Rasyid Ridha, Sang Penyala Api Modernisme Islam

Ketokohan Rasyid Ridha muncul dalam konteks masa transisi abad modern. Red: Hasanul Rizqa (ilustrasi) Syekh Rasyid Ridha
Foto: tangkapan layar wikipedia.org
(ilustrasi) Syekh Rasyid Ridha
Rasyid Ridha lahir di al-Qalamoun, Syam Kesultanan Utsmaniyyah (kini Lebanon), pada 23 September 1865. Dia dikenal luas sebagai penerus Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, yakni sebagai penyebar gagasan modernisme Islam. Kiprahnya mengemuka terutama pada masa transisi dari abad ke-19 menuju 20.

Beberapa sumber menyebutkan, pria kelahiran tahun 1865 ini masih keturunan Ali bin Abi Thalib dari garis Imam Husein. Oleh karena itu, gelar ‘sayyid’ sering disematkan pada namanya.

Selain bidang intelektual, Rasyid Ridha juga aktif dalam dunia politik. Pada 1920, ia terpilih menjadi presiden Kongres Suriah. Jabatan itu semakin mengangkat namanya sebagai sosok pemikir dan pemimpin di Dunia Islam.

Satu tahun kemudian, Rasyid Ridha menjadi salah seorang delegasi Palestina-Suriah di Jenewa, Swiss, untuk kongres yang membahas kepentingan negeri-negeri Muslim di region Syam (Levant). Kongres itu berlangsung tiga tahun menjelang runtuhnya Kesultanan Turki Usmaniyah pada 1924.

Rasyid Ridha begitu vokal menyuarakan kepentingan negeri-negeri Muslim yang terbelakang. Meski mengecam, dia tidak serta merta menyalahkan total ekspansi Barat sebagai penyebab kemunduran kaum Muslimin.

Sebab, dia mengakui masih bercokolnya pengabaian akan prinsip-prinsip Islam yang murni dalam diri kolektif sebagian umat Islam.

Rasyid Ridha termasuk kalangan yang berusaha agar umat bebas dari kepercayaan akan takhayul-takhayul. Ia ingin agar Muslimin kembali kepada inti yang murni daripada agama ini.

Ekspansi kolonialisme di Asia dan Afrika sejak abad ke-18 mendesak wilayah-wilayah Muslim kepada situasi yang buruk. Tidak ada jalan keluar bagi umat Islam selain berjuang merebut kembali martabat dan kedaulatan. Oleh karena itu, mulai timbul upaya-upaya mengukuhkan kesadaran kolektif umat Islam sedunia.

Kalangan intelektual Muslim berupaya merumuskan ulang bagaimana perjuangan yang ideal itu. Mereka menawarkan pembaruan (tajdid) dalam pemikiran Islam agar kehidupan umat selaras dengan perkembangan zaman modern.

Pada 1926, Rasyid Ridha menghadiri Konferensi Islam di Makkah. Demikian pula konferensi yang sama pada 1931 di Yerusalem--kota suci ketiga dalam perspektif Islam.

Konferensi tersebut merupakan ajang internasional yang dihelat kalangan terpelajar dan pemimpin dari segenap penjuru dunia Islam. Empat tahun kemudian, dia menghembuskan nafas terakhir di tanah airnya dalam usia 70 tahun.Rol

No comments: