Mengembalikan (Kenangan) Kejayaan Maritim Nusantara
Melalui karya-karyanya seperti Meluruskan Sejarah Majapahit dan Majapahit Peradaban Maritim, Irawan
Djoko Nugroho menawarkan perspektif baru dalam peta sejarah nusantara.
Sejarah negeri ini tak melulu tentang kekalahan, tetapi juga kejayaan.
Sejarah kejayaan nusantara diwakili oleh Kerajaan Majapahit yang berdiri
pada 1293 M.
Irawan menuturkan,
dalam meneliti Majapahit atau yang berkaitan dengan Majapahit, para
sejarawan menerapkan metodologi yang berbeda-beda. Pertama,
dalam melihat Majapahit, sejarawan meninggalkan atau tidak menggunakan
data prasasti dan naskah sastra, melainkan menggunakan data lain yang
telah dipilih. Misalnya, kajian yang dilakukan oleh Anthony Reid. Dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 jilid 2: Jaringan Perdagangan Global, Reid
menggunakan data berupa catatan-catatan Eropa dan tidak melihat pada
sumber teks aslinya di Asia. Sejarah Majapahit bahkan menjadi subordinat
sejarah negara lain setelah menggunakan data yang dipilih.
Kedua,
sejarawan Australia dalam meneliti Majapahit, untuk sementara menafikan
prasasti dan naskah sastra, tetapi memakai data lain yang bersifat umum.
Seperti kajian Martin O’Hare. Dalam menyusun pengaruh Majapahit atas
Wwanin, O’Hare menafikan data Jawa dan yang dipakai sepenuhnya adalah
data Cina dan Eropa untuk melihat hubungan keduanya. Namun hasil
kajiannya ini tetap mendukung data dari Jawa, bahwa Majapahit memiliki
pengaruh hingga Wwanin sebagaimana catatan Prapanca dalam Nagarakrtagama
pupuh 14.
Ketiga, sejarawan
Indonesia menulis sejarah Majapahit dengan tetap fokus pada data
prasasti dan naskah sastra namun kurang memanfaatkan data asing.
Misalnya penelitian yang dilakukan Agus Aris Munandar dalam Gajah Mada: Biografi Politik. Agus
mencatat, “Gajah Mada sebagai abdi negara Majapahit mendapat getahnya
sampai sekarang, ia selalu dihujat bahwa sebagai patih amangkubhumi
Majapahit yang digjaya, di akhir kariernya justru kejeblos dalam
peristiwa Bubat yang tidak popular itu.”
Perbedaan metodologi
penelitian yang digunakan para sejarawan, kata Irawan, juga disebabkan
oleh data-data yang tidak lengkap. Sehingga informasi sejarah maritim
nusantara menjadi tidak akurat.
Dalam Nagarakrtgama,
kaitannya dengan Majapahit, terdapat beberapa istilah seperti
nusantara, desantara, dan mitra. Kata Irawan, berdasarkan Kamus Jawa
Kuna Zoetmulder, Nusantara dalam hubungannya dengan Majapahit disebut
angaśraya atau meminta perlindungan. Desantara dalam hubungannya dengan
Majapahit disebut kachaya atau dilindungi. Khusus Yawana (Arab), disebut
mitra atau sekutu. Dengan demikian Ayudhyapura, Dharmanagari, Marutma,
Rajapura, Singanagari, Campa, Kamboja, yang disebut di dalam
Nagarakrtagama kaitannya dengan Majapahit, adalah negara-negara yang
dilindungi oleh Majapahit (desantara). Keterangan ini menunjukkan bahwa
Majapahit adalah kerajaan besar dengan pusat kekuatan pada penguasaannya
akan laut/maritim.
Benarkah Majapahit Kerajaan Maritim?
Dalam diskusi dwi bulanan Road to Borobudur Writers and Cultural Festival 2013
di Grand Floor Menara Batavia, Jumat (1/3), dosen arkeologi UI, Prof.
Agus Aris Munandar sempat mempertanyakan keabsahan Majapahit sebagai
negara maritim. Hal ini, menurutnya, disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama,
tidak ada penggambaran relief candi yang cukup memadai perihal perahu
besar/kapal layar zaman Majapahit. Hanya ada satu relief “kapal” yang
penggambarannya samar-samar, adapun relief perahu kecil menunjukan
sampan kecil yang dimuati oleh dua orang. Relief-relief tersebut
terdapat di kompleks Candi Panataran. Kedua, sumber-sumber
tertulis (prasasti dan karya sastra) yang digubah zaman Majapahit lebih
banyak menguraikan dunia daratan, hutan, pegunungan, lereng berhutan,
istana dan pertapaan. Jadi, tidak ada yag bertutur tentang dunia
pelayaran. Ketiga, belum banyak peninggalan arkeologis yang merupakan sisa perahu besar atau kapal layar zaman Majapahit.
Namun, teori yang
dikemukakan Prof. Agus dibantah oleh Irawan Djoko Nugroho. Paparnya,
dalam tradisi filologi, sumber tertua adalah yang tepercaya. Sumber
tertua bisa mengevaluasi keterangan-keterangan yang bersumber dari
sumber yang lebih muda. Menurut Irawan, apa yang dilakukan Prof. Agus
dengan merujuk pada sumber lebih muda seperti Pararaton dan Kidung Sunda
tidak tepat. Karena dalam tradisi filologi dipercaya bahwa
sumber-sumber lebih muda rawan dengan “pencemaran” data-data.
Paparan Irawan pun
dikuatkan oleh Viddy Daery. Budayawan yang aktif di Yayasan Kertagama
ini menjelaskan bahwa sepanjang penelitiannya, Majapahit tidak menjajah
negara bagian secara kejam. Buktinya, di beberapa negara yang tunduk itu
tidak ada adat istiadat yang “dijawakan”, kecuali ada beberapa pakem
budaya Jawa yang secara sukarela dipakai. Beberapa pakem Jawa yang
dipakai di negara-negara bagian Majapahit itu misalnya sebutan
Tumenggung/Tumenggong atau ikat kepala batik yang digunakan di
Kalimantan, Bruenei, Lampung, dan Palembang.
Sumber-sumber
tentang Majapahit, kata Viddy, terdapat bukan hanya di Jawa tetapi juga
di luar Jawa. Sumber-sumber itu terdapat di Brunei, Thailand, Malaysia,
dan masih di banyak wilayah lainnya. Sumber-sumber tersebut berupa
folklor, kitab-kitab babad, bahkan artefak-artefak Majapahit juga
tersebar.
“Tersebarnya
sumber-sumber berupa folklor, cerita babad, bahkan artefak Majapahit di
beberapa wilayah menandakan Majapahit memang benar negara maritim. Kalau
bukan negara maritim, bagaimana cara menyebarkan sumber-sumber serta
artefak itu ke negara-negara lain?”
Dalam teori yang
dikemukakan Irawan, Majapahit, bila ditarik ke masa modern, seperti
negara dengan sistem federal, ada wilayah yang dilindungi dan meminta
perlindungan, serta memiliki sekutu. Kejayaan Majapahit tidak dibangun
oleh orang Majapahit sendiri, tetapi oleh orang-orang di seluruh
nusantara/desantara, termasuk oleh orang-orang Muslim.
Jika ditarik pada
ke-Indonesia-an di masa kini, Majapahit dengan sistem federal tidak jauh
beda dengan Indonesia sebagai negara kepulauan. Indonesia bisa
mengambil inspirasi dari Majapahit. Indonesia bisa berjaya bukan hanya
oleh orang Jawa saja, Sumatra saja, atau Kalimantan saja. Tetapi bisa
maju oleh orang Jawa, orang Sumatra, Kalimantan, Bali, Papua, Sulawesi,
dan orang-orang di seluruh kepulauan yang terhubung oleh laut Indonesia.
Indonesia bisa menjadi besar dengan terus menjalin sinergi antar-pulau
melalui lautnya. Jangan sampai, keberadaan laut hanya dieksploitasi
sebagai sarana wisata, tanpa memikirkan laut sebagai jalan menggapai
kebesaran.
Fatih Zam, novelis
Khazanah, Pikiran Rakyat, Maret (17/3)
*) Liputan diskusi dwibulanan Road to Borobudur Writers and Cultural Festival 2013, (1/3)
No comments:
Post a Comment