Surat Al-Mumtahanah Ayat 8 dan Kisah Asma' Berhubungan dengan Bunda yang Kafir
Sayyidah Asma ' adalah saudari istri Rasulullah SAW, Sayyidah Aisyah RA , namun berbeda ibu. Beliau saudara kandung Abdullah bin Abu Bakar Ash-Shiddiq . Putri Abu Bakar ini tercatat berkaitan erat dengan perihal turunnya ayat 8 surat Al-Mumtahanah .
Ath-Thabari dalam tafsirnya menyebut bahwa ibu Asma’ (Qutailah) yang ketika itu masih belum masuk Islam berkunjung ke rumah putrinya dengan membawa beberapa hadiah untuknya, tetapi Asma’ tidak mau menerimanya, bahkan juga tidak mau bertemu dengan ibunya. Kemudian dia bertanya kepada adiknya, Aisyah tentang hal tersebut. Aisyah menyampaikannya kepada Nabi dan Allah merespon melalui surat Al-Mumtahanah ayat 8.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya juga menyampaikan hal senada. Menurut riwayat lain, hadiah yang dibawa Qatilah berupa keju, obat penyamak kulit, dan minyak samin.
"Ibuku datang, sedangkan dia masih dalam keadaan musyrik di masa terjadinya perjanjian perdamaian dengan orang-orang Quraisy. Maka aku datang kepada Nabi SAW dan bertanya, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku datang, ingin berhubungan dengan diriku, bolehkah aku berhubungan dengannya?' Nabi SAW bersabda, "Ya, bersilaturahmilah kepada ibumu'."
Nabi SAW memerintahkan kepada Asma' agar menerima hadiah ibunya itu dan mempersilakan ibunya masuk ke dalam rumahnya. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah mengetengahkan pula hadis ini. Ibnu Abu Hatim menambahkan pula bahwa hal itu terjadi di masa gencatan senjata antara orang-orang Quraisy dan Rasulullah SAW.
Selain berkaitan erat dengan perihal turunnya ayat 8 surat Al-Mumtahanah, Asma’ juga salah satu periwayat dari riwayat sabab nuzul dari surat Al-Baqarah ayat 199.
Beliau meriwayatkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan wukufnya orang-orang Quraisy di Muzdalifah, karena menolak wukuf di Arafah, sedangkan suku-suku yang lain tetap wukuf di Arafah kecuali Syaibah bin Rabi’ah. Satu lagi riwayat tafsiriyah dari Asma’, yaitu surat Al-Lahab ayat 1.
Terkait aktifitas penafsiran ini, Asma’ menerima beberapa riwayat dari Nabi dan Aisyah, sementara informasi darinya antara lain diriwayatkan oleh Ibn Abbas, Abu Waqid Al-Laitsy, Sofiyah bint Syaibah, Abdullah bin Zubair (putranya) dan yang lainnya.
Peran Penting Hijrah Nabi
Muhammad Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Membaca Sirah Nabi Muhammad Dalam Sorotan Al-Quran dan Hadis-Hadis Shahih" menyatakan Asma berperan penting menopang kelancaran hijrah Nabi Muhammad SAW.
Dikisahkan bahwa ketika Nabi Muhammad SAW hendak berangkat ke Madinah bersama Abu Bakar setelah tiga malam berada di gua Tsaur, Asma’ putri Abu Bakar datang membawa bekal perjalanan, tetapi saat bekal akan digantung di unta, dia tidak membawa tali pengikat, maka dengan cermat dia memotong tali ikat pinggangnya, membaginya jadi dua. Satu digunakan untuk mengikat bekal dan satu lainnya digunakan sendiri untuk mengikat pinggangnya kembali.
Oleh karena kejadian ini, beliau mendapat gelar dazt an-nithaqain (pemilik/pengguna dua ikat pinggang). Keterangan ini juga dibagi oleh
Menurut Quraish, perencanaan perjalanan hijrah ini sangat rapi dan juga hati-hati, karena harus melawan strategi licik kafir Quraisy. Keberhasilan Asma’ mengantarkan bekal untuk Nabi dan ayahnya tersebut merupakan hasil dari perjuangan yang tidak mudah. Butuh keberanian, tekat dan keimanan yang kuat untuk menunaikan misi ini, terlebih ia adalah seorang perempuan.
Sebelum mengantar bekal, diceritakan pula bahwa ketika tokoh-tokoh kaum musyrik mencari Nabi Muhammad SAW ke rumah Abu Bakar, Asma’ yang dijumpai di situ tidak memberikan informasi apapun kepada mereka.
Abu Jahal yang sangat kesal saat itu, menampar Asma’ sehingga anting yang dipakainya jatuh. Ini tentu menjadi bagian dari cerita perjalanan hijrah Nabi yang juga tidak dapat dilupakan.
Mufassirah dari Kalangan Sahabat
Abdul ‘Al dalam risetnya yang berjudul al-Mufassirun Min As-Sahabat menyebut nama Asma’ bint Abu Bakar dalam deretan mufassir dari kalangan sahabat. Di situ juga disampaikan sedikit biografi dari mufassirah tersebut.
Namanya Asma’, putri dari Abu Bakar, sahabat senior dan salah satu dari Khulafaur Rasyidin. Ibunya bernama Qutailah bint Abdul ‘Uzza.
Asma’ menikah dengan Zubair bin Awwam, kemudian mempunyai anak bernama Abdullah bin Zubair, sahabat yang juga mufassir.
Oleh karena itu, ia juga dipanggil dengan sebutan Ummu Abdillah. Dilihat dari silsilah keluarganya, Asma’ dikelilingi orang-orang yang ikonik dalam sejarah dakwah Islam.
Ia pun bukan perempuan biasa, ini terbukti dari keterlibatannya dalam peristiwa awal upaya pembangunan perdaban Islam, yaitu hijrah Nabi ke Madinah.
Asma’ lahir sepuluh tahun sebelum risalah kenabian Muhammad turun. Menurut sebuah keterangan, ia orang ke 17 dari golongan orang-orang pertama yang masuk Islam.
Sang Dermawan
Tentang kepribadiannya, ummu Abdillah ini dikenal sebagai perempuan yang sangat menjaga kehormatannya, sangat dermawan juga sangat rajin ibadahnya. Bahkan di usia lanjutnya, di saat kesehatannya sudah lemah ditambah penglihatannya yang sudah tidak berfungsi, ia masih memikirkan para budaknya, dan ia memerdekakan mereka semua.
Putranya, Abdullah pernah berujar ‘tidak ada perempuan yang lebih dermawan dan lebih murah hati daripada Aisyah dan ibunya, Asma’; jika Aisyah masih menyisakan sesuatu yang ia miliki di tempatnya masing-masing, maka Asma’ sama sekali tidak menyisakan satu apapun untuk hari esok’.
Jauh sebelum itu, Asma merelakan ayahnya menyumbangkan seluruh hartanya demi tegaknya agama Allah SWT.
Pada saat hijrah, Abu Bakar membawa seluruh hartanya yang berjumlah sekitar 5.000 hingga 6.000 dinar. Lalu kakeknya yang buta, Abu Quhafah datang kepada Asma.
Abu Quhafah berkata: "Demi Allah, sungguh aku mendengar bahwa Abu Bakar telah meninggalkanmu pergi dengan membawa seluruh hartanya?''
Mendengar pertanyaan itu, Asma berkata, '''Sekali-kali tidak, wahai, Kakek! Sesungguhnya, Beliau telah menyisakan buat kami harta yang banyak.''
Kemudian Asma mengambil batu-batu dan meletakkannya di lubang angin, tempat ayahnya pernah meletakkan uang itu. Kemudian dia menutupinya dengan selembar baju.
Setelah itu Asma memegang tangan kakeknya dan berkata: "Letakkan tangan Kakek di atas uang ini."
Sang kakek pun merasa lega. "Kalau memang dia telah meninggalkan harta untukmu, maka dia telah berbuat baik. Ini sudah cukup bagi kalian."
Kemuliaan akhlak Asma itu telah menenangkan rasa gundah di hati sang kakek.
Padahal, yang sebenarnya Abu Bakar tidak meninggalkan sekeping dinar pun bagi keluarganya. Namun, Asma mengikhlaskannya. Ia tak menuntut harta dari sang ayah. Bahkan, ketika Zubair bin Awwam meminangnya, Asma tak menuntut apa-apa.
Ia menerima Zubair yang tak memiliki apapun, kecuali seekor kuda. Dengan penuh keikhlasan, Asma memberi makan kudanya dan mencukupi kebutuhan serta melatihnya. Ia menumbuk biji kurma untuk makanan kuda, memberinya air minum dan membuat adonan roti.
Suatu ketika Zubair bersikap keras terhadapnya, lalu Asma datang kepada ayahnya dan mengadu. Abu Bakar pun berkata, '"Wahai anakku, sabarlah! Sesungguhnya apabila seorang istri bersuami seorang yang saleh, kemudian suaminya meninggal dunia, sedang isterinya tidak menikah lagi, maka keduanya akan berkumpul di surga."
Asma pun sempat datang kepada Nabi SAW, lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, tak ada sesuatu yang berharga di rumah saya kecuali kuda yang dibawa Zubair. Bolehkah saya memberikan sebagian pendapatan saya kepadanya?''
Nabi SAW menjawab :"Berikanlah sesuai kemampuanmu dan janganlah bakhil, sehingga orang lain akan bakhil terhadapmu."
Asma juga merupakan Muslimah pejuang yang tangguh. Ia sempat ikut dalam Perang Yarmuk bersama suaminya, Zubair dan menunjukkan keberaniannya. Umar bin Khattab RA sangat menghormati Asma. Ketika menjadi khalifah, ia memberi tunjangan untuk Asma sebanyak 1.000 dirham.
Asma pun meriwayatkan 58 hadis dari Nabi SAW. Selain itu, ia juga dikenal sebagai wanita penyair dan pemberani yang mempunyai logika dan bayan. Ia tetap melakukan syiar Islam di usianya yang sudah lanjut.
Setelah Zubair menceraikannya, Asma’ di masa tuanya tinggal bersama putranya, Abdullah bin Zubair. Beliau diberi anugerah umur yang sangat panjang, dikatakan bahwa umurnya mencapai 100 tahun, beliau merupakan sahabat muhajirah terakhir yang meninggal.
Beliau meninggal pada tahun 73 Hijriyah di Makkah, selang beberapa hari setelah putranya, Abdullah bin Zubair terbunuh.
(mhy)
Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment