Isi Piagam Madinah Bagian Pertama, Kekuasaan Terpusat dan Otoritatif
Dr Muhammad bin Fariz al-Jamil, dalam bukunya berjudul "Nabi Muhammad dan Yahudi Madinah" menyebut Piagam Madinah terdiri dari dua bagian utama. Bagian pertama yaitu dokumen yang ditulis Rasulullah di antara orang-orang Muhajirin dari Quraisy dan penduduk Yatsrib serta orang-orang yang mengikuti mereka, menggabungkan diri dengan mereka, tinggal bersama mereka, dan berjuang bersama mereka.
Dokumen ini terdiri dari 23 pasal yang berkaitan langsung dengan kaum muslimin dari Quraisy dan penduduk Yatsrib. "Isinya berbagai hak dan kewajiban yang harus sepenuhnya dihormati dan dilaksanakan oleh pihak-pihak terkait," jelasnya dalam buku yang berjudul asli "An-Nabi wa Yahid al-Madinah, Dirasah Tabliliyah li Alagah ar-Rasul bi Yahud al-Madinah wa Mawaqif al-Mustasyriqin Minha" dan diterjemahkan Indi Aunullah
Dokumen ini mengakui berbagai kebiasaan dan adat lama kaum muslimin dari suku Quraisy dan penduduk Yatsrib yang tidak bertentangan dengan jiwa dan prinsip-prinsip Islam: juga mengakui prinsip hukuman, diat (tebusan darah), serta perjanjian damai dan perang antarsesama manusia.
Dokumen ini menegaskan jaminan perlindungan, dan keharusan semua pihak menghormati jaminan tersebut.
Bagian pertama Piagam Madinah itu pun menyatakan sikap tegas terhadap Quraisy Mekkah.
Pada pasal 20 disebutkan, “Orang musyrik (Yatsrib) dilarang melindungi harta dan jiwa orang (musyrik) Quraisy, dan tidak boleh ada campur tangan melawan orang mukmin.”
Dari teks ini, jelaslah bahwa kaum musyrikin penduduk Madinah termasuk salah satu pihak yang terlibat di dalamnya.
Sementara itu, Pasal 16 berupa ajakan terhadap orang-orang Yahudi agar mengikuti kesepakatan umum ini, dan—sebagai kompensasinya—mereka berhak mendapatkan pembelaan dan santunan selama kaum muslimin tidak teraniaya dan ditentang.
Lalu pasal 23 yang juga sangat penting, isinya menegaskan bahwa perselisihan apa pun yang terjadi di antara pihak-pihak terkait harus dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya (Muhammad).
Muhammad bin Fariz al-Jamil mengatakan sampai di sini kita mengamati bahwa dalam sejarah bangsa Arab, barangkali untuk pertama kalinya, mereka memiliki kekuasaan yang terpusat dan otoritatif. Dalam arti, tidak boleh ditentang atau dilangkahi dalam menyikapi perselisihan apa pun antara pihak-pihak yang terlibat dalam Piagam Madinah.
Urutan logis berbagai peristiwa ini pertama-tama mewujud dalam bentuk perubahan positif sikap suku Aus dan Khazraj terhadap konflik Nabi Muhammad melawan orang-orang Quraisy, yang pada akhirnya memunculkan kesediaan diri untuk menjadi salah satu pihak dalam konflik bersenjata terbuka itu (yakni Perang Badar), yang berujung dengan kemenangan telak kaum muslimin atas musuhnya, kaum musyrikin.
Kemenangan tersebut lantas diikuti penulisan piagam yang hendak memunculkan konsep-konsep baru, seperti perang dan jihad, dan memuat pengakuan terhadap kekuasaan tertinggi di tangan Rasulullah sebagai otoritas dalam menetapkan kebijakan tertinggi bagi penduduk Madinah, disertai ajakan kepada orang-orang Yahudi untuk bergabung dalam klausul perdamaian.
"Menurut hemat saya, berbagai perkembangan positif yang susul-menyusul itu jelas menguatkan posisi politik Rasulullah di Madinah. Otoritas keagamaan dan politik beliau yang diakui masyarakat kota ini punya pengaruh besar dalam memaksa orang-orang Yahudi untuk bergabung dalam kesepakatan umum tersebut," ujar Muhammad bin Fariz al-Jamil.
Terlibat dalam Piagam Madinah berarti batalnya berbagai perjanjian atau kesepakatan individual yang telah dijalin antara Rasulullah dengan kabilah-kabilah Yahudi terkenal di Yatsrib—Bani Qainuqa, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah—di fase pra-Badar.
Penyatuan Kabilan Yahudi
Dalam konteks demikian, barangkali ada yang merasa heran dan bertanya: Bagaimana mungkin menyatukan kabilah-kabilah Yahudi dan berbagai kelompok kecilnya dalam kesepakatan tunggal dengan kaum muslimin, padahal disebutkan bahwa di masa sebelum Perang Badar saja ia sulit terwujud?
Menurut Muhammad bin Fariz al-Jamil, rasionalisasi peristiwa ini tentu tidak mudah, meski sebenarnya ia hanyalah akibat wajar dari hasil Perang Badar. Kemenangan kaum muslimin di Badar menciptakan sebuah realitas baru di Madinah, dan semua pihak harus menerimanya, berupa kemunculan kutub baru di pentas sejarah di Jazirah Arab, tepatnya di Madinah, yaitu negara Islam di bawah kepemimpinan Muhammad Rasulullah.
Barangkali hal inilah, ditambah terguncangnya posisi politik Quraisy Mekkah, yang menyebabkan lemahnya perlawanan Yahudi terhadap sang Nabi di Madinah. Berhadapan dengan semua itu, orang-orang Yahudi tak punya pilihan selain bergabung dalam kesepakatan damai dan mengakui kekuasaan politik kaum muslimin.
(mhy)Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment