Kampung Budaya Sindangbarang : Pusat Kerajaan Padjadjaran

Tak jauh dari Jakarta, cuma 7 kilometer keluar dari pintu Tol Jagorawi, di Bogor-Baranangsiang ada nuansa lain, rasa hampang, seolah mencerabut kebisingan yang baru saja dirasakan.
Pemandangan kontras dengan kondisi pemukiman warga di sekitarnya begitu memasuki area di Kampung Budaya Sindangbarang. Di atas lahan seluas 8.600 meter yang dipagari pohon hias dan bambu, mata langsung disuguhi alun-alun (lapangan) berumput hijau serta deretan bangunan tradisional Sunda.

Ada 20 bangunan adat. Bagian depan kanan lapangan, berdiri enam bangunan tempat menyimpan hasil panen yang di sebut Leuit. Samping kiri menghadap alun-alun terdapat bangunan tempat tinggal Pupuhu, Imah Gede namanya. Di sisinya ada Girang Serat, tempat orang yang tugasnya membantu Pupuhu. “Fungsinya sekarang untuk sekretariat pengelola,”kata Pupuhu atau Kepala Adat Sindangbarang, Achmad Mukami Sumawijaya.
Di sebelah Girang Serat, ada bangunan bernama Saung Talu,berfungsi untuk pementasan seni dan menyimpan alat-alatnya. Di bagian dalam kanan, sejajar Leuit, berderet rapih bangunan rumah untuk para kokolot.
Suasana Kampung Budaya Sunda yang berada di dataran tinggi di kaki Gunung Salak ini, kental nuansa Kerajaan Pajajaran. Pemandangan ke bawah, tampak hijau hamparan sawah. Dipandang dari sisi jalan masuk Sindangbarang, atap bangunan bergaya arsitektur tradisional Sunda ini seolah bersembunyi di balik rimbun pohon dan Perkampungan Sepatu warga Pasir Eurih. “Disini kami bukan untuk membangun sebuah kerajaan baru, tapi supaya masyarakat Bogor tahu bahwa dulu daerahnya ini adalah pusat Kerajaan Pajajaran,”kata Pupuhu Achmad, 41.
Achmad, cucu Etong Sumawijaya, Pupuhu Sindangbarang era 1970-an menggagas revitalisasi kampung adat itu pada 2006. Kampung tersebut, cerita sejarahnya luluh-lantak terkena lahar letusan pada 1699. Keinginan menghidupkan kembali kampung tertua di Bogor ini terinspirasi oleh pentas seni Sunda saat Achmad bekerja di Manado. “Waktu itu saya menonton gamelan Sunda. Juru kawihnya orang bule dan sangat sundanis. Saya sedih. Orang luar begitu mencintai budaya Sunda,” ucap Achmad.
Ide membangun ulang Kampung Budaya Sindangbarang didiskusikan dengan para budayawan Sunda, seperti almarhum Anis Djati Sunda, Eman Sulaeman, Inoci, Hendra, Ukat serta kokolot Sindangbarang. Gagasan ini mendapat dukungan dana dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Bogor. “Penggarapan awal membuat gambar bangunan berdasarkan Pantun Bogor,” ujarnya.
Pembangunan kembali Kampung Sindangbarang dimulai pada 2007 di atas lahan milik keluarga Sumawijaya di Kampung Sindangbarang, Desa Pasir Eurih. Daerah ini dipilih karena merupakan lokasi situs sejarah Pakuan Sindangbarang. Tercatat ada 78 situs, antara lain, berupa punden Leuweung Karamat, batu tapak, menhir, mata air Jalatunda, Taman Sri Bagenda, punden Majusi, bukit kecil berundak, dolmen dan punden Surawisesa, “Sindangbarang merupakan perkampungan luar Kerajaan Pajajaran yang paling dekat,” katanya.
Pembangunan Kampung Budaya Sindangbarang ini juga melibatkan penduduk setempat, dan mendapat bantuan tenaga teknis dari Kasepuhan Cipta Gelar Sukabumi. Bahkan, sebagian material bangunan, seperti atap injuk dari pohon Aren berasal dari Pegunungan Halimun. “Sebagian kayu diambil dari Banten Selatan. Usia bangunan sampai lima tahun,” jelas dia sambil menunjukan atap injuk bangunan Leuit yang mulai rusak.
Konsep bangunan tradisional Sunda Bogor memiliki perbedaan dengan rumah adat Sunda di Jawa Barat lainnya. “Ciri khasnya ada pada suhunan yang disebut Gado Bangkong. Filosofinya adalah agar penduduk ‘siap siaga’ ketika ada ancaman,”ujar Achmad.
Dalam rumah Sunda ada ruang depan, ruang tengah, dan ruang dalam. Ruang depan di sebut tepas untuk menerima tamu. “Karena orang Sunda menerima tamu di luar,” katanya yang menerima Tempo di tepas Imah Gede ini.
Kendati berada dalam lingkup Kampung Adat Sindangbarang, mayoritas penduduk di daerah ini berprofesi sebagai perajin sepatu dan sandal. Namun begitu, masyarakat Sindangbarang memiliki keinginan kuat mempertahankan tradisi Upacara Adat Seren Taun, sukuran hasil bumi, tetap berlangsung. “Tradisi ini sempat mati suri sejak 36 tahun lalu,”ujar Achmad.
Upacara Adat Seren Taun mulai dilaksanakan tahun 1611 atau 32 tahun setelah Kerajaan Pajajaran hancur pada 1579. Tradisi ini digagas oleh Ki Murwa Alih (1579). “Kami menjaga upacara ini untuk mengangkat Kampung Sindangbarang, yang merupakan Benteng Pakuan. Kampung ini sebagai pusat seni dan budaya yang dikenal Degung Putri Layar,” ungkap Pupuhu.
Selain mendirikan bangunan tradisonal Sunda, ke depan Pupuhu Sindangbarang ingin menggiatkan penanaman pare gede , membuat batik motif bunga pakis sebagai khas Sindangbarang, serta menghidupkan seni Uyek (drama Sunda). “Harapannya warga Bogor dan Sindangbarang lebih mencintai budaya Sunda.

No comments: