Kisah Hakim dan Pencuri Kain Kafan Layak Jadi Pelajaran
Ustaz Miftah el-Banjary
Pakar Ilmu Linguistik Arab dan Tafsir Al-Qur'an,
Pensyarah Kitab Dalail Khairat
Dalam Kitab Nashaihul 'Ibad, Syaikh Nawawi Al-Bantani mengungkap kisah seorang pencuri kain kafan dan seorang hakim di sebuah negeri. Drama keduanya bermula ketika hakim yang dikenal sangat saleh itu merasakan detik-detik akhir usianya.
Sang hakim gundah, terutama soal nasibnya nanti selepas prosesi pemakaman dirinya, apakah kain kafannya selamat dari tindak pencurian sebagaimana banyak kasus yang menimpa tetangganya saat itu? Ia tahu siapa yang biasa melakukannya.
Maka dipanggillah pencuri kain mayat tersebut. "Aku telah menyiapkan sejumlah uang seharga kain kafanku. Ambillah, tapi tolong jangan koyak kuburanku." Si pencuri kain kafan mendengarkan dengan baik pesan sang hakim.
Ia menyanggupi permintaannya. Si pencuri ternyata tak sungguh-sungguh memegang janjinya setelah hakim itu meninggal dunia. Di benaknya terlintas godaan mencuri kain kafan sang hakim. Istrinya sempat meredam niat buruknya ini, tapi gagal. Proses penggalian kubur pun berlangsung.
Dalam aksi nekatnya inilah tukang curi kain kafan mendapatkan pengalaman ajaib. Telinganya seperti mendengar suara dua Malaikat. Ia seolah dibimbing merekam peristiwa yang tak lazim dapat ditangkap indra itu.
"Ciumlah bau kaki mayat ini," ujar Malaikat satu kepada Malaikat yang lain. "Tidak ada yang aneh. Dia tidak menggunakan kedua kakinya untuk maksiat."
Penciuman terus berlanjut pada kedua tangan dan mata. Hasilnya sama. Tak ditemukan kejanggalan karena si hakim mampu menjaga tangan dan penglihatannya dari perbuatan haram.
Malaikat lalu mulai memeriksa kedua telinga si hakim. Satu telinga masih luput dari masalah, tapi tidak untuk telinga bagian lain. "Apa yang kau temukan?" tanya Mailakat satu kepada yang lain. "Sesuatu bau busuk."
"Kau tahu bau apa ini? Ini bau perbuatan si hakim yang cenderung mendengarkan satu pihak ketimbang yang lain dalam penyelesaian kasus sengketa dua pihak.
"Tiup!" Begitu tiupan diembuskan, api tiba-tiba memenuhi kuburan. Dan sejak peristiwa itulah pencuri kain kafan mengalami kebutaan.
Syaikh Nawawi tidak mencantumkan riwayat secara rinci perihal kisah dramatis ini. Beliau hanya menyebutnya berasal dari cerita sebagian ulama terdahulu. Syaikh Nawawi mengulasnya ketika menjelaskan balasan kehidupan setelah mati.
Cerita di atas setidaknya berpesan bahwa kerugian yang ditimbulkan oleh sikap tidak adil dalam penegakan hukum tak hanya menimpa pada orang lain, tapi juga diri sendiri.
Citra positif di mata orang lain sebagai orang saleh tak akan mampu mengapus resiko dan tanggung jawab akibat kebusukan perilaku yang disembunyikan. Bukankah pengadilan sebenarnya justru terjadi setelah kehidupan di dunia ini?
Pesan ini bukan sekadar untuk Hakim saja, tetapi semua aparatur negara, penegak hukum agar tidak hanya mendengar dari sebelah pihak saja dan menutup pendengaran dari pihak lain secara adil dan berimbang.
Hidup di dunia sementara, kehidupan di akhirat selamanya. Jabatan di dunia tak seberapa lama, namun siksa dan azab akhirat itu pasti adanya.
Mumpung masih diberi kekuasaan, berlaku adillah terhadap orang yang dipimpin, sebelum nanti di akhirat dituntut oleh orang-orang yang dipimpin.
Wallahul Muwafiq ila Aqwamitthariq. Semoga Allah tunjukkan kebenaran untuk terus kita ikuti dan perjuangkan.
Wallahu A'lam
(rhs)SINDOnews
No comments:
Post a Comment