The Black Road”, Cerita Perang Versi Nessen



William Arthur Nessen


PERANG tengah membuncah. Salak senapan silih berganti dari dua arah. “Itu Indonesia,” salah satu tentara ‘tanpa seragam’ berujar. Suaranya berburu dengan letusan senjata. “Bek beudoeh, bek beudoeh (jangan bangun, jangan bangun),” dia memberi perintah sambil merangsek terus maju.

Sesaat kemudian suasana kembali hening. Beberapa pasukan, menenteng senjata bersandar di batang pohon, sambil melepas lelah. Seorang pria bule tampak mencolok di tengah-tengah mereka.

Pria itu, William Arthur Nessen. Bagi para aktivis, juga aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang bertugas di Aceh saat konflik, namanya tak lagi asing. Ia berkali-kali lolos dan berhasil masuk ke markas GAM, tanpa sepengetahuan TNI. Saat diberlakukan Darurat Militrer di Aceh 2003 silam, Nessen berada di Nisam, salah satu basis kuat Gerakan Aceh Merdeka. Saat itu, TNI telah mengepung area perang tersebut.

***

Saya tidak berada di arena perang. Malam itu, saya sedang di Villa Bukit Emas, Berastagi, Sumatera Utara. Hanya ada sebuah slide documenter upaya GAM merebut kemerdekaan, yang disorot ke dinding di hadapan duapuluhan wartawan mahasiswa. Tak ada riuh suara. Keheningan mengisi malam dingin itu. Seorang perempuan tersentak ketika melihat aparat berbaju loreng TNI menendang seorang sipil ke sebuah got. Ini adalah cerita perang versi Nessen.

“Saya selalu nangis setiap kali nonton film ini. Ini kedua kalinya saya nonton film itu,” ujar Riska, mahasiswa Universitas Sumatera Utara dengan nada sedih. Bulir bening mengembang di balik kacamatanya.

The Black Road, judul film itu. Di Jawa, beredar anekdot, di mana pun tempat yang telah dilewati aspal hitam, maka, jalanan itu telah menjadi wilayah Indonesia. “Basis antipemerintah ada di tempat yang tidak beraspal,” sebut Fahri Salam, seorang jurnalis freelance.

“Aparat hanya berani melawati jalanan beraspal. Itu yang dikatakan kawan saya, Otto,” tambahnya seusai menyaksikan dokumenter tersebut.

The Black Road merupakan dokumenter yang dibuat William Nessen pada 2005. Ini adalah dokumenter yang menceritakan soal pertempuran antara gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka dengan pasukan pemerintah Indonesia: TNI dan Polri.

Pemerintah Indonesia melarang peredaran film ini. Pada pekan Jiffest, The Black Road  batal diputar, karena dianggap provokatif.

Para jurnalis di Banda Aceh juga sempat berurusan dengan polisi, setelah memutar film ini di halaman kantor Sekretariat Bersama di Jalan Sultan Alaidin Syah dua tahun lalu. Pemutaran dan diskusi film Nessen ini mampu menyedot perhatian –tak hanya jurnalis—tapi juga masyarakat yang lalu lalang di depan kantor Sekretariat Bersama itu.

Pandangan para jurnalis mahasiswa tentang konflik Aceh beragam. Malah, Fahri beranggapan, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah sebuah mitos.

“NKRI ini adalah proyek negara, mitos itu. Yang mendapatkan keuntungan besar dari adanya NKRI ya kaum elite,” sebutnya. Ia memberi gambaran, para pelaku kejahatan tidak ada yang pernah dihukum sejak zaman Suharto. 

“Negara apa ini? Indonesia baru akan berhasil, kalau berani menindak para pelaku pelanggaran HAM,” kata Fahri Salam.

Mukhlas, seorang anggota pers mahasiswa dari Universitas Islam Negeri (UIN) Malang malah tidak percaya sama yang namanya negara. 

“Sejak dulu aku nggak percaya negara. Aku nggak dapat apa-apa dari negara itu sendiri. Bapakku setiap tahunnya bayar pajak, tapi kami dapat apa dari negara? Aku ini orang independen.”

Syahnaz, mahasiswa USU berpendapat, dokumenter sejarah tersebut tidaklah berimbang, dan justru memihak.

“Saya sudah banyak dengar cerita tentang konflik Aceh. Mulai dari sudut pandang sipil, baik orang Aceh, maupun oleh orang yang bukan dari Aceh. Konflik di Aceh ini sudah menjadi ajang saling bunuh-bunuhan, saling ngebalas, dan keterusan. Kalau misalnya film itu, memang sudah menunjukkan keberpihakan,” ujar Anas, menuding karya itu memihak GAM.

“Keberpihakan memang jelas. Karena prinsip jurnalistik memang harus memihak. Tapi, kita lihat, sejauh mana William Nessen bergerak. Dia juga melakukan banyak verifikasi, walaupun mengikuti GAM. Pada dasarnya, dia menjelaskan peperangan di Aceh, ya seperti itu. Dia sudah melihat dengan jelas peperangan di Aceh. Bahkan dia percaya, selama keadilan di Aceh tidak ditegakkan, kita tidak akan mencapai kedamaian,” Jelas Fahri Salam, mengutip kata Nessen dalam narasinya di film itu.

Tapi, masalahnya bukanlah letak kesalahan TNI maupun GAM. Yang menjadi korban dari perang durjana itu adalah warga sipil, yang tak tahu apa kesalahan mereka. “Saya mau keadilan,” seorang ibu berucap sambil terisak di hadapan jasad anaknya yang tewas tertembak.

***

Masyarakat Aceh, telah hidup puluhan tahun ditengah konflik. Anthony Reid, seorang ahli sejarah dari Australian National University dalam bukunya, Asal Mula Konflik Aceh, menuliskan, Aceh sudah bergejolak sebelum bergabung bersama Indonesia. Tahun 1870-an, orang Aceh pernah menjadi korban agresi Belanda dan realpolitik Inggris. Selanjutnya Aceh juga menjadi korban tak berdosa dari negara yang merangkulnya menjadi sebuah wilayah kesatuan republik.

Kendati mengalami gejolak percobaan panjang dan berliku, konflik di Aceh, tidak pernah menjadi pemberitaan utama dunia. Hingga pada akhirnya, Muhammad Hasan Ditiro, bersama pejuang Aceh lainnya, yang merupakan ‘alumni’ Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII), mendirikan GAM, untuk menyuarakan kemerdekaan di Puncak Halimun, Pidie, 24 Mei 1977. Tiro, ditunjuk sebagai wali Negara.

Sejak saat itu, konflik terus bergejolak, hingga berakhir saat tsunami meluluhlantakkan Aceh. 15 Agustus, diteken MoU, di Helsinki, Finlandia. Tapi apakah tsunami membawa kedamaian bagi Aceh? “Ah, tsunami membawa kedamaian itu adalah mitos,” ujar Fahri Salam, menyangsikan. []

***

Dikutip dari 'Perang Nessen di Bukit mas',

No comments: