Penelitian Jejak Gajah Mada di Wangiwangi Terganjal Dana
Sudah
setahun Forum Komunikasi (Forkom) Kabali, suatu lembaga adat di
Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara mencari pendonor guna melakukan
kerjasama penelitian mengenai jejak Gajah Mada, Maha Patih Kerajaan
Majapahit di Liya, Pulau Wanci, namun sampai sekarang belum ada satupun
respon.
Sebenarnya
menurut Ketua Forkom Kabali,Ir. La Ode Muhammad Ali Habiu, Amts.Msi,
Presiden RI telah menjawab surat dari Forkom Kabali tertanggal 20
Januari 2012 perihal petunjuk perolehan dana untuk penelitian jejak
Gajah Mada di bekas wilayah Kerajaan Buton.
‘’Surat
kepada Presiden sudah didisposisi, dan pada tanggal 18 Maret 2012
Menteri Sekretaris Negara telah meneruskan kepada Direktur LIPI mengenai
permohonan bantuan dana penelitian dari Forkom Kabali. Akan tetapi
sampai masuk tahun 2013 sekarang belum ada jawaban dari pihak LIPI,’’
katanya.
Sebagaimana
diketahui Gajah Mada yang dicatat sejarah sebagai tokoh pencetus Sumpah
Palapa pemersatu wilayah Niusantara dalam abad ke-14 tersebut, sampai
sekarang tidak diketahui pasti silsilah keluarganya. Termasuk belum
diketahui tempat kelahirannya, serta dimana dia wafat.
Banyak
daerah di Indonesia telah mengkalim sebagai tempat asal kelahiran Gajah
Mada dengan beragam argumentasinya. Di antaranya, ada yang menyebut
sebagai tokoh asal Jawa Timur, dari Sumatera Selatan, dari Kalimantan
Selatan (Kutai Kertanegara), dan dari Bali. Namun dari semua tempat itu
sampai sekarang, belum ada petunjuk pasti dan memiliki bukti kuat
mengenai asal-usul dari lahir hingga wafatnya tokoh hebat di masa
Kerajaan Majapahit tersebut.
Dalam
masyarakat etnik Buton, menurut Ali Habiu, sejak lama meyakini beberapa
tempat sebagai lokasi Gajah Mada. Di antaranya, di Kampung Majapahit
Desa Masiri Kecamatan Batauga, Desa Takimpo Kecamaatan Pasar Wajo,
Kabupaten Buton. Wilayah kepulauan di kaki Pulau Sulawesi yang
berhadapan dengan Laut Banda tersebut sebagai wilayah kresian yang
dipilih oleh Gajah Mada untuk menenangkan diri dan mengakhiri hidupnya.
Sedangkan
masyarakat Liya di Pulau Wanci yang kini masuk Kecamatan Wangi-wangi
Selatan Kabupaten Wakatobi, sejak turun temurun mengenal sebutan Gajah
Mada. Sejumlah tempat di Desa Liya Togo, Liya Bahari, Liya Mawi, Woru,
dan Kapota menyimpan banyak petunjuk dalam bentuk cerita rakyat,
artefak, dan bukti arkeologi yang kuat mengenai tokohg Gajah Mada.
‘’Tetapi
untuk pertanggungjawaban ilmiah diperlukan penelitian seksama yang
melibatkan pakar sejarah, antropologi serta arkeologi. Untuk itu dalam
hitungan tahun lalu oleh Devisi Pernaskahan dan Pengembangan Sejarah
Forkom Kabali, diperlukan dana sekitar Rp 1,6 miliar,’’ kata Ali Habiu.
Program
penelitian yang digagas sejak tahun lalu tersebut, sangat relevan
dengan kebijakan Dirjen Destinasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi dan
Kreatif kerjasama Pemkab Wakatobi, 14 Juni 2012 menetapkan Desa Liya
Togo dan Desa Kapota (Pulau Wangiwangi), Desa Ambeua (Pulau Kaledupa),
dan Desa Waha (Pulau Tomia) sebagai Desa Wisata di Kabupaten Wakatobi.
Menurut
Ali Habiu, hipotesis tentang keberadaan Gajah Mada di kepulauan
Wangi-wangi khususnya di Kerajaan Liya pada masa lalu tidak lagi perlu
diragukan atau disangsikan sebagaimana pretensi keraguan yang
dimunculkan oleh para sejarawan Indonesia saat ini.
Jika
pengertian dalam bahasa Jawa kuno ‘Baggawai’ berkaitan dengan upaya
seseorang untuk melindungi diri atau meminta perlindungan atas
keselamatannya, dan ‘Kuni’ sebagai daerah keresian atau daerah yang
penuh keheningan dari hirup pikuk pemerintahan dan ‘Cra’ sebagai
penunjukan tempat bermukin maka sudah dapat dipastikan bahwa Liya inilah
merupakan daerah yang dicari oleh kebanyakan sejarahwan selama ini,
sebab dia muncul dari berbagai naskah pewayangan Jawa kuno.
Postulat
sebagai data sementara membuktikan hipotesis tersebut dapat di sintesis
dari beberapa data dukung sejarah yang pernah terjadi masa itu, antara
lain :
Berdasarkan
dari silsilah kerajaan Singosari, Mahisa Cepaka pernah memerintah di
Keraton Liya pada pertengahan Abad XII. Rangga Wuni adalah anak dari
Anusapati cucu Ken Dedes dengan Tunggul Ametung. Sedangkan Mahisa
Cempaka adalah putra Mahisa Wonga Teleng, cucu Ken Dedes dari ken Arok.
Kedua-duanya pernah menjadi Raja Singosari ke-3 yang bergelar
Wisnuwardhana. Untuk menghindari pertikaian dalam keluarga antara Rangga
Wuni karena adanya peristiwa keluarga yang tidak mengenakkan sebelumnya
maka Mahisa Cempaka mengasingkan dan menenangkan diri di daerah
keresian Liya membuat bandar sekaligus membangun kerajaan.
Berdasarkan naskah sejarah kuno Buton, disebutkan Si Panjonga sebagai salah satu dari Mia Patamiana Wolio
pernah berkuasa (baca: menjadi Raja) di Keraton Liya pada akhir abad
XII. Sipanjonga adalah seorang satria berasal dari kerajaan Pariaman
Melayu - Pasai. Dia meninggalkan daerahnya tahun 1213 M bersama pengawal
handal Si Jatubun. Dalam perjalanan menuju Liya, Wangiwangi,
menyinggahi beberapa kerabatnya di Kerajaan Kediri dan Kerajaan
Singosari.
Postulat,
Si Panjonga dan rombongannya sebelum masuk ke wilayah Buton daratan,
menyinggahi Pulau Wangiwangi membuat Benteng Liya lapis ke-2 awal abad
XII. Benteng Liya lapis I dibuat Si Malui, Si Jawangkati serta
dilanjutkan oleh Bau Besi (Raden Jutubun) sebelum mereka memasuki tanah
Buton sekitar awal abad XII. Benteng-benteng tersebut sengaja dibuat
untuk sebuah pertahanan dalam mengamankan para resi yang bermukim di
Liya terutama dari serangan tentara Mongol pimpinan Khubilaikhan.
Sebagian tentara Mongol berhasil pernah ditawan di permukiman tua di
Mandati Tongah, berbatasan dengan Liya. Sisa-sisa keturunan bangsa ini
masih bisa diketemukan di Wangi-wangi, mereka bermukim di Wungka Tonga
dan Padakuru.
Mahaji
Noesa melalui kompasiana.com, jelas Ali Habiu, telah memberikan
penjelasan bahwa dalam buku Nagarakertagama karangan Empuh Prapanca
disebutkan bahwa: wilayah-wilayah Kerajaan Majapahit meliputi: Muwah Tanah I Bantayan Len Luwut tentang Udamakatrayadhi Nikanangsunusaspupul Ikang Sakasa Nusanusa:
Makassar, Butun, Banggawai Kuni Cra-liya-o Wangi (ng), Salayar sumba
solo muar……” (Mattulada mengutip buku ‘Gajah Mada’ karangan Muhammad
Yamin, Terbitan Balai Pustaka, Jakarta Tahun 1945).
Slamet
Muliana (1979) dalam bukunya ‘Negara Kartagama dan Tafsir Sejarahnya’
pada halaman 167 disebutkan bahwa desa keresian seperti berikut: Sampud,
Rupit, Pilan, Pucangan, Jagadita dan Pawitri dan Butun (baca : Buton).
Di situ terbentang taman, didirikan Lingga dan saluran air yang mulia
mahaguru. Butun masa lalu meliputi kepulauan Wangi-wangi sebagai daerah
keresian menjadi tempat pilihan terakhir untuk menenangkan hidupnya dan
kariernya akibat konflik intenal dengan Hayam Wuruk.
Prof.DR.Hasan
Muarif Ambary (1999) dalam bukunya “Menemukan Peradaban: Jejak
Arkiologis dan Historis Islam di Indonesia’ mengatakan, Gajah Mada
mengakhiri pengasingannya di Buton dijumpai di kampung Majapahit di desa
Masiri Batauga. Kemudian Makam Gajah Mada juga terdapat di Takimpo
Pasar Wajo. Hal ini ditandai adanya makam berisi 40 orang hulubalang
pendamping setia Gajah Mada. Nisan yang ada tipe kala-makara merupakan
gejala umum dalam kelompok nisan tipe demak troloyo. Selain makam
tersebut ada menhir di puncak gunung Wagumbangga serta sebuah makam yang
dikelilingi pohon cempaka berbunga biru.
Keberadaan
makam-makam tersebut, urai Ali Habiu, postulat diperkirakan sebagai
taktis para prajurit setia Gajah Mada yang sengaja diciptakan untuk
mengecoh serangan para perajurit teliksandi Raja Majapahit Hayam Wuruk
setelah mereka mengasingkan diri dari Sumatera sehingga keberadaan Gajah
Mada sesungguhnya yang sedang menenangkan diri di Liya, Wangiwangi
tidak bisa dilacak keberadaannya.
Dalam
Pupuh ke XIV Negarakertagama oleh Mpuh Prapanca (1365) disebutkan bahwa
LIYA Wangi-Wangi adalah daerah Kuni termasuk wilayah Kerajaan
Majapahit, ‘’….Ingkang sakasanusa Makasar Butung (Buton) Banggawai,
Kuni Gga-LIYA-o mwang i(ng) Salaya (Selayar island) Sumba Solot Muar
muwah tikang i Wandan (Bandaneira) Ambwan (Ambon) athawa Maloko (Maluku)
Ewaning (Wanin/West Papua) ri Sran (Seram) in Timur (Timor) makadi ning
angeka nusatutur
Di
dalam Benteng Keraton Liya terdapat Lingga dan Yoni yang saat ini masih
diabadikan sebagai benda situs cagar budaya.Terdapat Watu Mada (Batu
Mada) yang diyakini oleh masyarakat setempat sebagai tanda keberadaan
Maha Patih Gajah Mada di Liya, Wangiwangi. Di lokasi lain, terdapat
makam tua Wakunduru yang dikeramatkan rakyat secara temurun diyakini
sebagai makam kepala Gajah Mada setelah kalah bertarung dengan seorang
pria penduduk asli yang sakti.
Di
pulau Oroho, Liya Togo terdapat gua Miabasa (gua orang besar) yang
pintunya tertata baik, di dalamnya terdapat sekat-sekat kamar tamu dan
kamar khusus serta di bagian dalam terdapat ruangan
peristirahatan/hunian yang diyakini oleh masyarakat Liya sebagai altar
pertapaan Gajah Mada hingga moksa (raib).
‘’Petunjuk
awal sudah kuat untuk menelusuri jejak Gajah Mada di Liya, Wakatobi,
tapi seperti ada konspirasi agar asal-usul Maha Patih Kerajaan Majapahit
itu untuk dipertahankan berasal dari Pulau Jawa, sehingga upaya
penelitian terhadap jejaknya di luar Jawa tidak mendapat dukungan dari
pihak-pihak di Pusat,’’ kata Ali Habiu, dimana lembaga yang dipimpinnya
pada 8 Januari 2013 telah membentuk Lembaga Pengelola Pariwisata Budaya
Kabali Indonesia, organ nirlaba guna mengelola semua potensi pariwisata
budaya di Desa Wisata Liya Togo, kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
Tanpa
ada keseriusan seiring kian panjang perjalanan waktu, saat nantinya
cerita-cerita rakyat masa lalu sudah terkontaminasi berbagai
perkembangan, bukti-bukti fisik telah berubah atau pupus, maka
asal-usul Gajah Mada yang masih kabur jika tak terungkap saat ini bisa
jadi akan menjadi lembaran misteri yang abadi dalam sejarah Indonesia.
Mahaji N




No comments:
Post a Comment