Sidang Majelis Syuro Saat Menetapkan Utsman bin Affan Menjadi Khalifah
SETELAH jenazah Umar bin Khattab r.a . dimakamkan, Abu Thalhah Al Anshariy segera mengumpulkan 6 orang Ahlu Syuro yang ditunjuk Umar r.a., di sebuah rumah.
Sesuai dengan wasiat Khalifah Umar r.a. maka 50 orang Anshar lengkap dengan pedangnya rnasing-masing, ditugaskan menjaga pintu-pintu rumah. Kepada 6 orang itu dipersilakan berunding untuk memilih siapa di antara mereka yang akan ditetapkan sebagai Khalifah pengganti Umar bin Khattab.
Dalam buku "Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a." karya H.M.H. Al Hamid Al Husaini disebutkan tentang pelaksanaan pemilihan Khalifah pengganti Umar r.a. terdapat beberapa riwayat.
Menurut Abu Utsman Al-Jahidz, pelaksanaannya sebagai berikut: Keenam Ahlu Syuro itu mulai bermusyawarah dan berdebat. Thalhah bin Ubaidillah tampil sebagai pembicara pertama. Ia langsung saja mengatakan mendukung Utsman bin Affan sebagai calon Khalifah. Alasan yang diajukannya untuk bersikap demikian, karena ia yakin tidak akan ada seorang pun yang akan mencalonkan dirinya(Thalhah) sebagai Khalifah, selama Imam Ali bin Abu Thalib r.a. dan Utsman bin Affan r.a. masih ada.
Kemudian tampil Zubair bin Al 'Awwam . Ia menentang pencalonan Utsman bin Affan r.a., seperti yang diajukan Thalhah. Ia memberikan dukungan kepada Ali bin Abu Thalib r.a.
Orang memperkirakan bahwa Zubair mencalonkan Ali r.a. karena hubungan kekeluargaan. Seperti diketahui Zubair adalah anak lelaki bibi Imam Ali Shafiyyah binti Abdul Mutthalib, dan ayah Imam Ali r.a. sendiri adalah saudara ibu Zubair.
Setelah ini muncul usul ketiga, yang datangnya dari Sa'ad bin Abi Waqqash . Ia mengajukan misannya sendiri, anak pamannya, yaitu Abdurrahman bin 'Auf sebagai Khalifah. Usul Sa'ad ini pun masih berbau pikiran kekerabatan. Kedua-duanya berasal dari qabilah Bani Zuhrah.
Selain itu, Sa'ad sendiri pun sudah merasa kecil kemungkinannya untuk terpilih sebagai Khalifah.
Sekarang tinggal 3 orang yang belum mengajukan usul pencalonan. Abdurrahman kemudian bertanya kepada Ali r.a. dan Utsman bin Affan r.a.: "Siapa di antara kalian berdua yang bersedia mengundurkan diri sebagai calon? Sebab, masalah pemilihan sekarang ini hanya bergantung kepada kalian berdua."
Ternyata tak seorang pun di antara dua tokoh itu yang menanggapi pertanyaan Abdurahman bin Auf. Setelah beberapa saat lamanya tidak ada jawaban dan semua mata tertuju kepada Ali bin Abu Thalib r.a. dan Utsman bin Affan r.a. Abdurrahman bin Auf berkata lagi: "Sekarang aku menyatakan menarik diri dari pencalonan."
Seterusnya ditambahkan: "Dengan demikian aku dapat memilih salah seorang di antara kalian berdua."
Pernyataan Abdurrahman ini pun tidak ditanggapi, baik oleh kedua orang calon, maupun orang lainnya. Abdurrahman bin Auf kembali mengambil prakarsa untuk melancarkan jalannya pemilihan. Kepada Ali bin Abu Thalib r.a. ia bertanya: "Bagaimana kalau aku membai'at anda untuk bekerja berdasarkan Kitab Allah, Sunnah Rasul s.a.w. dan mengikuti jejak dua orang Khalifah yang lalu?"
Menghadapi pertanyaan yang agak mendadak itu, dengan cepat Ali menjawab: "Tidak! Aku menerima (pembai'atan itu) jika didasarkan kepada Kitab Allah, Sunnah Rasul SAW dan ijtihadku sendiri."
Tanpa mengajukan pertanyaan lebih lanjut kepada Ali, Abdurrahman bin Auf mengajukan pertanyaan yang sama kepada Utsman bin Affan r.a. Dengan singkat dan tegas Utsman bin Affan r.a. menjawab: "ya!"
Mendengar jawaban Utsman bin Affan r.a. itu, Abdurrahman masih tiga kali lagi mengajukan pertanyaan yang sama kepada Ali bin Abu Thalib r.a. Ali bin Abu Thakib tetap pada jawaban semula.
Akhirnya Abdurrahman bin Auf mendekati Utsman bin Affan r.a. dan memegang tangannya. Ini sebagai tanda pembai'atan yang diberikannya kepada Utsman bin Affan r.a.
Prakarsa Abdurrahman bin Auf ternyata berhasil menyelesaikan pembai'atan Khalifah baru, untuk menggantikan Khalifah Umar bin Khattab r.a. yang telah wafat.
Versi Kedua
Di samping versi Abu Utsman Al Jahidz ini, ada pula versi lain tentang pemilihan Khalifah Utsman r.a. Di dalam versi lain itu dikatakan, bahwa setelah beberapa hari melakukan penjajagan, akhirnya pada suatu hari Abdurrahman bin Auf, meminta kepada kaum muslimin supaya berkumpul di masjid RasulullahSAW.
Dengan menggunakan sorban yang dahulu pernah dipakai oleh Rasulullah SAW, dan dengan berdiri di atas mimbar pada jenjang tempat Rasulullah dulu selalu berdiri, Abdurrahman bin Auf mengucapkan do'a dengan suara lirih.
Sebenarnya perbuatan Abdurrahman seperti di atas menimbulkan keheranan di kalangan hadirin. Sebab, baik Khalifah Abu Bakar r.a. maupun Khalifah Umar r.a. sendiri, belum pernah berbuat demikian.
Sambil memandang ke tempat Ali bin Abu Thalib r.a. duduk, Abdurrahman berseru dengan gaya penuh wibawa: "Hai Ali, majulah engkau!"
Ali r.a. segera memenuhi permintaan Abdurrahman bin Auf. Sebelum Ali r.a. mengetahui benar apa yang menjadi maksud sahabatnya itu, tiba-tiba Abdurrahman memegang tangannya sambil mengucapkan kata-kata dengan suara keras. Isi kata-katanya sama dengan apa yang telah dikemukakan oleh Abu Utsman Al-Jahidz di dalam bukunya. Begitu pula proses seterusnya.
Hanya dalam versi ini ditambahkan, bahwa Abdurraman bin Auf menyambut kesanggupan Utsman bin Affan r.a. yang sudah berusia lanjut itu dengan berkata : "Ya Allah, saksikanlah! Ya Allah, saksikanlah!"
Ali, para sababat Rasulullah lainnya, dan semua yang hadir dalam masjid itu tanpa ragu-ragu menerima Usman bin Affan r.a. sebagai pemimpin tertinggi mereka yang baru.
Pembai'atan seorang Khalifah melalui pemilihan salah satu di antara 6 orang Ahlu Syuro, merupakan kejadian pertama dalam sejarah kekhalifahan ummat Islam. Khalifah Abu Bakar r.a. dibai'at langsung oleh kaum muslimin. Khalifah Umar bin Khattab r.a. ditetapkan berdasarkan wasiat Khalifah Abu Bakar r.a.
Akan tetapi sejalan dengan pembai'atan Utsman bin Affan r.a. sebagai Khalifah, banyak sekali orang bertanya-tanya tentang jawaban yang diberikan Ali r.a. kepada Abdurrahman bin Auf. Mengapa ia mengatakan "Tidak?"
Tidak ada seorang pun yang dapat memberikan jawaban pasti. Ali r.a. sendiri tidak pernah mengemukakan secara terbuka alasan apa yang melandasi jawabannya. Yang pasti, Ali r.a. tidak pernah menyesal karena ia gagal menjadi Khalifah disebabkan jawabannya itu. Dengan ikhlas ia menerima Utsman bin Affan r.a. sebagai Amirul Mukminin.
Sementara itu ada yang menafsirkan, bahwa perkataan "Tidak!" itu bukan ditujukan kepada pertanyaan Abdurrahman bin Auf yang berkaitan dengan keharusan berpegang kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul Allah, melainkan tertuju kepada keharusan mengikuti jejak Khalifah Abu Bakar r.a. dan Khalifah Umar r.a.
Ali r.a. tidak dapat membenarkan kebijaksanaan Khalifah Abu Bakar r.a . dalam mengambil keputusan tentang tanah Fadak. Yaitu tanah hak-guna Rasulullah s.a.w. yang dicabut oleh Khalifah Abu Bakar r.a. sepeninggal beliau dan dijadikan hak milik kaum muslimin (Baitul Mal). Demikian juga terhadap kebijaksanaan Khalifah Umar r.a. yang mengadakan penggolongan-penggolongan dalam membagi-bagikan kekayaan Baitul Mal kepada kaum muslimin.
(mhy)
Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment