Kisah Perpecahan Ahmadiyah: Berpusat Pada Masalah Akidah

Kisah Perpecahan Ahmadiyah:...
Ahmadiyah mengalami perpecahan sepeninggal pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad. Foto/Ilustrasi: Ist
Keutuhan dan kesatuan Ahmadiyah , rupanya hanya terbatas pada masa hidup pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad, sekalipun aliran ini harus bekerja sesuai dengan wasiatnya yang ada pada Sadr Anjuman Ahmadiyah.

Pimpinan Ahmadiyah yang diistilahkan dengan " khalifah " sesudah Mirza wafat, adalah di tangan Maulawi Nuruddin sampai wafatnya tahun 1914.

Selama itu, Ahmadiyah sebagai gerakan Mahdi telah memperoleh kemajuan pesat dan mulai dikenal di kalangan umat Islam secara luas. Akan tetapi, bibit perpecahan di kalangan pengikutnya pada saat itu sudah mulai tampak, yaitu munculnya dua pemikiran yang bertolak belakang.

Pemikiran pertama berkisar tentang masalah khalifah (pengganti pimpinan), sedangkan pemikiran kedua berkisar pada masalah pengkafiran terhadap sesama Muslim.

Pemikiran pertama, erat hubungannya dengan masalah manajemen pengorganisasian Ahmadiyah sebagai gerakan Mahdi yang memiliki jangkauan luas, baik di kalangan Muslim sendiri maupun non-Muslim. Tampaknya pemikiran ini menjadi salah satu faktor penyebab perpecahan dari dalam.

Pada pemikiran kedua, tidak hanya berkaitan dengan doktrin Mahdiisme Ahmadiyah saja, akan tetapi juga berhubungan dengan prinsip-prinsip Islam. Pemikiran kedua ini rupanya merupakan sebab utama perpecahan di kalangan Ahmadiyah, terutama sesudah Maulawi Nuruddin wafat.

Maulana Muhammad 'Ali dalam buku berjudul "Mirza Ghulam Ahmad of Qadian, His Life and Mission", (Lahore: Ahmadiyah Anjuman Isha'at Islam, 1959) menjelaskan, bahwa golongan pertama mempertahankan keyakinannya yaitu: Barang siapa yang tidak percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad, apakah ia telah mendengar namanya atau tidak, apakah ia (Mirza) sebagai Muslim, atau Mujaddid, atau sebagai al-Masih dan al-Mahdi yang dijanjikan, maka orang itu, dihukumi kafir dan keluar dari Islam, kecuali mereka secara formal telah membai'atnya.

Golongan kedua berpendapat, bahwa setiap orang yang telah mengucapkan dua kalimah syahadah, mereka adalah seorang Muslim, sekalipun mereka mengikuti aliran lain dalam Islam, dan tak seorang pun dari mereka keluar dari Islam, kecuali jika ia rnengingkari kerasulan Nabi Muhammad .


Adapun masalah kenabian Mirza Ghulam Ahmad, masih tetap merupakan masalah yang dipertentangkan diantara kedua golongan tersebut. Sikap para pengikut Mirza ini tampak lebih agresif daripada sikap pendiri aliran tersebut, sebab dia tidak suka mengkafirkan Muslim lain, kecuali kalau dirinya dikafirkan Muslim lain, kecuali kalau dirinya dikafirkan secara terang-terangan, sebagaimana dinyatakan:

"... Maka mereka telah mengkafirkan aku dan mereka telah pula memfatwakan yang demikian itu untuk diriku maka, dengan pengkafiran mereka terhadap diriku, jadilah mereka itu tergolong orang-orang kafir, berdasarkan pada fatwa Nabi Muhammad SAW. Oleh sebab itu, aku tiada mengkafirkan mereka, bahkan mereka sendirilah yang memasukkan diri mereka ke dalam fatwa Rasulullah".25

Terpecah Menjadi 2 Sekte

Sejak munculnya dua pendapat yang kontoversial dari intern Ahmadiyah ini, maka secara riilnya di tahun 1914, terpecahlah aliran ini menjadi dua sekte.

Pertama adalah sekte Ahmadiya Qadiani, yang dalam ajarannya mencela Muslim lain sebagai kafir, dan sekte ini berkeyakinan bahwa kenabian tetap terbuka sesudah Rasulullah SAW.

Sekte ini dipimpin oleh Basyiruddin Mahmud Ahmad. Kelompok ini berpandangan bahwa Mirza Ghulam Ahmad tidak hanya sebagai Mujaddid (pembaharu) saja, tetapi juga sebagai nabi dan rasul yang harus ditaati dan dipatuhi seluruh ajarannya.

Dengan demikian, Mahdiisme Ahmadiyah lebih realistis daripada Mahdiisme Syi'ah Isna 'Asyariyyah, sekalipun keduanya masih tetap bertahan sampai hari ini.

Terpilihnya Basyiruddin Mahmud sebagai Khalifah al-Mahdi yang kedua, tampaknya tidak mendapat dukungan penuh dari seluruh Jemaat Ahmadiyah, di saat yang sama, maka muncullah Ahmadiyah tandingan yang disponsori oleh Khawaja Kamaluddin dan Maulawi Muhammad 'Ali yang tidak menyetujui pendirian prinsip golongan pertama yang kemudian dikenal sebagai golongan Qadiani.

Kedua, dikenal sebagai Ahmadiyah Lahore, yang disebut pula dengan Ahmadiyah Anjuman Isha'at Islam. Sedangkan di Indonesia, golongan ini dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI); Untuk pertama kalinya golongan
ini dipimpin oleh Maulawi Muhammad 'Ali.

Syafi R. Batuah dalam bukunya berjudul "Ahmadiyah Apa dan Mengapa" (Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1985) menyebut lahirnya sekte Ahmadiyah Lahore ini adalah bermula dari kegagalan Maulawi Muhammad 'Ali dalam mencapai ambisinya untuk menjadi khalifah kedua. Oleh sebab itu, ia dan pengikutnya memisahkan diri dan membentuk sekte baru yang berpusat di Lahore.

Akan tetapi, yang menjadi sebab perpecahan itu tampaknya lebih berpusat pada masalah akidah. Sebagai pernyataan R. Batuah sendiri bahwa jika golongan Ahmadiyah Lahore memandang Mirza sebagai al-Masih dan al-Mahdi serta sebagai Mujaddid, maka sekte Qadiani memandangnya, sebagai nabi dan rasul yang harus didengar dan ditaati ajaran-ajarannya.

Alasan yang mereka majukan adalah bahwa orang tidak mempercayai al-Masih dan al-Mahdi (Mirza), berarti ia tidak mengikuti seluruh ajaran al-Quran serta tidak mengindahkan pesan Nabi tentang kehadiran al-Mahdi di akhir zaman.

Setelah Ahmadiyah menghadapi perpecahan yang tidak mungkin lagi dihindarkan, akhirnya gerakan Mahdiisme ini terpecah menjadi dua aliran dan tampaknya kedua sekte tersebut sulit dipersatukan kembali.

Akan tetapi kedua sekte ini, sangat aktif dan intensif dalam usaha mewujudkan cita-cita kemahdiannya, terutama di kalangan masyarakat Kristen Barat.

Masuk ke Indonesia

Pengikut masing-masing sekte mendirikan mesjid-mesjid sebagai pusat kegiatan, menterjemahkan al-Quran berikut dengan komentar-komentarnya kedalam bahasa asing.

Selain itu, mereka juga menerbitkan buku-buku tentang Islam. Golongan Lahore di bawah pimpinan Maulana Muhammad 'Ali, menerbitkan The Religion of Islam, sedangkan golongan Qadiani di bawah pimpinan Basyiruddin Mahmud, menulis sebuah uraian yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan judul Ahmadiyahor The True Islam, terbit tahun 1924, dan dalam penerbitannya yang terakhir disebut dengan; 8500 PreciousGems from World's Best Literature yang berisi catatan-catatan dari literatur lama dan modern baik dari Islam maupun non-Islam.

Demikian pula dimuat masalah-masalah agama dan moral. Dalam tahun 1947 komunitas Ahmadiyah yang berpusat di Qadian, terpaksa harus memindahkan pusat kegiatannya ke Rabwa Pakistan, sewaktu timbul masalah perbatasan antara Pakistan dengan India.

Di samping itu, Gerakan Mahdi Ahmadiyah tampaknya juga aktif mendirikan berbagai lembaga pendidikan serta pusat-pusat kesehatan di berbagai tempat di kawasan Asia dan Afrika.

Ahmadiyah masuk ke Indonesia pada tahun 1924, dibawa oleh dua orang mubalignya yaitu Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad, mereka memulai kegiatannya di Yogyakarta.

Setahun kemudian yaitu tahun 1925, sekte Qadian menyusul, dibawa oleh seorang mubalignya bernama Rahmad 'Ali H.A.O.T. dan mulai mendakwahkan ide kemahdian Mirza, di Tapaktuan, dua tahun kemudian ia pindah ke Padang.

Kedua sekte tersebut berlomba untuk menanamkan pengaruhnya, dan rupanya mendapat tanggapan positif dari masyarakat dan mendapat kesuksesan dalam misinya.
(mhy)
Miftah H. Yusufpati

No comments: