangan Banten pun dibatasi.
Namun hal ini tidak berlangsung lama, karena beberapa bulan setelahnya
Sultan Ageng Tirtayasa kembali membuka Banten sebagai pelabuhan terbuka.
Peran Sultan Ageng Tirtayasa dalam Penyebaran Agama Islam
Di saat yang
bersamaan, Sultan Ageng Tirtayasa pun menginginkan Banten menjadi
Kerajaan Islam terbesar di Indonesia. Beliau menaruh perhatian yang
sangat besar dalam bidang agama. Salah satunya ialah dengan mengangkat
Syekh Yusuf, seorang ulama Makassar, menjadi mufti kerajaan yang
bertugas menyelesaikan permasalahan agama dan penjadi penasihat sultan
di kerajaan. Selain itu, beliau juga meningkatkan pendidikan agama baik
di lingkungan kerajaan maupun rakyatnya dengan mendirikan berbagai
pondok pesantren. Agama Islam pun berkembang pesat disertai dengan
pembangunan berbagai sarana beribadah seperti mushala dan masjid.
Konflik Perebutan Kekuasaan Kerajaan Banten
Sultan Ageng Tirtayasa
dikaruniai dua putra, yakni Pangeran Gusti dan Pangeran Purbaya. Awal
mula perebutan kekuasaan Kerajaan Banten bermula setelah kepulangan
Pangerang Gusti dari Mekah. Kepergian Pangeran Gusti atau lebih dikenal
dengan Sultan Haji ke Mekah sebenarnya dimaksudkan agar Pangerang Gusti
dapat melihat perkembangan agama Islam di berbagai negara dan
menyebarkan wawasan dan pengetahuan agama Islam-nya di bumi Banten.
Selama kepergian Pangeran Gusti, tugas-tugas pemerintahan untuk
sementara diserahkan pada Pangeran Purbaya setelah Sultan Ageng
Tirtayasa mengundurkan diri.
Setelah kepulangan
Sultan Haji dari Mekah dia melihat peranan adiknya yang lebih besar di
bidang pemerintahan. Hal ini memicu pertikaian antara Sultan Haji dengan
Pangeran Purbaya dan Sultan Ageng Tirtayasa. Sejak konflik ini muncul,
Sultan Ageng Tirtayasa sering pergi ke dusun Tirtayasa, dan bahkan
mendirikan keraton baru. Dusun Tirtayasa sebenarnya merupakan awal mula
julukan Sultan Ageng Tirtayasa tersebut, pada mulanya beliau lebih
dikenal dengan sebutan Sultan Abdul Fathi.
Pembumihangusan Keraton dan Asa yang belum Habis
Masalah internal dalam
kerajaan Banten ini tentunya tidak luput dari pengamatan Belanda yang
masih mncari celah untuk melemahkan kerajaan Banten. Belanda kemudian
mendekati Sultan Haji dan mengadu-domba dirinya dengan ayahnya. Belanda
memanas-manasi Sultan Haji bahwa ayahnya kelak akan mngangkat Pangeran
Purbaya sebagai Sultan, bukan dirinya. Akibatnya, Sultan Haji pun
melakukan perjanjian dengan Belanda dan mengkudeta ayahnya dari tahta
kesultanan tahun 1681.
Sementara itu, setelah
penggulingan kekuasaan tersebut, Sultan Ageng Tirtayasa tidak lantas
berdiam diri. Beliau langsung menyusun kekuatan bersenjata guna
mengepung Sultan Haji di Sorosowan (Banten). Karena terus terdesak akhirnya Sultan Haji meminta bantuan Belanda.
Dipimpin Kapiten Tack dan de Saint Martin, Belanda juga menyerang
benteng Tirtayasa dan dapat menaklukkannya meski menderita kerugian
besar. Akan tetapi sebelum Belanda memasuki benteng tersebut, Sultan
Ageng Tirtayasa sempat terlebih dulu membakar seluruh isi benteng dan
lantas melarikan diri bersama Pangeran Purbaya dan pengikutnya. Walau
pertahanan terakhir Sultan Ageng sudah jatuh, namun Belanda tidak
otomatis dapat memadamkan perlawanan rakyat Banten.
Perang Gerilya dari Hutan Kranggan dan Adu Domba Belanda
Meski kratonnya telah
terbakar hangus, namun Sultan Ageng Tirtayasa tidak menghentikan
perlawanannya sama sekali. Beliau masih memimpin perlawanan secara
gerilya dari dalam hutan Kranggan bersama para
pengikutnya. Sultan Haji yang makin terdesak dan melakukan tipu-muslihat
bersama Belanda dengan meminta Sultan Ageng Tirtaya untuk kembali ke
keraton. Tanpa kecurigaan sedikit pun, beliau akhirnya kembali ke
keraton, namun setibanya disana beliau ditangkap oleh Belanda. Akibat
pengkhianatan yang dilakukan putranya itu pula, Sultan Ageng Tirtayasa
ditangkap dan kemudian dijebloskan ke penjara di Jakarta. Akhirnya pada
tahun 1682, Sultan Ageng Tirtayasa meninggal dunia dan sebelum
kematiannya beliau meminta untuk dimakamkan di samping makam Para Sultan
di Masjid Agung.
Demikianlah kisah
singkat dari Sultan Ageng Tirtayasa. Mudah-mudahan bisa menjadi
pengingat dan pemacu semangat kita dalam berkarya. Ingatlah perjuangan
beliau yang bahkan tetap tidak mau menyerahkan Banten kepada kompeni
Belanda hingga meski beliau telah terdesak dan terpaksa membumihanguskan
keratonnya. Beliau tetap melanjutkan perlawanan secara gerilya dari
hutan Kranggan. Perjuangan beliau tidak kenal lelah dan tidak rela bila
tanah Banten dikuasai penjajah.
Beliau pun ialah
pemimpin yang selain memperhatikan aspek perdagangan juga turut
memperhatikan penyebaran agama Islam di tanah Banten. Sehingga pada masa
kejayaannya, Banten menjadi kota pelabuhan dan perdagangan penting di
Selat Malaka serta menjadi pusat penyebaran agama Islam di Pulau Jawa
khususnya Banten.
Meski diakhir
perjuangannya, beliau tertangkap atas tipu-muslihat Sultan Haji dan
Belanda, namun hal itu bukanlah karena dia menyerah secara sukarela.
Beliau menyerah karena memang dijebak. Dijebak oleh pengkhianatan
putranya sendiri. Mungkin dalam lubuk hati Sultan Ageng Tirtayasa,
beliau masih ingin berbaikan dengan putranya dan memaafkan segala
kesalahan putranya itu dengan tulus meski di akhir perjuangannya,
putranya pula yang akhirnya mengakhiri perjuangan beliau.
Masih banyak kisah
pahlawan Banten lainnya, yang mungkin dalam kesempatan lain akan saya
kisahkan. Semoga menjadi inspirasi bagi pemuda-pemuda Indonesia untuk
tidak mengenal kata menyerah dalam berkarya. Akhir perjuangan Sultan
Ageng Tirtayasa hendaknya menjadi pengingat untuk terus bersikap waspada
dan menyaring segala arus informasi yang bertebaran di sekitar kita.
Tidak semua informasi harus diterima, tetapi harus disaring sehingga
dapat bermanfaat bagi kehidupan kita.
Tetap semangat
berkarya, teladani kisah para pahlawan jadikan semangat baru bagi kita
dalam menjalani lika-liku kehidupan ini ! Jangan Mudah Menyerah!
Rahma Sofiannisa
No comments:
Post a Comment