Bangsa Jepang Adalah Suku Yahudi Yang Hilang? (3)
MAKA teruslah diperlihatkan kesamaan-kesamaan Jepang dan Yahudi oleh Pendeta Arimasa Kubo dan Joseph Eidelberg sekaligus diperlengkap dengan ayat-ayat kitab Yahudi. Dan banyaknya pembuktian kesamaan itu, sehingga semakin tidak diragukan lagi kesamaan tradisi Yahudi-Jepang dengan ajaran Kabbalah-nya yang selama ini tidak diketahui oleh orang banyak.
Garam
Orang Jepang memiliki kebiasaan menggunakan garam untuk ritual penyucian. Penduduk terkadang menaburkan garam setelah orang jahat beranjak pergi. Tradisi ini serupa dengan Israel kuno. Alkisah, setelah Abimelech merebut kota musuh, “ia menaburinya dengan garam” (Para Hakim 9:45). Orang Jepang dapat cepat memahami bahwa ini sama artinya dengan membersihkan dan menyucikan kota.
Ketika orang Yahudi menempati rumah baru, mereka menaburinya dengan garam untuk menyucikan dan membersihkannya. Ini sama dengan orang Jepang. Di restoran khas Jepang, garam biasanya diletakkan di dekat pintu masuk. Orang Jepang juga meletakkan garam di pintu masuk pemakaman. Setelah kembali dari pemakaman, seseorang harus menaburkan garam kepada seseorang yang lain sebelum ia (orang yang ditaburi garam) memasuki rumahnya, karena dalam agama Shinto terdapat anggapan bahwa semua orang yang pergi ke pemakaman atau menyentuh mayat menjadi tidak bersih. Demikian pula dengan bangsa Yahudi.
Sumo atau pegulat tradisional Jepang biasa menaburi ringnya dengan garam sebelum mereka bertarung. Sumo dalam kepercayaan Jeang merupakan satu persembahan. Ini serupa dengan kebiasaan yang dilakukan bangsa Yahudi sebagaimana Bibel mengatakan, “Saat kau melakukan persembahan, kau harus mempersembahkan garam” (Leviticus 2:13). Tradisi kuo Jepang biasa memasukkan garam ke air saat mandi pertama bayi. Demikian pula dengan orang Yahudi yang lazim membasuh bayi yang baru lahir dengan air setelah menggosok sang bayi dengan garam secara lembut (Ezekiel 16:4). Penyucian dan pembersihan dengan menggunakan garam merupakan kebiasaan umum yang terdapat dalam tradisi Jepang dan Yahudi.
Jubah pendeta Jepang Sama Dengan Jubah Pendeta Yahudi
Bibel mengatakan bahwa ketika David membawa tabut ke Yerusalem; “David berpakaian jubah yang terbuat dari linen halus” (Kejadian 1 15:27). Begitu pula dengan para pendeta dan paduan suara. Dalam Bibel berbahasa Jepang, ayat ini diterjemahkan menjadi “jubah dari linen putih”.
Pada masyarakat Israel kuno, meski pendeta tinggi mengenakan jubah berwarna, para pendetanya atau Rabi umumnya mengenakan linen putih. Para pendeta mengenakan pakaian berwarna putih pada acara-acara suci. Begitu pula dengan para pendeta Jepang, mengenakan jubah putih di setiap acara suci.
Di Ise-jingu, salah satu kuil tertua di Jepang, semua pendeta mengenakan jubah putih. Dan di banyak kuil Shinto lainnya di Jepang, orang-orang mengenakan jubah putih saat mengangkut “Omikoshi”, persis seperti yang dilakukan Yahudi. Para pendeta Budha mengenakan jubah berwarna yang mewah. Tapi dalam agama Shinto Jepang, putih dianggap sebagai warna paling suci.
Salah satu contoh dilakukan Kaisar Jepang. Setelah ia menyelesaikan upacara kenaikan tahta, dia harus datang sendirian ke hadapan dewa Shinto. Saat pergi ke sana, ia mengenakan jubah berwarna putih polos di seluruh tubuhnya. Sementara kakinya tidak mengenakan apa-apa. Hal ini sama dengan ketika Musa dan Joshua melepas alas kaki mereka di hadapan Tuhan (Eksodus 3:5, Joshua 5:15).
Marvin Tokayer, seorang rabi yang tinggal di Jepang selama 10 tahun, menulis dalam bukunya: “Jubah linen yang dikenakan oleh pendeta Shinto Jepang memiliki bentuk yang sama dengan jubah linen putih pada para pendeta Israel kuno.”
Selain itu, jubah para pendeta Shinto Jepang memiliki tali sepanjang 20-30 cm (sekitar 10 inchi) yang menggantung dari sudut jubah. Keberadaan bagian yang menjuntai ini (fringe/jumbai) merupakan kebiasaan orang-orang Israel. Deuteronomy 22:12 mengatakan: “Buatlah menggantung di sudut pakaian mereka sepanjang generasi.”
Jumbai ini merupakan sebuah tanda bahwa seseorang adalah kaum Yahudi. Dalam ajaran Perjanjian Baru, juga tertulis bahwa para Farisi (anggota sekte Yahudi kuno) “memanjangkan jumbai pada pakaian mereka” (Matius 23:5). Seorang wanita yang sedang mengalami pendarahan datang pada Yesus (Yeshua) dan menyentuh “jumbai pada mantel-Nya” (Matius 9:20). Pakaian Yahudi kuno kadang kala tidak memiliki jumbai. Namun jubah mereka benar-benar memiliki jumbai. Menurut tradisi, Tallit Yahudi (syal untuk beribadah), yang dipakai oleh Yahudi ketika berdoa, memiliki jumbai pada sudut-sudutnya.
Pendeta Shinto Jepang memasangkan kain berbentuk persegi pada jubah mereka, dari bahu hingga paha. Ini sama dengan ephod yang dipakai oleh David: “David juga mengenakan ephod dari linen.” (Kejadian 1 15:27)
Meskipun ephod yang dikenakan pendeta tinggi dipenuhi warna dengan adanya permata, pendeta biasa, yang tingkatnya berada di bawahnya, mengenakan ephod dari kain linen putih yang sederhana (Samuel 1 22:18). Rabbi Tokayer mengatakan bahwa kain persegi yang menempel pada jubah pendeta Shinto Jepang terlihat sangat mirip dengan ephod Kohen, pendeta Yahudi.
Pendeta Shinto Jepang meletakkan topi di kepalanya, persis seperti yang dilakukan pendeta Yahudi (Eksodus 29:40). Pendeta Jepang juga memasang ikat/selempang di pinggangnya. Begitu pula halnya dengan pendeta Israel. Pakaian para pendeta Shinto Jepang pasti merupakan pakaian yang digunakan oleh Israel kuno.
Melambaikan hasil panen juga merupakan kebiasaan di Jepang
Orang-orang Yahudi melambaikan hasil panen mereka, berupa tumpukan padi, 7 minggu sebelum Shavuot (Pentecost, Leviticus 23:10-11). Mereka juga melakukannya pada saat Feast of Booths (Sukkot, Leviticus 23:40). Ini telah menjadi tradisi sejak masa Musa. Pendeta Israel kuno juga melambaikan sebuah ranting tanaman ketika melakukan penyucian terhadap seseorang. David mengatakan, “Bersihkan diriku dengan hyssop (herbal aromatik berupa semak kecil, dulu sering dipakai untuk pengobatan-pen), dan aku akan menjadi bersih” [Mazmur 51:7(9)]. Ini juga merupakan adat-istiadat tradisional Jepang.
