Budak Nasrani Berhasil Membunuh Panglima Perang Persia


Budak Nasrani Berhasil Membunuh Panglima Perang Persia
Ilustrasi/Ist
KECINTAAN anggota pasukan Muslimin yang serentak kepada , dan berhasil membunuhnya kemudian merampas kudanya. Ia lalu pergi sambil berdendang: "Saya budak Taglabi. Saya yang membunuh pemimpin Persia." 

Sesudah Musanna dapat mengejar pasukan Persia di jembatan dan dapat mencegah mereka menyeberang, Arfajah bin Harsamah menggiring satu regu pasukan berkuda Persia sampai ke Furat. Setelah mereka merasa terjepit mereka mengadakan perlawanan dan menyerang Arfajah dan anak buahnya. Maka terjadilah lagi pertempuran sengit, tetapi berhasil mereka lumpuhkan. 

Salah seorang dari mereka berkata kepada Arfajah: "Bawalah benderamu mundur ke belakang!" Tetapi Arfajah menjawab: "Siapa yang paling berani dari kalian, majulah!" 

Lalu diserangnya mereka, dan mereka lari ke arah Furat. Tetapi tak seorang pun yang sampai ke sana dalam keadaan hidup. Dari pihak Muslimin yang luka-luka dan terbunuh juga tidak sedikit, termasuk dari Banu Namir, Banu Taglab dan dari kabilah-kabilah Arab yang lain di Irak. Sungguhpun begitu, kemenangan telah memahkotai mereka, dan nama-nama mereka tercatat kekal dalam sejarah. Dalam pandangan Tuhan mereka tetap hidup. 
Mati Sahid
Setelah pertempuran pun usai, Musanna merangkul Mas'ud, saudaranya, dan Anas bin Hilal orang Nasrani itu dengan perasaan amat sedih, tanpa membedakan agama kedua orang itu. Pasukan Muslimin yang gugur disalatkan oleh Musanna, kemudian katanya: "Sungguh kesedihan saya terasa sudah lebih ringan karena mereka telah menyaksikan Pertempuran Buwaib. Mereka pemberani, sabar dan tabah, tak kenal putus asa dan tak pernah mundur. Mati syahid adalah suatu penebusan dosa." 

Petang itu selesai pertempuran pasukan Muslimin duduk-duduk dengan perasaan gembira. Musanna berkata: "Saya sudah berperang melawan orang-orang Arab dan bukan Arab di masa jahiliah dan Islam. Seratus orang Arab di masa jahiliah dulu bagi saya lebih berat daripada seribu orang Arab sekarang, dan seratus orang Arab sekarang bagi saya lebih berat daripada seribu orang bukan Arab.” 

“Allah telah melumpuhkan kekuatan mereka, membuat tipu daya mereka menjadi tak berdaya. Janganlah kalian gentar melihat segala gemerlapan mereka itu. Tak ada kesulitan yang tak dapat diatasi. Mereka seperti binatang, jika sudah terdesak atau kehilangan arah, ke mana pun kamu bawa mereka akan ikut." 

Di antara mereka ada yang bercerita bagaimana Musanna merebut jembatan itu dari pasukan Persia, yang mengakibatkan hancurnya mereka. Tetapi Musanna tidak membiarkan orang itu meneruskan ceritanya dengan membantah bahwa itu adalah hasil kerjanya dan ia menyatakan penyesalannya dengan mengatakan: "Saya benar-benar tidak berhasil, tetapi Allah masih melindungi saya dari bencana dengan mendahului mereka ke jembatan sehingga saya dapat mempersulit gerak mereka. Saya tidak akan kembali dan kalian jangan kembali dan jangan meneladani saya. Saudara-saudara, itu adalah langkah saya yang salah. Tidak seharusnya orang mengganggu siapa pun kecuali orang yang sudah tidak dapat menahan diri." 

Kata-kata yang keluar dari mulut seorang panglima yang menang perang besar ini telah menghapus arang yang tercoreng di kening pasukan Muslimin karena peristiwa di jembatan itu, membuktikan tentang keberanian Musanna dan keterusterangannya memvonis dirinya sendiri — sama dengan keberaniannya memimpin pertempuran dahsyat dan menerjunkan diri ke dalamnya. Kalau dia seorang yang senang membangga-banggakan diri dan dimabuk pujian, tentu ia tak akan mengeluarkan kata-kata itu. 

Dia melihat pasukan Persia yang berbalik dari jembatan itu membunuhi pasukan Muslimin dan mati-matian ingin membalas dendam. la merasa sedih sekali atas kematian beberapa orang prajuritnya, dan menyesali perbuatannya, dan barangkali sejauh apa yang berlaku karena tindakan musuhnya yang mati-matian sehingga kemenangan berbalik ke pihaknya. Di samping itu, ia berani menyatakan kesalahannya, supaya yang lain tidak mengalami seperti dia. 

Dalam Perang Buwaib itu pasukan Muslimin mendapat rampasan perang yang tidak sedikit, terdiri dari sapi, kambing dan tepung terigu, yang kemudian dikirimkan di tangan orang-orang yang datang dari Madinah kepada keluarga-keluarga yang ditinggalkan di perbatasan Semenanjung Arab, dan kepada keluarga-keluarga yang tinggal di Hirah yang sudah lebih dulu ke Irak sebelum terjadi Perang Buwaib dan pertempuran di jembatan. 

Perempuan-perempuan yang tinggal di perbatasan Semenanjung itu melihat kedatangan kafilah berkuda yang membawa perbekalan mereka kira ada serangan musuh. Di depan anak-anak mereka segera bersiap-siap dengan batu dan tiang-tiang. Tetapi Amr bin Abdul-Masih yang bersama kafilah itu berkata: "Istri-istri pasukan ini seharusnya demikian." 

Kaum lelaki itu meminta jaminan keamanan dari perempuan-perempuan itu dan membawakan kabar gembira kepada mereka tentang kemenangan dan menyerahkan segala yang dibawa kepada mereka, dengan mengatakan: "Inilah rampasan perang pertama."
(mhy)Miftah H. Yusufpati

No comments: