Jejak Kisah Muhammadiyah Dituduh Berhaluan Wahabi
Dalam Kongres Islam di Surabaya tahun 1924, meneguhkan ajaran Muhammadiyah bukan wahabi, meski demikian, selama perjalan sejarah, organisasi terus diserang dengan tuduhan serupa
PADA tanggal 13 dan 14 November 1923, Muhammadiyah menggelar pertemuan di Blitar. Di antara keputusan yang dicanangkan kala itu adalah mendirikan cabang Aisyiyah di Blitar.
Dalam momen itu dikisahkan tentang stigma negatif orang-orang terhadap Muhammadiyah. Sebagai contoh: Muhammadiyah dituduh menghalalkan percampuran antara laki-laki dan perempuan.
Padahal, yang dicampur itu adalah masih anak-anak yang belum usia baligh dan dalam lingkup sekolah. Rupanya, setelah berdirinya Aisyiyah, caciaan dan cercaan berganti pula.
Muhammadiyah pernah dituduh keluar dari mazhab empat. Maksudnya, mazhab yang dipakai Muhammadiyah adalah Wahabiyah dan lain sebagainya.
Dalam satu perkumpulan di Blitar itu, saat sesi tanya-jawab, ada seorang sayid dari Pekalongan (namanya tidak disebut) mengacungkan tangan dan minta kesempatan untuk berbicara. Kisah ini, ditulis oleh Surat Kabar Sri Djojo Bojo, N0. 41: 15 Desember 1923.
“Saia soeda mengerti semoea ketrangan tadi. Ja betoel itoe tidak ada jang meleset dari wetnja igama islam. Tetapi saia anti bisa membikin salahja MD.”
H. A. Aziz –tokoh Muhammadiyah– mempersilakan sayid asal Pekalongan itu untuk menunjukkan kesalahan Muhammadiyah. Ia pun mulai berkata, “Kalau jang saia dapat itoe M.D. sebetoelnja perkoempoelan jang memakai mazhab lain mazhabnja ahloessoennat wal djamaah tetapi mazhabnja S. Abdulwahanen Nedjdij, jaitoe Wahabijah namanja, meskipoen saia beloem tahoe benar benar tentang Wahabi itoe, jang mengetahoei hanja bangsa oelama oelama sadja. Tetapi saja jakin jang MD. itu Wahabi. Dan dapat saudara saudara di Blitar sini tida perloe memakai agama Moehammadijah ini. Karena agama jang kita djalankan itoe soeda menoeroet nenek mojang kita jaitoe mazhab soennah wal djama ah; dan jang kita pakai ja kitab kitabnja oelama oelama ahloessoennah wal djama ah tetapi kalau MD tida jaitoe kitab karangannja S. Abdoelwahab; Ibnu Taimyah; Sajid Ali Rida dan ada lagi saja loepa. Alhasil, saudara saudara djangan memakai M.D.” pungkasnya. (Surat Kabar Sri Djojo Bojo, N0. 41: 15 Desember 1923).
Syubhat yang diketengahkan oleh sayid Pekalongan itu kemudian ditanggapi oleh Tuan H. A. Aziz. Katanya, ada inkonsistensi pernyataan dari sayid Pekalongan itu.
Awalnya ia sudah mengakui bahwa apa yang disampaikain oleh wakil Muhammadiyah sudah benar dan tidak melenceng dari agama Islam. Namun sesudahnya dia menyampaikan banyak tuduhan yang bertentangan.
Tuan H. Aziz juga menyayangkan kekacauan statemen sayid Pekalongan yang dalam pernyataannya sendiri mengaku tidak tahu banyak tentang Wahabi tapi menuduh Muhammadiyah sebagai Wahabi. Mengenai kitab yang dipakai Muhammadiyah berhaluan Wahabi, maka seketika itu juga H. Aziz menunjukkan kitab-kitab terbitan Taman Poestaka.
Tuan H. Aziz kemudian membaca di antara kitab-kitab fiqih bab wudu dan mandi. Kemudian ditanyakan kepada hadirin;
“Apakah ini keterangan woedoe, mandi dan soennah soennahnja itoe boekan mazhabnja Imam Safingi?” Ternyata sesuai. Sehingga, Muhammadiyah tidak boleh dikatakan keluar dari mazhab 4. (Surat Kabar Sri Djojo Bojo, N0. 41: 15 Desember 1923).
Hal lain yang ditanggapi dari pernyataan sayid Pekalongan adalah yang mengatakan bahwa Muhammadiyah sebagai agama. Padahalan, Muhammadiyah bukan agama tapi organisasi yang ingin membawa nilai-nilai Islam yang hampir dilupakan oleh kebanyakan orang.
Pertemuan ini kemudian ricuh. Seorang kiai asal Kediri, Jawa Timur meminta agar pertemuan ini dibubarkan saja. Ia bahkan menyebut orang-orang yang berbicara tidak punya akal dan bodoh.
Kongres Islam ketiga
Sebagai informasi tambahan yang meneguhkan bahwa Muhammadiyah berhaluan Wahabi atau tidak, Dr. Deliar Noer dalam buku Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 (1982: 248). Di buku ini, Deliar menulis data menarik terkait hal ini.
Pada tanggal 24-26 tahun 1924, diadakan kongres Islam ketiga di Surabaya. Di antara tema yang dibahas adalah: ijtihad, kedudukan Tafsir Al-Manar dan ajaran Muhammadiyah serta Al-Irsyad.
Dalam kongres ini, diputuskan bahwa Muhammadiyah dan Al-Irsyad bukan Wahabi. Di samping itu, keduanya tidak dianggap menyimpang dari mazhab yang muktabar.
Tak hanya itu, diputuskan juga agar tidak mudah mencap golongan yang bertawasul dengan sematan kafir. Secara khusus, masalah tawasul ini akan dibicarakan pada kongres berikutnya.
Sebagai tambahan, pada momen itu, kedua organisasi (Muhammadiyah dan Al-Irsyad) tidak menolak kemungkinan adanya wali, dan yang tak kalah penting, tetap menghormati kitab yang ditulis oleh ulama yang otoritatif yang dibenarkan oleh ulama fuqaha dan muhadditsun.
Inilah sepenggal kisah tuduhan-tuduhan yang disematkan kepada organisasi Muhammadiyah. Sejak berdirinya, ormas Islam ini tidak sepi dari tuduhan.
Ormas yang kehadiranya lebih tua dari NU itu juga pernah dituduh kelur dari Sunnah, anti-mazhab, bahkan disebut sebagai “AGAMA MUHAMMADIYAH”. Namun, pari dai Muhammadiyah kala itu bisa menjawab dengan bukti literasi meyakinkan, dan menunjukkan dengan amal usaha yang didirikan misalnya dalam pendidikan, kepedulian sosial dan lain sebagainya.*/Mahmud Budi Setiawan
No comments:
Post a Comment