Misteri Tanah Punt: Hubungan Antara Firaun dengan Suku di Bengkulu? (Bagian 1)

Peradaban Mesir Purba pernah dipimpin seorang Fir’aun Perempuan yang hidup antara tahun 1479 SM – 1458 SM bernama “Ratu Hatshepsut” (kadang-kadang dieja Hatchepsutyang berarti Perempuan Bangsawan Paling Terkemuka).
Ratu Hatshepsut adalah firaun kelima dari Dinasti ke-18 di Mesir kuno. Sedangkan gelar Fir’aun adalah gelar yang dalam diskusi dunia modern digunakan untuk seluruh penguasa Mesir kuno dari semua periode.
Dahulu, gelar ini mulai digunakan untuk penguasa yang merupakan pemimpin keagamaan dan politik kesatuan Mesir kuno, namun hanya dipakai selama Kerajaan Baru, secara spesifik, selama pertengahan dinasti kedelapanbelas.
Para Egiptologis umumnya menganggap Ratu Hatshepsut sebagai salah seorang firaun perempuan yang paling berhasil di Mesir, yang memerintah lebih lama daripada perempuan penguasa manapun dalam sebuah dinasti bumiputra.
Ratu Hatshepsut
Ratu Hatshepsut dipercayai pernah memerintah sebagai salah seorang penguasa dari sekitar 1479 hingga 1458 SM (Tahun 7 hingga 21 dari Thutmose III).
Ia dianggap sebagai ratu penguasa yang paling awal dikenal dalam sejarah dan perempuan kedua yang diketahui naik takhta sebagai “Raja Mesir Hulu dan Hilir” setelah Ratu Sobekneferu dari Dinasti ke-12.
Makamnya terus dicari para arkeologi, hingga pada 27 Juni 2007 lalu, akhirnya sebuah mumi dalam makam berkode “KV60” di Lembah Para Raja akhirnya diidentifikasikan sebagai Ratu Hatshepsut.

Ratu Hatshepsut adalah putri dari Firaun ketiga dinasti ke-18 Mesir, yaitu Thutmose-I (kadang-kadang dibaca sebagai Thothmes, Thutmosis atau Tuthmosis I) berawal pada tahun 1506 SM atau 1526 SM menurut kronologi Mesir muda atau tua.
Thutmose-I naik takhta setelah kematian raja sebelumnya, yaitu Raja Amenhotep-I.
Salah satu peninggalan Ratu Hatshepsut yang sangat terkenal adalah bangunan yang bernama Mortuary Temple of Hatshepsut atau Kuil Hatshepsut.
Yang menarik dari Kuil Hatshepsut adalah, terdapatnya gambar-gambar mural dan relief yang bercerita tentang Land of Punt atau dalam bahasa Indonesia adalah Tanah Punt atau Negeri Punt, atau kadang disebut Bangsa Punt, yakni satu daerah yang memiliki ciri kehidupan yang mirip masyarakat di wilayah Nusantara yang kini bernama Indonesia.
/media/2017/08/640px-SFEC_AEH_-ThebesNecropolis-2010-Hatshepsut-023.jpg
Mortuary Temple of Hatshepsut (Kuil Hatshepsut) (pict: wikimedia).
Ekspedisi ke Negeri Punt
Informasi mengenai ekspedisi perdagangan dinasti bumiputra Fir’aun dengan negeri bernama Negeri Punt atau Tanah Punt, telah ditemukan dalam catatan-catatan Mesir. Akan tetapi, letak pastinya masih belum diketahui.
Ekspedisi itu diperkirakan dilakukan pada sekitar tahun 1480 Sebelum Masehi. Walau dipimpin oleh seorang wanita yaitu Ratu Hatshepsut, namun ekspedisi ini merupakan kunci indikator kepemimpinan dan keterampilan dalam memotivasi dan mengatur masyarakat Mesir dikala itu.

Mural dari Kuil Hatshepsut memperlihatkan kapal bercadik yang melakukan ekspedisi menuju ke Negeri Punt.
Rupanya selama bertahun-tahun dinasti Firaun dibawah kepemimpinan Ratu Hatshepsut telah berurusan dengan peradaban menengah dibawah mereka.
Semua itu dilakukan untuk dapat memperoleh komoditas perdagangan mereka dari “wilayah timur” dan selatan melalui Laut Merah, dan rute perdagangan langsung yang jauh ke arah timur.
Utusan dari Fir’aun ini menggunakan kapal besar bercadik yang menurut peneliti semacam tongkang pada masa kini sebagai pengangkut barang, ke wilayah timur menuju The Land of Punt atau ke Negeri Punt.
Diperkirakan, para utusan dalam ekspedisi itu ingin bertemu dengan peradaban dari timur untuk melakukan transaksi perdagangan secara langsung, karena untuk menghindari para perantara, dan bisa jadi pastinya barang berharga.

Relief yang digambar ulang dari mural di Kuil Hatshepsut memperlihatkan perahu cadik dalam ekspedisi ke wilayah timur menuju ke Negeri Punt (Land of Punt) oleh dinasti Fir’aun dibawah pimpinan Ratu Hatshepsut.
Selain itu, kapal besar bercadik itu juga diyakini oleh para peneliti untuk mengangkut batu-batu besar ‘obelisk’ dari tambang batu yang mereka dapat dari arah timur.
Teknologi pengangkutan oleh kapal bercadik ini juga diyakini peneliti sebagai alat transportasi untuk mengangkut material-material untuk membangun piramida.
Kebutuhan untuk mengangkut batu-batu besar hingga 70 ton dari tambang yang letaknya sangat jauh menuju ke situs piramida sangat diperlukan orang Mesir ketika membangun piramida. (kl)

No comments: