Umat Islam, PKI, Militer: Babak Akhir Jelang September 1965
Upaya umat Islam bendung pengaruh PKI
Di akar rumput, NU berupaya melindungi umat Islam dari aksi ofensif pendukung PKI. Salah satunya lewat Gerakan Pemuda Anshor yang membentuk Barisan Ansor Serbaguna (Banser).
Sebagai organisasi kepemudaan di bawah Nadhlatul Ulama, GP Ansor turut berperan melindungi kepentingan umat Islam pada masa-masa mencekam tersebut. GP Ansor menyebarkan “Doktrin Lima Pertinggi.” Pertama, Pertinggi disiplin organisasi; kedua Pertinggi kewaspadaan; ketiga, Pertinggi kesetiaan terhadap partai; keempat, pertinggi menggunakan taktik dan keuletan dalam berpolitik; kelima, Pertinggi kemampuan fisik dan mental anggota.[25]
Kiprah Banser terutama aktif dalam melindungi kepentingan massa NU dari aksi sepihak BTI baik di Surabaya, Kediri, Sidoarjo dan . Bahkan menurut Haji Yusuf Zakaria, sejak 1961, GP Ansor Jawa Timur mengadakan konsolidasi intensif di bawah Hizbullah Huda. Sejak 1963 hampir seluruh ranting GP Ansor memiliki pasukan drumband dan Banser.[26]
Selain NU, organisasi Islam lainnya seperti Muhammadiyah memainkan peran yang tidak frontal dengan kebijakan Presiden Soekarno pada masa itu. Hal ini terkait dengan situasi politik yang mencekam dan di satu sisi Muhammadiyah memiliki kaitan erat dengan Masyumi. Meski Muhammadiyah melepaskan ‘ikatannya’ dengan Masyumi sebagai anggota istimewa pada 8 September 1959 namun tak dapat dipungkiri sikap politik Masyumi adalah sikap politik sebagian besar warga Muhammadiyah.[27] Ekspresi politik pasca putusnya ikatan dengan Masyumi diserahkan pada anggotanya masing-masing. Seperti yang dinyatakan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Kol. Junus Anis,
“Anggota Muhammadijah jang duduk dalam pemerintahan dewan2 perwakilan atau partai politik, adalah atas nama mereka masing2.”[28]
Muhammadiyah sendiri beradaptasi dengan situasi politik dengan mendukung Manifesto Politik dan USDEK-nya dan konsep Nasakom. Ketua PP Muhammadiyah dalam pidato Iftitah Muktamar Muhammadiyah ke-36 tahun 1965, menyatakan Muhammadiyah sebagai alat revolusi dan dukungan terhadap konsepsi Presiden, termasuk Nasakom.
“Kami berpendirian dan berfikiran bahwa solidaritas jang ichlas dan kekompakan Uchuwwah Islamijah jang djudjur dan tulus, antara ormas dan orpol2 Islam, Insja Allah dapatlah kiranja menggalang utuhnja kekuatan2 Progressip Revolusioner berporoskan Nasakom, jang oleh Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/Pahlawan Islam dan Kemerdekaan/Panglima Tertingi kita Bung Karno benar2 diharapkan terutama dalam usaha2 meningkatkan konfrontasi kita terhadap nekolim.”[29]
Dukungan terhadap konsep Nasakom ini dapat dianggap sebagai sulitnya posisi ormas Islam pada saat itu. Meski mereka secara resmi membuat pernyataan dukungan terhadap keseluruhan konsepsi Presiden, termasuk Nasakom di dalamnya, namun pada prakteknya di akar rumput yang terjadi adalah sebaliknya. Kelihaian pernyataan-pernyataan seperti ini banyak dimainkan tokoh Muslim dan Ormas Islam pada saat itu. Muhammadiyah pada hasil Muktamarnya ke-36 juga menyatakan,
“Menerima prasaran2 untuk disempurnakan oleh PP Muhammadiyah dalam waktu sesingkat2nja agar tertjacapi suatu konsepsi tentang peranan Islam dalam Pelaksanaan Sosialisme Indonesia, baik Islam sebagai sumber2 adjaran maupun Islam sebagai potensi revolusi.”[30]
K.H. A. Badawi juga berusaha menempatkan peran Agama agar tak terpinggirkan dengan konsep ‘Nation Building’. Sama seperti NU, konsep ‘Nation Building’ ini menjadi senjata bagi kelompok Islam untuk menghadang gerak PKI dan menguatkan eksistensi kelompok Islam.
“ Untuk membentuk manusia baru jang militan, salah satu diantara unsur mutlak jalah agama seperti jang oleh Presiden kita/Panglima Tertinggi Pemimpin Besar Revolusi/Anggota setia Muhammadijah Bung Karno telah dinjatakan bahwa: Agama adalah unsur mutlak dalam pembinaan bangsa.”[31]
Pun demikian Muhammadiyah masih menerima tekanan-tekanan terkait hubungannya dengan Partai Masyumi. Dalam kesempatan yang sama, K.H. A Badawi menyatakan,
“Achir2 ini nampak djelas ada jang sengadja untuk mengaburkan masjarakat terhadap Muhammadijah dan dihubungkan dengan pembubaran partai politik Masjumi. Padahal kalau orang tidak hendak sengadja melupakan usaha2 Muhammadijah dalam ikut serta membina djiwa kemerdekaan Nasional jang telaj 50th ini, tnetulah mereka tahu bahwa Muhammadijah sedjak tahun 1912 berdiri, sedang Masjumi barulah mulai tahun 1945 didirikan.”[32]
Seperti halnya NU, peran Muhammadiyah yang tidak konfrontatif dengan Presiden Soekarno membuat mereka di satu sisi terpaksa mengikuti irama politik saat itu termasuk tidak menolak terang-terangan konsep Nasakom. Tokoh-tokohnya pun ikut serta dalam pemerintahan seperti Muljadi Djojomartono (Menteri Koordinator) dan KH Farid Ma’ruf (Menteri urusan Haji).
Koreksi-koreksi terhadap kebijakan Soekarno dilakukan dengan pendekatan pribadi para tokohnya. Jika di NU, K.H. Saifuddin Zuhri dan K.H. Wahab Hasbullah memainkan peran ini, maka di Muhammadiyah, K.H. A. Badawi yang berperan. K.H. A. Badawi mengambil resiko dengan menerima jabatan anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang memang berfungsi sebagai pemberi masukan pada Presiden. ). Djarnawi Hadikusuma, seorang tokoh Muhammadiyah, mengisahkan betapa K.H. A. Badawi berulangkali menasehati Soekarno.
“Maka dalam mendjalankan tugas meng-aproach kepada Presiden Sukarno pada waktu itu , ternjata K.H.A. Badawi sangat success dengan tjara jang chas, jaitu tidak mendjilat dan tidak mendjadi anteknja Bung Karno, tetapi dengan djalan kerap kali bersilaturahmi, memberi nasehat dan menegor kesalahannja Bung Karno jang perlu ditegor dengan gaja dan nada sebagai seorang kiai kepada seorang Islam biasa.”[33]
Menghadapi tekanan-tekanan sosial dan politik yang begitu keras dan semakin mendidih, umat Islam akhirnya bersepakat. Pada tanggal 12 Maret 1965, NU bersama Muhammadiyah, Gasbiindo serta Syarekat Islam mengeluarkan pernyataan sebagai berikut:
“Menegaskan bahwa setiap perongrongan terhadap segolongan atau sebagain Ummat Islam, dianggap sebagai perongrongan terhadap Ummat Islam secara keseluruhan dan karenanya harus dihadapi secara konsekuen dengan persatuan Islam yang bulat.”[34]
Situasi demikian sulitlah yang harus dimainkan oleh kelompok Islam dalam upayanya membendung pengaruh PKI. Namun, perlahan tapi pasti PKI juga semakin membuka jalannya menuju kekuasaan. Meski PKI belum juga masuk kabinet hingga 1965, namun Aidit memperoleh jabatan prestisius sebagai Wakil Ketua MPRS yang setaraf dengan Menteri, meski tanpa portfolio. Digesernya A.H. Nasution dari Panglima Angkatan Darat menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata yang administratif membuat kekuasaan kekuasaan di kubu Angkatan Darat berubah. Ahmad Yani, meski dikenal anti-komunis namun ia bukanlah oposisi bagi Soekarno.[35]
PKI melakukan penetrasi ke militer dengan mengidentikan TNI AD sebagai kaum tani bersenjata
Di lain sisi PKI melakukan penetrasi ke dalam militer, khususnya Angkatan Darat. Divisi Diponegoro dan Brawijaya mulai diinfiltrasi oleh Biro Khusus PKI di bawah Sjam Kamaruzzaman.[36] Dukungan lebih mudah diperoleh PKI di Angkatan Udara, dan beberapa sekutu potensial di Angkatan laut dan Kepolisian ketimbang di Angkatan Darat. Memperoleh dukungan dari Angkatan Darat adalah sebuah keharusan jika PKI menghendaki berkurangnya perlawanan dari kubu anti-komunis.
Aidit mencari kesamaan antara basis perjuangan mereka dengan Angkatan Darat. Ia menyebutkan bahwa para tentara Indonesia adalah kaum tani bersenjata. dalam ceramahnya di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SESKOAD) pada 29 Juni1963, ia menjelaskan,
“Kaum tani mendjadi kekuatan pokok revolusi oleh karena mereka meliputi majoritet jang terbesar sekali dari Rakjat dan jang tertindas oleh sisa2 feodalisme. Oleh karenanja, hakekat daripada Revolusi kita pada tahap sekarang ini adalah revolusi agraria jang bertudjuan membebaskan kaum tani dari penghisapan feodal. Dengan demikian mendjadi djelas pula hakekat daripada tentara kita, jaitu kaum tani bersendjata, mereka adalah anak kaum tani atau masih ada hubungan keluarga jang dekat dengan kaum tani.”[37]
Pendekatan PKI kepada kalangan angkatan bersenjata menjadi bagian dari penerapan Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan (MKTBP), yaitu,
”…bekerdja baik dikalangan tani di-desa2, di kalangan kaum buruh di-kota2, terutama buruh transport dan mempererat hubungan angkatan bersendjata dengan Rakjat agar anak2 kaum buruh dan tani jang bersendjata ini tidak bisa digunakan oleh kaum reaksioner untuk memusuhi Rakjat.”[38]
Bagian lain dari pendekatan (atau bisa dikatakankan penaklukan) kepada Angkatan Darat adalah dengan melakukan Nasakomisasi berbagai lembaga termasuk angkatan bersenjata. Angkatan Udara (AURI) di bawah Panglima Tertinggi Angkatan Udara (Menpangau) Omrar Dani mendukung usul Aidit. Ia bahkan mengumumnkan bahwa Marxisme akan diajarkan kepada staff angkatan udara dan di sekolah komando angkatan udara.[39]
Upaya lain untuk juga dilakukan lewat infiltrasi dalam tubuh angkatan darat melalui Biro Chusus yang dipimpin Sjam Kamaruzzaman. Infiltrasi ini memang dilakukan dalam sunyi dan bahkan tak diketahui oleh Central Comitee (CC) PKI. Biro Chusus adalah sebuah lembaga yang bersifat rahasia dan klandestin.
Kebanyakan anggota PKI tak mengetahui keberadaan badan yang telah ada sejak 1950-an ini. Biro Chusus bahkan sudah menjalin hubungan dengan kalangan militer sebelum dipimpin oleh Sjam Kamaruzzaman dan memiliki perwakilannya di daerah. Hubungan ini dijalin dengan kalangan militer yang bersimpati dengan PKI sejak mereka masih tergabung dalam laskar hingga masuk ke tentara reguler.[40]
Dari berbagai upaya menjinakkan dan mengimbangi Angkatan Darat, tak ada yang lebih mencengangkan publik dan elit ketimbang upaya PKI pada Januari 1965 yang mengusulkan dibentuknya Angkatan Bersenjata Kelima setelah AD, AL, AU dan Kepolisan. Angkatan Bersenjata kelima ini untuk mengkahiri monopoli penguasaan senjata oleh tentara. PKI mengusulkan agar buruh dan tani dipersenjatai dan diberikan latihan militer. Menurut Aidit setidaknya ada 10 juta tani dan 5 juta buruh siap dipersenjatai.[41] Belakangan Soekarno menyebutkan bahwa ide mempersenjatai tani dan buruh awalnya diusulkan oleh Perdana Menteri Cina, Chou En-Lai saat bertemu dengan dirinya.[42]
Bagi RRC, angkatan kelima sangat penting untuk menjaga keseimbangan kekuatan dengan Barat di Asia Tenggara. Pada akhir Januari, Chou En-Lai bertemu oleh Soebandrio di Cina. Momen itu dimanfaatkannya untuk membujuk Soebandrio mendukung Angkatan Kelima.[43] Cina bahkan menawarkan senjata ringan untuk mempersenjatai Angkatan Kelima.Pada bulan Juni, Indonesia mengirimkan delegasi dari Relawan Indonesia untuk mempelajari urusan milisi di Cina, Korea Utara di Vietnam.[44]
Bagi PKI Angkatan Kelima adalah sesuatu yang mereka nanti-nantikan. PKI hingga saat itu belum memiliki milisi. Perbepsi yang pernah diharapkan menjadi cikal bakal pasukan paramiliter tak berhasil dijalankan setelah Angkatan Darat mengambil alih kelompok veteran dan meleburnya dalam kendali mereka.[45] Maka ide Angkatan Kelima bukan saja mewujudkan kembali harapan tersebut, tetapi juga dapat menjadi penantang hegemoni Angkatan Darat.
Tanpa menunggu keputusan pemerintah, sebanyak dua ribu orang mulai dilatih PKI di seputar Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.[46] Mereka adalah kelompok-kelompok underbouw PKI seperti Gerwani dan Pemuda Rakjat yang ditempa dengan latihan-latihan militer.[47] Di saat yang berdekatan Angkatan Udara mulai mendekati pemerintah Cina untuk meminta persenjataan bagi mereka. AU beralasan senjata itu dipakai untuk mempersenjatai rakyat di seputar Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.[48]
Usul Angkatan Kelima dengan dukungan Soekarno ini kemudian menggelinding menjadi lebih besar, didorong oleh pendukung PKI di Front Nasional dan PWI. Angkatan Kelima menjadi tekanan bagi Ahmad Yani selaku Panglima Tertinggi Angkatan Darat. Sulit baginya menolak desakan Soekarno di satu sisi. Di lain sisi, ia juga enggan memberi PKI ruang yang lebih leluasa lewat Angkatan Kelima.[49]
Angkatan Darat menjadi sasaran tembak PKI, khususnya sejak Januari 1965. Aidit dalam pernyataan di awal Januari 1965 menyerukan untuk menghancurkan “Kapitalis Birokrat.” Sebuah seruan yang mengadopsi Partai Komunis Cina yang secara luas dipahami bagi segala macam aparatur negara yang terlibat dalam pemborosan ekonomi, malpraktek dan korupsi. Tetapi jelas, istilah ini lebih ditujukan pada para elit Angkatan Darat.
Massa PKI terus menghujat para tertuduh ‘Kabir.’ Tanggal 25 September 1965 misalnya, massa pemuda Rakjat berpawai meminta koruptor disingkirkan. Hari yang sama, Pemuda Komunis di Semarang meminta koruptor ditembak didepan publik. Begitu juga Sadjarwo. Pada 27 September ia mengatakan sudah waktunya melikwidasi para subversive. Kalau perlu para pemimpin mereka ditembak.[50]
Tekanan juga datang dari Soekarno yang pada pidato Hari Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1965 menyatakan kemuakannya pada militer yang tidak progresif. Tak ayal tudingan tersebut ditujukan (bila tidak satu-satunya) kepada para elit Angkatan Darat. Berada terus menerus dalam tekanan, Ahmad Yani pun menunjukkan posisinya. Pada 27 Juli1965 ia menunjukkan sikapnya menolak Angkatan Kelima dan Nasakomisasi Angkatan Darat. Sebuah pertunjukan terang-terangan pertentangan terhadap Soekarno dan PKI.[51]
Pernyataan Yani memperkuat sikap sebagian elit Angkatan Darat yang menunjukkan sikap anti-yang sebelumnya sudah ditunjukkan Ibrahim Adjie , Komandan Divisi Siliwangi. Kepada jurnalis AS di bulan Maret 1965, Adji mengatakan bahwa pihaknya telah mengalahkan komunis di Madiun. Dan pihaknya akan terus mengawasi kelompok komunis.
Letjen A. Yani memang semakin menunjukkan sikap kritisnya pada Presiden Soekarno. Sebuah ‘manuver’ dilakukan elit Angkatan Darat ketika mereka menulis surat sebuah ‘mosi tidak percaya’ kepada kabinet Presiden Soekarno. A. Yani dan M.T. Haryono adalah diantara elit angkatan Darat yang berada dibalik ‘mosi’ tersebut. Salah satu isi surat menyatakan bahwa Presidium dan kabinet telah membuktikan tidak mampu lagi memerintah “seperti yang dimaklumi oleh Bapak.”[52]
Sikap penentangan elit Angkatan Darat terhadap kemauan Soekarno dan ambisi PKI bisa jadi salah satu peristiwa penentu diantara situasi yang sudah mendidih dan dipenuhi kabut rumor yang mengelilingi elit politik. Pada Mei 1965 sekelompok massa dari Pemuda Rakyat menyerbu villa Bill Palmer, distributor film Amerika di Puncak, Bogor, Jawa Barat. Bill Palmer dituduh sebagai agen CIA. Di villa tersebut pula para pemuda menemukan dokumen yang memmuat telegram rahasia Sir Andrew Gilchrist kepada pemerintahnya tentang kemungkinan kerjasama antara Inggris dan Angkatan Darat, yang disebut sebagi “Our local Army friends,” dan berniat menggulingkan Presiden Soekarno. Dokumen inilah yang kemudian disebut ‘Dokumen Gilchrist.’ Dokumen itu bocor ketika hubungan Indonesia dengan Inggris sedang menegang akibat konfrontasi Indonesia – Malaysia soal Borneo. Inggris saat itu membantu Malaysia mengirim pasukan ke Borneo untuk menjaga kawasan perminyakan.[53]
Dokumen ini segera menilmbulkan kegemparan di elit politik. Menurut Soebandrio, Kepala Badan Pusat Intelejen (BPI), dokumen tersebut diterima dirinya tanpa jelas pengirimnya. Soebandrio kemudian melaporkan dokumen tersebut kepada Presiden Soekarno. Ahmad Yani sendiri ketika ditanyakan oleh Soebandrio seputar tuduhan dalam dokumen itu, menyangkal kebenarannya. Menurutnya yang ada dalam Angkatan Darat hanya dewan yang bertugas merancang kepangkatan di Angkatan Bersenjata.[54]
Bagi PKI munculnya dokumen ini seperti berkah yang membuktikan kecurigaan mereka akan tindak tanduk elit Angkatan Darat. Tak sedikit yang percaya akan kebenaran dokument tersebut pada saat itu. Namun ternyata dokumen tersebut adalah bagian dari rekayasa intelejen Cekoslovakia. Mereka menyebutnya Operasi Palmer, merujuk pada nama Bill Palmer, Ketua American Motion Picture Ascociation in Indonesia (AMPAI).
“…pada permulaaannya merupakan salah satu dari sejumlah provokasi anti-Amerika. Setelah tahap pertaa berhasil, dinas intelejen Sovyet menyertai usaha itu; bersama-sama kami menyebarkan benih kebencian terhadap Amerika di bumi Indonesia yang subur itu, memupuknya hingga taraf yang histeris, sehingga mengancam hubungan diplomatik Indonesia- Amerika dengan kehancuran. Kami sendiri terperanjat melihat provokasi itu berkembang secara luar biasa dan mengerikan.”[55]
Masifnya berita bohong dan fitnah
Berita-berita bohong yang dipasok intelejen Ceko mengenai Palmer yang dituduh sebagai agen CIA kemudian merebak dimana-mana. Menghasilkan efek yang luar biasa.
Permainan intelejen kembali ditelurkan tatkala mereka membuat dokumen palsu yang seakan-akan berasal dari Kementerian Luar Negeri Inggris. Dokumen palsu ini kemudian dikenal sebagai ‘Dokumen Gilchrist.’ Sebuah dokumen yang dibuat seakan-akan dari Duta Besar Inggris di Indonesia, Gilchrist kepada Kementerian Luar Negeri Inggris yang bertanggal 24 Maret 1965. Umpan dokumen palsu ini kemudian ‘dilahap ‘ oleh Dr. Soebandrio dari BPI dan kemudian Presiden Soekarno.[56] Meski telah disangkal oleh pemerintah Inggris dan Amerika, namun khalayak di tanah air lebih memilih untuk mempercayainya termasuk Harian Rakjat.
Rumor dari ‘Dokumen Gilchrist’ tersebut terus menggelindingkan isu tentang adanya Dewan Jenderal yang bekerja sama dengan pemerintah Inggris untuk menggulingkan Presiden Soekarno. Ahmad Yani sendiri sudah menolak adanya isu Dewan Jenderal tersebut dengan mengatakan bahwa yang ada hanyalah ‘Wandjakti’ atau semacam dewan penilaian dalam kepangkatan. [57] Namun isu Dewan Jenderal terus menghantui situasi politik saat itu. Jelas bahwa Dr. Soebandrio yang bertanggung jawab menyuburkan isu ini dengan dilahapnya ‘Dokumen Gilchrist’ mentah-mentah yang ditelurkan intelejen komunis asing.
Presiden Soekarno tampaknya semakin menekan elit Angkatan Darat. Pada Kongres ke-III CGMI, 29 September 1965, ia menyindir,
“Dulu, ada orang jang revolusioner, tapi sekarang ia mendjadi kontrarevolusioner. Dan seperti dinjatakan dalam Takari ada pula jang dulunja mendjadi jenderal petak tapi sekarang mereka mendjadi pelindung elemen kontra-revolusi. Mereka ini harus kita ganjang.”[58]
Kabut rumor yang mengeliliingi elit politik dalam situasi yang sudah mendidih tak ayal menimbulkan kecemasan di kalangan rakyat. Situasi sudah saling curiga-mencurigai. Para pendukung PKI sudah dididhkan mencapai titik didihnya. Setiap hari agitasi dan provokasi ditujukan seakan masa eksekusi para lawan politik akan terjadi.
Rumor juga beredar dikalangan wartawan. Joesoef Isak, Ketua Persatuan Wartawan Asia-Afrika mendapat informasi dari beebrapa anggota Comite Central PKI, salah satunya Nursuhud, bahwa pada Agustus dan September akan terjadi suatu aksi massa menentang ‘Kapitalis birokrat’ dan ‘kaum kontra-revolusioner.’
“Saya diberi tahu bahwa sebentar lagi seluruh situasi akan berubah. Saya mengerti itu artinya akan terjadi suatu gerakan hebat. Akan ada pukulan terakhir. Saya tetap menganggu partai (maksudnya pemberi informasi, Nursuhud), dengan menanyakannya,“Kapan? Kamu bilang sebentar lagi.” Baiklah satu minggu sudah liwat, satu bulan, masih tidak terjadi apa-apa. Saya tetap mencari-cari partai, menanyakan kapan. Para sekretaris luar negeri (PWAA) terus-menerus bertanya pada saya kapan akan terjadi.
Partai mengatakan pada saya, “Kita akan melancarkan aksi-aksi revolusioner sepenuhnya sampai mencapai puncak. Kita akan menghabisi kaum kapitalis birokrat dan kaum kontra-revolusioner.” Saya bertanya, “Bagaimana cara kamu akan melakukannya?” “Turun ke jalan-jalan,” begitulah cerita yang disampaikan pada saya. “Turun ke jalan-jalan. Kita akan pergi langsung masuk ke kantor-kantor para menteri, para dirjen departemen-departemen pemerintah, dan menangkap mereka. Kita akan mengambil Wakil Perdana Menteri III, Chairul Saleh, dan melemparnya ke kali Ciliwung.”[59]
Puncaknya pada 29 September 1965, Anwar Sanusi, anggota Politbiro PKI dalam penutupan Latihan Sukwan Bantuan Tempur BNI, mengatakan “Kita sekarang berada dalam situasi di mana Ibu Pertiwi sedang dalam keadaan hamil tua. Sang Paraji, Sang Bidan sudah siap dengan segala alat yang diperlukan untuk menyelamatkan kelahiran Sang Bayi yang lama dinanti-nanti itu. Sang Bayi akan lahir dari kandungan Ibu Pertiwi itu adalah suatu kekuasaan politik yang sudah ditentukan dalam Manipol, yaitu kekuasaan gotong royong yang berporoskan Nasakom, bersoko-guru buruh dan tani.”[60]
Turun-turun ke jalan, melakukan aksi-aksi demonstrasi, memang sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Aksi unjuk kekuatan merupakan bagian dari mobilisasi massa yang lumrah. Pada hari peringatan ulang tahun PKI yang ke-45, 23 Mei 1965 dirayakan secara besar-besaran. Massa pendukung PKI melakukan long march dari Surabaya ke Jakarta.
Di Jakarta, perayaan dilakukan besar-besaran. “Tamu-tamu berdatangan dari negara komuis; RRC, Albania, Korea, Vietnam, dan juga dari Partai Komunis Uni Soviet. Jakarta dipenuhi poster-poster raksasa, spanduk, dan patung tokoh-tokoh komunis. Gambar Presiden Sukarno dipajang sama besarnya dengan gambar DN Aidit, Lenin, dan Karl Marx di sejumlah jalan utama Ibu Kota. Ribuan bendera Palu Arit dipasang sampai ke pelosok kampung. Sekitar 105 ribu orang memenuhi komplek olahraga Senayan. Pawai Gerwani, drum band, penyanyi meramaikan peristiwa terebut. Angkatan Udara menjatuhkan selebaran. Yang bertanda tangan Aidit dapat menukarkan dengan hadiah.Jakarta praktis sudah berubah wajah, seolah-olah sudah menjadi ibu kota negara komunis.[61]
Di Stadion Utama Gelanggang Olahraga Bung Karno, Presiden Soekarno berpidato depan khalayak. Ia berkata,
“Nah didalam hal ini, didalam segala politik Republik Indonesia, ja bagian “Malaysia”, ja bagian berdikarinja ekonomi, ia bagian berdaulatnja politik. Ia bagian berkepribadiannja kebudajaan, selalu PKI adalah berdiri dibarsan jang paling depan daripada barisan Indonesia ini. Karena itupun saja tanpa tedeng aling2, jo PKI kene dulurku, kene dulurku, jo sanak jo kadang jen mati aku sing kelangan. Memang demikian Saudara2. Manakala saja didalam Kongres jang ke-VII daripada PKI berkata : PKI “go ahead”! Berdjalanlah terus, artinja go ahead. Sekarang pun saja berkata PKI, go ahead ! PKI, madju, onward, onward, never retreat !” – Soekarno, Mei 1965 dalam Ulang Tahun 45 Tahun PKI.[62]
Situasi kala itu memang dirasakan bahwa PKI sedang diatas angin. Merayakan 45 tahun partainya di bulan Mei 1965, Aidit menekankan bahwa situasi revolusioner yang dirasakan di Indonesia saat itu tak lain karena aksi-aksi ofensif-revolusioner dari semua kekuatan revolusioner.
“Ofensif berarti sukses dan menang, defensif berarti gagal dan kalah.
Situasi revolusioner ini menuntut kaum revolusioner terus memperhebat ofensif revolusioner disegala bidang dengan setiap hari berusaha mengantongi kemenangan untuk achirnja merampungkan revolusi nasional-demokrasi sepenuhnja.”[63]
Bayang-bayang akan terjadinya pemberontakan Madiun kedua didepan mata. Hal ini menjadi sangat wajar, karena baru 19 tahun yang lalu pemberontakan Madiun yang mengerikan itu terjadi. Dan sebagain besar dari orang-orang pada masa itu, mengalami pemberontakan yang mengerikan itu. Penyair Iwan Simatupang dalam karyanya tanggal 4 Februari 1965, melukiskan akan bayangan suram itu,
Situasi bukan hanya mencekam, tetapi juga amat sulit. Perekonomian terus memburuk terutama sejak 1963, ketika banyak pengeluaran ditujukan untuk kampanye ‘Ganyang Malaysia.’ Di pasar gelap, nilai rupiah terhadap dollar terjun dari Rp. 3000 di bulan September 1964 menjadi Rp. 8000 di bulan Desember 1964. Harga komoditas (kecuali beras) naik dua kali lipat di bulan Oktober-November. Pada awal 1965, panen berhasil melonggarkan sedikit kesulitan, tetapi kemudian harga-harga terus naik. Pemerintah tak berdaya membendungnya kecuali dengan kecaman akan menembak mati para penyabotase ekonomi.[65]
Sejarawan Ong Hok Ham mengisahkan kesulitan yang mendera pada saat itu. “Saya pernah melihat orang-orang dari desa pingsan karena kurang makan di depan mata sendiri di depan rumah teman, Nugroho Notosusanto.” Demikian kenang Ong Hok Ham.[66]
Situasi politk yang mencekam, dan rumor akan aksi-aksi para elit, membuat Indonesia semakin tidak stabil. Jika rumor akan adanya Dewan Jenderal atau adanya aksi Madiun kedua masih samar, satu hal yang pasti mengubah keadaan adalah jatuh sakitnya Presiden Soekarno.
Pada 4 Agustus 1965, di Istana Merdeka, Presiden Soekarno menderita sakit kepala dan kesulitan berbicara yang diduga stroke ringan. Kondisinya perlahan pulih. Namun berita sakitnya presiden ini menyebar begitu cepat dan liar. Rumor dan spekulasi menjadi tak terkendali. Dua anggota PKI, Aidit dan Njoto yang sedang berada di luar negeri segera kembali ke Indonesia. Dua dokter kepresidenan menyatakan ia menderita gangguan aliran darah ke otak. Tanggal 7 Agustus 1965, Aidit tiba di Jakarta dan ke Istana bersama tim medis dari Cina.[67] Harian Rakjat memberitakan bahwa Aidit pulang mendadak karena dipanggil oleh Presiden.[68]
Semua pemeriksaan menyatakan Presiden Soekarno kondisinya tidak dalam keadaan berbahaya. Presiden Soekarno pun segera membuktikan dirinya tetap bugar dengan berpidato di perayaan 17 Agustus 1965. Meski demikian, kekalutan segera melanda elit politik di seputar Istana. Bagaimana jika Soekarno meninggal? Pertarungan dua kekuatan, PKI dan Angkatan Darat yang selama ini dijaga Soekarno akan kehilangan penyeimbangnya. Situasi segera menjadi kritis, bayangan benturan tak terhindarkan.
Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Tulisan ini diambil dari salah satu bab dalam Buku “Dari Kata Menjadi Senjata: Konfrontasi Umat Islam dengan Partai Komunis Indonesia” (2017) kerjasama Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) dengan Jurnalis Islam Bersatu (JITU)
[1] Karno, Bung. 1965. Subur, Subur, Suburlah PKI. Jakarta: Jajasan Pembaruan.
[2] Hindley, Donald. 1962. President Soekarno and The Communists: The Politics of Domestication. American Political Science Review, Vol. 56, No. 4 (December 1962).
[3] Hindley, Donald. 1962. President Soekarno and The Communists: The Politics of Domestication.
[4] Soekarno. 1965. Tahun Vivere Pericloso (Tavip) dalam Di bawah Bendera Revolusi Jilid 2. Jakarta: Panitya Dibawah Bendera Revolusi.
[5] Farram, Steven. 2014. Ganyang! Indonesian Popular Songs From The Confrontation Era 1963-1966. Bijdragen Tot de Taal -, Land en Volkenkunde 170 (2014).
[6] Subandrio. Tanpa tahun. Teman Jang Djadi Kontra-Revolusioner Terpaksa Kita Tinggalkan. Jakarta: Departemen Penerangan R.I
[7] Aidit, D.N. 1963. Hajo! Ringkus dan Ganjang Kontra-Revolusi. Jakarta: Jajasan Pembaruan.
[8] PKI. 1965. Gerakan Beladjar dan Pelaksanaan Keputusan2 Pleno ke-IV CC PKI. Dokumen Instruksi CC PKI, Juni 1965 dalam Inventaris Arsip KOTI 1963-1967, Arsip Nasional Republik Indonesia.
[9] Harian Rakjat, 17 Agustus 1965.
[10] Mortimer, Rex. 2011. Indonesian Communism Under Soekarno: Ideology and Politics, 1959-1965. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[11] Zuhri, KH. Saifuddin. 2013. Berangkat dari Pesantren. Yogyakarta. LKiS
[12] Mortimer, Rex. 2011.
[13] Widiyanto, Paulus. 1991. Osa Maliki dan Tragedi PNI. Konflik Intern Pra dan Pasca 1965 dalam Diatas Panggung Sejarah, Dari Sultan ke Ali Moertopo. Prisma, Edisi Khusus 20 tahun Prisma.
[14] Zuhri, KH. Saifuddin. 2013.
[15] Zuhri, KH. Saifuddin. 2013.
[16] Lihat Ismail, Taufiq dan D.S. Moeljanto. 1995. Kilas-Balik Ofensif Lekra/PKI dkk. Bandung: Mizan dan Liem, Maya H.T.2012. A bridge to The Outside World. Literary Translation in Indonesia. 1950-1965. dalam Heirs To World Culture. Being Indonesian 1950-1965. Leiden: KITLV Press.
[17] Zuhri, KH. Saifuddin. 2013.
[18] Zuhri, KH. Saifuddin. 2013.
[19] Zuhri, KH. Saifuddin. 2013.
[20] Harian Rakjat, 30 September 1965.
[21] Warta Bhakti, 30 September 1965.
[22] Saidi, Ridwan. 2006. Lakon Politik “Che Guevara Melayu” : Dokumentasi Teror PKI 1955-1960. Jakarta: Institute for Policy Studies (IPS) dan Dake, Antonie C.A. 2006. The Sukarno File. Chronology of a Defeat. Leiden: Koninklijke Brill NV.
[23] Saidi, Ridwan. 2006.
[24] Zuhri, KH. Saifuddin. 2013.
[25] Anam, Choirul. 1990. Gerak Langkah Pemuda Ansor: Sebuah Percikan Sejarah Kelahiran. Majalah Nadhlatul Ulama Aula.
[26] Anam, Choirul. 1990.
[27] Syaifullah. 1997. Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
[28] Anis, K.H.M. Junus. 1960. Muhammadijah Tidak Mau Kerdjasama dengan Setan dalam Almanak Muhammadijah 1960/1961. Jakarta: Pusat Pimpinan Muhammadijah Madjelis Taman Pustaka.
[29] Putusan dan Kesimpulan Muktamar Muhammadijah ke-36. Suara Muhammdijah No. 4 Tahun 37, September 1965.
[30] Putusan dan Kesimpulan Muktamar Muhammadijah ke-36. Suara Muhammdijah No. 3 Tahun 37, Agustus 1965.
[31] Suara Muhammadijah No. 3 th 37, Agustus 1965
[32] Suara Muhammadijah No. 3 th 37, Agustus 1965.
[33] Anis, H.M. Junus. 1971. Riwayat Hidup K.H. A. Badawi. Yogyakarta: Gabungan Koperasi Batik Indonesia.
[34] Anam, Choirul. 2010. Pertumbuhan dan Perkembangan Nadhlatul Ulama.: Duta Aksara Mulia.
[35] Sundhaussen, Ulf. 1988. Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi Abri.Jakarta: LP3ES
[36] Ricklefs, M. C. 2001. History of Modern Indonesia Since 1200.C. London: Palgrave.
[37] Aidit, D.N. 1963. PKI dan Angkatan Darat (SESKOAD). Jakarta: Jajasan Pembaruan.
[38] Aidit, D.N. 1964. Kibarkan Tinggi Pandji Revolusi. Jakarta: Jajasan Pembaruan.
[39] Sundhaussen, Ulf. 1988.
[40] Roosa, John. 2008. Dalih Pembunuhan Massa. Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto. Jakarta: Hasta Mitra dan Institut Sejarah Sosial Indonesia.
[41] Crouch, Harold. 1986. Militer dan Politik di Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan.
[42] Mortimer, Rex. 2011.
[43] Zhou, Taomo. 2014. China and The Thirtieth September Movement. Indonesia, No. 98 (October 2014)
[44] Zhou, Taomo. 2014.
[45] Brackman, Arnold. 1969. The Communist Collapse in Indonesia. Singapore: Asia Pacific Press.
[46] Bandingkan dengan kesaksian Njono di pengadilan Mahkamah Militer Luar Biasa. G-30-S Dihadapan Mahmilub Jilid I (Perkara Njono). Jakarta: Pusat Pendidikan Kehakiman A.D.
[47] Brackman, Arnold. 1969.
[48] Zhou, Taomo. 2014.
[49] Mortimer, Rex. 2011.
[50] Brackman, Arnold. 1969.
[51] Dake, Antonie C.A. 2006.
[52] Anwar, H. Rosihan. 2006. Soekarno – Tentara – PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik 1961-1965. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
[53] Soebandrio. 2006. Yang Saya Alami Peristiwa G 30 S (Sebelum, Saat Meletus dan Sesudahnya. Jakarta: Bumi Intitama Sejahtera.
[54] Soebandrio. 2006.
[55] Bittman, Ladislav. 1973. Permainan Curang (The Deception Game). Jakarta: PT TJandramerta.
[56] Bittman, Ladislav. 1973.
[57] Dake, Antonie C.A. 2006.
[58] Harian Rakjat, 30 September 1965.
[59] Roosa, John. 2008.
[60] Anwar, H. Rosihan. 2006.
[61] Brackman, Arnold. 1969.
[62] Karno, Bung. 1965.
[63] PKI. 1965. Tesis 45 Tahun PKI. Jakarta: Jajasan Pembaruan.
[64] Simatupang, Iwan. 2013. Kapan Persisnya PKI akan Rebut Kekuasaan? dalam Tragedi G-30-S 1965 dalam Bayang-Bayang Bung Karno Sang Peragu. Bogor: Insan Merdeka.
[65] Mackie, J.A.C. 1967. Problems of The Indonesian Inflation. Modern Indonesia Project, Monograph Series. Cornell University, New York.
[66] Ham, Ong Hok. 2000. Refleksi Tentang Peristiwa G-30-S (Gestok) 1965 dan Akibat-Akibatnya dalam Memandang Tragedi Nasional 1965 Secara jernih. Sejarah, Vol. 9 (2000).
[67] Zhou, Taomo. 2014.
[68] Harian Rakjat 9 Agustus 1965.
No comments:
Post a Comment