Yang Dilakukan Kaum Sufi Saat Ziarah di Makam Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani
Makam Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani di Baghdad, Irak, banyak dikunjungi kaum sufi dan para guru rohani. Sudah barang tentu praktik ziarah kaum sufi ini berbeda sama sekali dengan kaum muslimin pada umumnya. Kaum sufi tidak mengajukan permohonan yang terkait kesenangan dunia.
"Para sufi yang datang menghormati sang syekh pertama-tama atas dorongan adab, yaitu kesopanan spiritual," ujar Filsuf dan islamologist Prancis, Eric Geoffroy dalam buku "Le Culte Des Saints Dans Le Monde Musulman" (Bahasa Prancis) dan diterjemahkan oleh Jean Couteau dkk menjadi "Ziarah dan Wali di Dunia Islam" (2007).
Buku itu berisi laporan Eric Geoffroy pada saat melakukan penelitian atas makam Abdul Qadir Al-Jilani. Kala itu, dirinya masih sebagai pengajar bahasa dan kebudayaan Arab di Sekolah Tentara Inteligen dan Studi Linguistik di Strasbourg, Prancis.
Menurut Eric Geoffroy, pada umumnya, permohonan yang diajukan oleh kaum sufi itu tidak menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan dunia yang fana ini. Urusan dunia yang dia maksud adalah terkait masalah kemandulan, penyakit, pernikahan atau perceraian, ujian dan sebagainya. "Kaum sufi tidak memohon hal seperti itu," ujarnya.
"Permohonan mereka berkaitan dengan “pencerahan” (al farth), atau kalau tidak bisa, tuntunan dalam jalan tasawuf, atau bahkan penampakan wali dalam mimpi malam," jelasnya.
Menurut Eric Geoffroy, para sufi memandang al-Jilani sebagai satu “kutub” universal, dan jangan dianggap bahwa dalam hal ini ada perbedaan sikap di antara tarekat-tarekat.
Kaum Bektasyi mengatakan, “Wali adalah milik semua orang”. Maka banyak sufi yang bukan Qadiri juga berkunjung dari jauh untuk berbagi berkah sang wali serta berzikir di makam.
Menurut kabar yang beredar di kalangan sufi, orang-orang tarekat tertentu dapat melihat al Jilani mengambil wujud fisik di samping makamnya, dengan badannya tertutupi kain hijau.
Menurut doktrin tasawuf, para wali, kendati telah wafat, mempertahankan kekuatan spiritualnya (tashrif atau tasharruf), bahkan ada penulis yang mengatakan bahwa kekuatan-kekuatan itu malah bertambah.
Warna hijau adalah warna Islam, tetapi anggota tarekat Qadiriyah dahulu membedakan diri dari pengikut tarekat lainnya dengan memakai pakaian warna ini.
Kompleks makam Syekh Abd al-Qadir al-Jilani (wafat 561 H/1166 M) terletak di pusat Kota Baghdad, tidak jauh dari jalan besar pusat perdagangan lama al-Rasyid.
Kampung tempat al-Jilani dimakamkan dinamakan Bab al-Chaykh (pintu gerbang sang Syekh) sebagai penghormatan kepada wali ini, dan penduduk kampung itu, kaum Chayhiliyye, di mata masyarakat tampil sebagai penduduk asli Baghdad.
Orang Kurdi dari Irak Utara, yang menyebut wali ini sebagai Ghautsi Jailani (atau “penyelamat besar Jilani”) suka menggarisbawahi bahwa kampung itu juga dihuni oleh wakil etnis Kurdi.
Kompleks makam terletak di lahan luas berbentuk segi empat yang dikelilingi oleh tembok berhiaskan lubang-lubang yang tingginya sekitar lima meter. Ada beberapa pintu masuk, salah satu di antaranya adalah gerbang utama.
Pembawa Paham Hambali
Abdul Qadir adalah ulama fiqih yang sangat dihormati oleh Sunni dan dianggap wali dalam dunia tarekat dan sufisme. Ia adalah orang Kurdi atau orang Persia.
Syaikh Abdul Qadir dianggap wali dan diadakan di penghormatan besar oleh kaum Muslim dari anak benua India. Di antara pengikut di Pakistan dan India, ia juga dikenal sebagai Ghaus-e-Azam. Beliau dikenali sebagai seorang ulama Sunni bermazhab Hambali, seorang orator ulung dan bergelar sayyid dan faqīh, dikenal luas sebagai pendiri dari Thoriqot Qadiriyyah.
Nama besar Syaikh Abdul Qadir al-Jilani mulai melejit di Baghdad pada tahun 521 H/1127 M, saat usianya 50 tahun. Beliau dikenal sebagai ahli hukum bukan sebagai ahli tasawuf atau pun seorang sufi .
John Spencer Trimingham (17 November 1904 – 6 March 1987) dalam bukunya berjudul "The Sufi Orders in Islam" menyebut ajaran al-Jilani membawa pengaruh besar terhadap masyarakat luas. Banyak kalangan Kristen dan Yahudi yang masuk Islam karena dakwah dan ajarannya. Disebutkan bahwa para simpatisan yang hadir dalam majelisnya tiap ia mengajar mencapai 70.000 orang.
Jika mengajar, al-Jilani duduk di kursi yang tinggi. Beliau mesti berbicara lantang dan keras agar semua muridnya yang banyak itu bisa mendengar suaranya.
Abul Husein Ali Husni Nadwi dalam Kitab Rijal al-Fikri wa’l-Da’wah fi’l-Islam mengutip Syaikh Umar al-Kaisani mengatakan, bahwa majelis pengajian al-Jilani dipenuhi oleh orang-orang Islam dari mualaf kalangan Kristen dan Yahudi, bekas para perampok, pembunuh dan para penjahat.
Dia menyebutkan bahwa al-Jilani telah mengislamkan orang-orang Yahudi dan Nasrani lebih dari 5000 orang dan menundukkan (menyadarkan) lebih 100.000 orang dari kalangan penjahat.
Hanya saja, Imam Adz-Dzahabi menyebutkan dalam kitabnya Siyar A'lamin Nubala, dan menukilkan perkataan Syaikh sebagai berikut, ”Lebih dari lima ratus (bukan 5.000) orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat.”
Al-Nadwi juga menulis aktivitas keseharian al-Jilani hampir tidak mengenal istirahat. Di siang dan malam hari ia selalu mengadakan pengajian. Materi yang disampaikan meliputi, tafsir, hadis, ushu fiqh dan ilmu lain yang berkaitan dengannya.
Seusai salat zuhur ia memberikan fatwa yang berkaitan dengan masalah-masalah hukum. Di sore hari sebelum salat maghrib, beliau membagi-bagikan roti kepada fakir miskin. Sesudah sholat maghrib selalu makan malam, karena ia berpuasa sepanjang tahun.
Sebelum berbuka beliau menjamu makan malam tetangganya. Sesudah sholat isya’ berliau beristirahat sejenak di kamarnya sebagaimana layaknya tradisi para wali.
Ia mencurahkan waktu siang harinya untuk mengabdi pada umat manusia, sementara di malam harinya untuk mengabdi pada penciptanya.
Imam al- Isybili berkomentar, bahwa al-Jilani figur yang berwibawa, cepat menangis karena ingat Allah dalam berzikir, lembut hati, dermawan, dalam ilmunya, serta luhur budinya.
Demikian pula al-Baghdadi menyanjungnya dengan menyebutnya, bahwa ia jauh dari perbuatan keji (fakhsya’ wa munkar), dekat dengan kebenaran serta dekat kapada Allah SWT.
Al-Jilani pernah mengatakan, bahwa amal yang paling utama adalah memberi makan kepada orang miskin, dan paling mulia adalah berbudi luhur.
Selanjutnya ia mengatakan, seandainya dunia ini menjadi miliknya, maka akan diberikan kepada yang lapar. Dan disebutkan dalam “Qalaid al-Jawahir”, bahwa setiap malam ia menyuruh membentangkan tikar untuk makan bersama-sama tamu dan bergaul bersama kaum lemah.
Mawar dari Baghdad
Idries Shah dalam bukunya berjudul The Way of the Sufi dan diterjemahkan Joko S. Kahhar dan Ita Masyitha menjadi "Jalan Sufi: Reportase Dunia Ma'rifat" menyebutkan Hadrat Syaikh Abdul Qadir termasuk dalam suatu peristiwa yang memberinya julukan Mawar dari Baghdad.
Hal itu dikaitkan bahwa Baghdad telah demikian penuh dengan para guru kebatinan (mistik), ketika Abdul Qadir tiba di kota, maka diputuskan untuk mengiriminya sebuah pesan.
Kaum mistik oleh karena itu mengirimkan kepadanya, di pinggiran kota, sebuah bejana yang diisi penuh dengan air. Maksudnya sudah jelas: "Cawan Baghdad sudah penuh".
Semua kaum darwis menggunakan bunga mawar (ward) sebagai suatu lencana dan simbol dari persamaan bunyi (rima) dari kata wird (latihan konsentrasi-mengingat Allah).
Meski musim kemarau dan di luar musim, Abdul Qadir telah menghasilkan bunga mawar yang berkembang penuh, yang dia letakkan di atas air dalam bejana tersebut, menunjukkan kekuatannya yang luar biasa dan juga bahwa masih ada tempat bagi dirinya.
Ketika tanda-tanda ini telah dibawa kepada mereka, kumpulan kaum kebatinan tersebut berteriak, "Abdul Qadir adalah mawar kami," dan mereka pun cepat-cepat mengantarkannya ke kota.
mhy)
Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment