Memberi Label Feminis pada Sayyidah Aisyah Ra
pertama-tama saya ingin menyampaikan bahwasanya menjadikan dua hadis tersebut sebagai dalil bahwa Aisyah adalah feminis, ini terlalu sempit
Setelah viralnya lagu Aisyah istri Nabi, saya menduga akan ada segelintir orang yang mengaitkan kisah Aisyah dengan Feminisme atau kesetaraan gender. Ternyata benar. Salah seorang kontributor di islami.co menulis bahwa Aisyah adalah seorang feminis yang membela hak-hak perempuan di masanya.
Asumsi ini ia simpulkan setelah menelisik kitab milik Imam Badruddin al-Zarkasyi yang berjudul Al-Ijabah fiimaa istadrakathu ‘Aisyah ‘ala al-Shahabah yang membahas tentang kritik Sayyidah Aisyah atas sejumlah pendapat para sahabat yang kurang tepat. Dan demi menguatkan asumsi bahwa ‘Aisyah seorang feminis’ penulis menyantumkan hadis-hadis yang berkaitan dengan upaya subordinasi terhadap perempuan pada masa itu. Dan disinilah awal mula argumentasi bahwa Sayyidah Aisyah seorang feminis digunakan.
Diantara banyaknya riwayat di buku itu, ada dua hadis yang dijadikan sandaran oleh penulis. Salah satunya adalah hadis yang berkaitan dengan hal-hal yang membatalkan atau dapat mengganggu kekhusyuan shalat:
“Dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah ﷺ bersabda: Shalat bisa terputus karena perempuan, keledai dan anjing”
Mendengar hal itu Aisyah murka dan mengingkarinya dengan tegas. Ia berkata: Kalian menyamakan kami dengan keledai dan anjing? Kemudian ia berkata lagi: “Sesungguhnya Rasulullah ﷺ shalat tahajud dan kakiku melintang di hadapannya atau menyentuh kasutnya maka beliau mengangkat dan memindahkan kakiku dan aku pun menarik kakiku.”
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim bahwa ketika disebutkan ada orang yang menuturkan hadis ‘shalat batal karena adanya keledai, anjing, dan wanita, Aisyah berkata:
“Atas dasar apa kalian menyamakan kami dengan keledai dan anjing? Demi Allah aku pernah melihat Rasulullah ﷺ shalat malam dan aku di atas pembaringanku. Aku terlentang antara posisi beliau dan kiblat. Saat tiba-tiba aku ingin buang hajat, aku tidak mau bangkit dan mengganggu shalatnya sehingga aku menyelinap keluar dekat kedua kaki Rasulullah ﷺ. ”
Adapun hadis kedua adalah tatkala Sayyidah Aisyah ditanya tentang nikah mut’ah dan ia melarangnya. Dalam riwayatnya ia berkata dengan tegas bahwa yang dibolehkan hanyalah pernikahan yang disahkan sesuai ketentuan agama, bukan pernikaan mut’ah.
Atas dua riwayat ini, penulis memberikan asumsi bahwa argument tersebut merupakan kritik tajam Aisyah yang berkaitan dengan perlawanan terhadap upaya subordinsi perempuan yang dilakukan di masanya. Aisyah bisa disebut sebagai aktifis feminis pada masanya, ujar penulis itu.
Perlukah Label Feminis pada Sayyidah Aisyah
Menanggapi hal ini, pertama-tama saya ingin menyampaikan bahwasanya menjadikan dua hadis tersebut sebagai dalil bahwa Aisyah adalah feminis, ini terlalu sempit. Kalau dilihat, di antara hadis-hadis yang dikoreksi oleh Sayyidah Aisyah atas para sahabat kebanyakan adalah persoalan hukum yang nantinya dibahas oleh praktisi fikih dalam literatur mereka. Atau dalam disiplin ilmu lain, hadis misalnya, ini nantinya masuk ke dalam pembahasan mukhtalaful hadis, dimana ada dua hadis yang diterima keabsahannya namun zahirnya saling bertentangan. Datanglah kemudian ulama untuk menggabungkan dua hadis tersebut agar tidak ada dari keduanya yang kita nafikan.
Karenanya, menggunakan buku al-Zarkasyi dengan mengutip sebagiannya sebagai dalil penguat bahwa Aisyah adalah aktifis feminime yang sangat kritis terhadap praktek patriarkis yang dianggap marak pada masanya, itu terlalu parsial. Sangat naïf sekali untuk buku milik ulama sekaliber al-Zarkasyi. Harusnya dari buku itu umat muslim belajar dan bisa meneladani bagaimana istri Nabi yang turut andil dalam ranah intelektual. Itu berarti tak pandang bulu, dalam Islam, laki ataupun perempuan semua berhak andil dan berperan dalam aspek ilmu perngetahuan. Sebab kebenaran tidak pernah berpihak pada jenis kelamin tertentu.
Dan Inilah mengapa dalam kitabnya yang berjudul Aisyah Umm al-Mu’minin, Syekh Ramadhan Al-Buthi menuliskan sebuah bab berjudul “Peran Ilmiah Aisyah” (Al-Makaanah al-‘Ilmiyyah li’Aisyah) yang isinya bisa dikatakan sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Al-Zarkasyi di kitabnya, yakni koreksi Aisyah terhadap beberapa riwayat sahabat. Namun bedanya dengan penulis tersebut, aspek ‘keikutsertaan’ dan ‘peran’ ilmiahnya lah yang ditonjolkan oleh Syekh Buthi, bukan malah soal Aisyah sebagai aktifis feminis.
Kedua. Memang benar adanya bahwa Aisyah senantiasa memperjuangkan hak-hak wanita sebagaimana hadis di atas. Syekh Ramadhan al-Buthi pun mengutip hadis tersebut, yakni terputusnya shalat karena wanita -serta pembelaan Aisyah- dalam sebuah bab yang bertajuk “Aisyah dan Perempuan” (‘Aisyah wa al-Mar’ah). Akan tetapi perjuangan ini adalah manifestasi dari ajaran suaminya, yakni Baginda Nabi ﷺ yang senantiasa memuliakan wanita serta keluarganya, bukan realisasi dari jiwa feminis. Ia bahkan pernah berkata:
“Sesungguhnya perempuan adalah saudara kandung laki-laki. Orang yang memuliakan perempuan adalah orang yang mulia dan orang yang merendahkannya adalah orang hina dan pantas dicela.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya)
Atau dalam riwayat lain Nabi ﷺ pernah berkata: “Aku dijadikan oleh Allah mencintai tiga hal dari duniamu, yaitu wewangian, wanita dan kenikmatan dalam shalat.”
Mudahnya seperti ini. Dalam cakupan yang lebih luas, Islam memuliakan wanita tanpa embel embel feminisme atau emansipasi. Dan nyatanya memang seperti itu. Lihatlah, Rasulullah ﷺ mengangkat derajat martabat perempuan dari kungkungan adat jahiliyyah tanpa teriakan emansipasi atau kesetaraan. Contoh lain, Syaikhah Rahmah El-Yunusiyyah mendirikan madrasah perempuan pertama di Indonesia tanpa embel feminisme dan emansipasi. Dan disana masih banyak lagi nasib perempuan yang dapat diperjuangkan tanpa kata emansipasi.
Artinya dalam ruang lingkup peranan perempuan –atau bahkan laki-laki sekalipun– kita bisa membahas itu tanpa label feminisme. Apalagi agama Islam yang syariat dan aturannya sudah menjelaskan itu semua.
Ketiga, dan ini yang terakhir, jika kalian bertanya: feminis itu kan ingin menjunjung tinggi keadilan dan menumpaskan kejahatan, khususnya pada wanita. Dan ini sejalan dengan konsep Islam. Lantas kenapa dikesampingkan?
Sekilas memang terlihat sama. Tapi di dalamnya jika kita lihat secara filosofis maka akan terlihat beda dan bertentangan. Ini karena feminisme lahir dari sebuah ide dan gagasan yang terbentuk karena sejarah panjang. Oleh karenanya sebagai sebuah kajian ia sarat akan ideologi. Maka membahasnya pun tidak bisa melihat secara kasat mata saja. Bukan hanya karena ia menjunjung tinggi keadilan lantas kita samakan dengan konsep adil yang ada dalam Islam.
Karenanya, jika melihat feminisme sebagai sebuah cabang ilmu maka hal pertama yang harus dilakukan adalah melihat ilmu itu secara utuh. Contoh dalam epistimologinya, yakni batasan-batasan pengetahuan yang tercangkup di dalamnya. Ini bisa kita lihat dari bagaimana mereka mendifinisikan apa itu adil, kekerasan, seksual, laki-laki dan perempuan. Kemudian aksiologi, yakni bagaimana mereka mengaktualkan terma-terma yang didefinisikan di atas itu sebagai poros yang mempunyai daya guna bagi kehidupan manusia.
Misalnya terma ‘kekerasan’ sebagaimana yang tercantum di RUU-PKS yang basisnya adalah persutujuan. Artinya jika seseorang melakukan perbuatan zalim dengan persetujuan pihak terkait maka itu bukan kekerasan. Hal ini karena penggunaan kata ‘kekerasan’ disini untuk menegakkan otonomi kesadaran diri yang diaktualisasi jadi sebuah persetujuan.
Dan yang terakhir adalah ontologi, yakni bagaimana ilmu ini melihat manusia sebagai hakikat, karena bicara hakikat manusia, maka dalam Islam ia pasti bicara konsep penciptaan. Dan cara pandang feminis dan Islam memandang hakikat manusia tentulah berbeda. Andai feminisme melihat manusia sebagai makhluk yang berhutang atau dalam pengawalan rab-Nya maka dasar epistimologi ilmu yang dibentuk pasti akan mengikuti. Tapi nyatanya kan tidak seperti itu sebab memang cara pandangnya sudah berbeda. Konsep-konsep milik mereka seperti apa itu adil, laki-laki, perempuan, penyimpangan, dllnya jelas berbeda. Hubungan seks atas dasar suka sama suka itu bukan sebuah penyimpangan bagi mereka. Namun dalam Islam itu penyimpangan.
Dengan segala pertentangan filsafat di atas kita bisa sedikit menarik kesimpulan bahwa feminisme tidak sama dengan gerakan keadilan yang ada dalam Islam. secara zahir mungkin sama, sama-sama menentang penindasan. Tapi di dalamnya jika dikaji secara filosofis itu sangat berbeda.
Dan akhirul kalam, saya ingin menyampaikan bahwa tidak perlu memberi label feminis pada sosok agung nan mulia, Sayyidah Aisyah Ummul Mukminin. Saya, selain tidak rido buku Imam Zarkasyi dicomot dan dijadikan sampel untuk menguatkan asumsi Aisyah adalah feminis, saya pun tak sudi jika istri Nabi yang agung ini diberi gelar feminis. Nabi dan Sayidah Aisyah meninggikan derajat perempuan tanpa teriakan kesetaraan, emansipasi, atau feminisme. Jauh dari itu Islam pun sudah punya konsep yang jelas ketimbang feminisme.
Pesan terakhir saya: feminisme tidak seperti keadilan dalam Islam sehingga bisa disama-samakan. Dan jika ingin melihat koreksi atas feminis dalam pandangan Islam kita perlu melihat secara filosofis dan mengkajinya. Wallahu a’lam bi Al-Shawab.*
Mahasiswa Tafsir Universitas Al-Azhar
No comments:
Post a Comment