Ketika pendeta Jepang melakukan penyucian terhadap seseorang atau sesuatu, ia melambaikan sebuah ranting tanaman. Atau melambaikan “harainusa”, yang sangat serupa dengan ranting tanaman. “Harainusa” di masa sekarang lebih sederhana dan terbuat dari kertas putih yang dilipat membentuk zig-zag seperti petir kecil, namun di zaman dahulu “harainusa” adalah sebuah ranting tanaman atau rumput.
Garam
Orang Jepang memiliki kebiasaan menggunakan garam untuk ritual penyucian. Penduduk terkadang menaburkan garam setelah orang jahat beranjak pergi. Tradisi ini serupa dengan Israel kuno. Alkisah, setelah Abimelech merebut kota musuh, “ia menaburinya dengan garam” (Para Hakim 9:45). Orang Jepang dapat cepat memahami bahwa ini sama artinya dengan membersihkan dan menyucikan kota.
Ketika orang Yahudi menempati rumah baru, mereka menaburinya dengan garam untuk menyucikan dan membersihkannya. Ini sama dengan orang Jepang. Di restoran khas Jepang, garam biasanya diletakkan di dekat pintu masuk. Orang Jepang juga meletakkan garam di pintu masuk pemakaman. Setelah kembali dari pemakaman, seseorang harus menaburkan garam kepada seseorang yang lain sebelum ia (orang yang ditaburi garam) memasuki rumahnya, karena dalam agama Shinto terdapat anggapan bahwa semua orang yang pergi ke pemakaman atau menyentuh mayat menjadi tidak bersih. Demikian pula dengan bangsa Yahudi.
Sumo atau pegulat tradisional Jepang biasa menaburi ringnya dengan garam sebelum mereka bertarung. Sumo dalam kepercayaan Jeang merupakan satu persembahan. Ini serupa dengan kebiasaan yang dilakukan bangsa Yahudi sebagaimana Bibel mengatakan, “Saat kau melakukan persembahan, kau harus mempersembahkan garam” (Leviticus 2:13). Tradisi kuo Jepang biasa memasukkan garam ke air saat mandi pertama bayi. Demikian pula dengan orang Yahudi yang lazim membasuh bayi yang baru lahir dengan air setelah menggosok sang bayi dengan garam secara lembut (Ezekiel 16:4). Penyucian dan pembersihan dengan menggunakan garam merupakan kebiasaan umum yang terdapat dalam tradisi Jepang dan Yahudi.
Jubah pendeta Jepang Sama Dengan Jubah Pendeta Yahudi
Bibel mengatakan bahwa ketika David membawa tabut ke Yerusalem; “David berpakaian jubah yang terbuat dari linen halus” (Kejadian 1 15:27). Begitu pula dengan para pendeta dan paduan suara. Dalam Bibel berbahasa Jepang, ayat ini diterjemahkan menjadi “jubah dari linen putih”.
Pada masyarakat Israel kuno, meski pendeta tinggi mengenakan jubah berwarna, para pendetanya atau Rabi umumnya mengenakan linen putih. Para pendeta mengenakan pakaian berwarna putih pada acara-acara suci. Begitu pula dengan para pendeta Jepang, mengenakan jubah putih di setiap acara suci.
Di Ise-jingu, salah satu kuil tertua di Jepang, semua pendeta mengenakan jubah putih. Dan di banyak kuil Shinto lainnya di Jepang, orang-orang mengenakan jubah putih saat mengangkut “Omikoshi”, persis seperti yang dilakukan Yahudi. Para pendeta Budha mengenakan jubah berwarna yang mewah. Tapi dalam agama Shinto Jepang, putih dianggap sebagai warna paling suci.
Salah satu contoh dilakukan Kaisar Jepang. Setelah ia menyelesaikan upacara kenaikan tahta, dia harus datang sendirian ke hadapan dewa Shinto. Saat pergi ke sana, ia mengenakan jubah berwarna putih polos di seluruh tubuhnya. Sementara kakinya tidak mengenakan apa-apa. Hal ini sama dengan ketika Musa dan Joshua melepas alas kaki mereka di hadapan Tuhan (Eksodus 3:5, Joshua 5:15).
Marvin Tokayer, seorang rabi yang tinggal di Jepang selama 10 tahun, menulis dalam bukunya: “Jubah linen yang dikenakan oleh pendeta Shinto Jepang memiliki bentuk yang sama dengan jubah linen putih pada para pendeta Israel kuno.”
Selain itu, jubah para pendeta Shinto Jepang memiliki tali sepanjang 20-30 cm (sekitar 10 inchi) yang menggantung dari sudut jubah. Keberadaan bagian yang menjuntai ini (fringe/jumbai) merupakan kebiasaan orang-orang Israel. Deuteronomy 22:12 mengatakan: “Buatlah menggantung di sudut pakaian mereka sepanjang generasi.”
Jumbai ini merupakan sebuah tanda bahwa seseorang adalah kaum Yahudi. Dalam ajaran Perjanjian Baru, juga tertulis bahwa para Farisi (anggota sekte Yahudi kuno) “memanjangkan jumbai pada pakaian mereka” (Matius 23:5). Seorang wanita yang sedang mengalami pendarahan datang pada Yesus (Yeshua) dan menyentuh “jumbai pada mantel-Nya” (Matius 9:20). Pakaian Yahudi kuno kadang kala tidak memiliki jumbai. Namun jubah mereka benar-benar memiliki jumbai. Menurut tradisi, Tallit Yahudi (syal untuk beribadah), yang dipakai oleh Yahudi ketika berdoa, memiliki jumbai pada sudut-sudutnya.
Pendeta Shinto Jepang memasangkan kain berbentuk persegi pada jubah mereka, dari bahu hingga paha. Ini sama dengan ephod yang dipakai oleh David: “David juga mengenakan ephod dari linen.” (Kejadian 1 15:27)
Meskipun ephod yang dikenakan pendeta tinggi dipenuhi warna dengan adanya permata, pendeta biasa, yang tingkatnya berada di bawahnya, mengenakan ephod dari kain linen putih yang sederhana (Samuel 1 22:18). Rabbi Tokayer mengatakan bahwa kain persegi yang menempel pada jubah pendeta Shinto Jepang terlihat sangat mirip dengan ephod Kohen, pendeta Yahudi.
Pendeta Shinto Jepang meletakkan topi di kepalanya, persis seperti yang dilakukan pendeta Yahudi (Eksodus 29:40). Pendeta Jepang juga memasang ikat/selempang di pinggangnya. Begitu pula halnya dengan pendeta Israel. Pakaian para pendeta Shinto Jepang pasti merupakan pakaian yang digunakan oleh Israel kuno.
Melambaikan hasil panen juga merupakan kebiasaan di Jepang
Orang-orang Yahudi melambaikan hasil panen mereka, berupa tumpukan padi, 7 minggu sebelum Shavuot (Pentecost, Leviticus 23:10-11). Mereka juga melakukannya pada saat Feast of Booths (Sukkot, Leviticus 23:40). Ini telah menjadi tradisi sejak masa Musa. Pendeta Israel kuno juga melambaikan sebuah ranting tanaman ketika melakukan penyucian terhadap seseorang. David mengatakan, “Bersihkan diriku dengan hyssop (herbal aromatik berupa semak kecil, dulu sering dipakai untuk pengobatan-pen), dan aku akan menjadi bersih” [Mazmur 51:7(9)]. Ini juga merupakan adat-istiadat tradisional Jepang.
Ketika pendeta Jepang melakukan penyucian terhadap seseorang atau sesuatu, ia melambaikan sebuah ranting tanaman. Atau melambaikan “harainusa”, yang sangat serupa dengan ranting tanaman. “Harainusa” di masa sekarang lebih sederhana dan terbuat dari kertas putih yang dilipat membentuk zig-zag seperti petir kecil, namun di zaman dahulu “harainusa” adalah sebuah ranting tanaman atau rumput.
No comments:
Post a Comment