Sejarah Kordoba, Permata Islam di Spanyol
Sang khalifah rupanya juga seorang yang haus akan ilmu pengetahuan. Dalam setiap lawatannya ke negeri-negeri luar, ia kerap memborong buku-buku untuk memperkaya perpustakaan pribadi. Sebagaimana Baghdad di timur, Kordoba juga menjadi pusat aktivitas intelektual, utamanya penerjemahan teks-teks dari pelbagai peradaban dunia ke dalam bahasa Arab.
Tidak kurang dari 70 perpustakaan publik tersebar merata di seantero Kordoba dalam abad ke-10 Masehi. Tidak mengherankan bila kota ini mendapatkan julukan “Permata Eropa.” Sebab, hampir seluruh Eropa, utamanya yang didiami bangsa Frank (Prancis) atau Roma sekalipun, di saat yang sama sedang diliputi Abad Kegelapan.
Kota ini dilengkapi dengan pelbagai fasilitas yang amat jarang dijumpai kota-kota lain di penjuru Eropa. Misalnya, lampu-lampu penerangan, jalan umum yang bersih, kolam-kolam air mancur, bangunan-bangunan indah, taman, hingga toko-toko buku. Segenap fasilitas umum itu sudah dibangun sejak kekuasaan Khalifah Abdurrahman I, sang amir pertama Kordoba (756-788).
Oleh karena itu, Kordoba menjadi rujukan bagi para penguasa Eropa untuk mendapatkan kemewahan hidup. Umpamanya, Raja Leon atau penguasa Barcelona memerlukan seorang dokter, perancang bangunan atau busana, maka mereka akan mencarinya di Kordoba. Meskipun dikuasai Islam, penduduk Kordoba merupakan masyarakat yang heterogen.
Dalam era Khalifah al-Hakam II, Universitas Kordoba mengalami perkembangan yang signifikan. Bahkan, lembaga tersebut menjadi perguruan tinggi yang paling disegani di seantero Eropa masa itu—sebanding dengan Universitas al-Azhar di Kairo atau Universitas Nizamiyah di Baghdad.
Banyak pelajar dari berbagai wilayah Eropa, Afrika Utara, serta Asia, datang untuk menimba ilmu di sini. Apalagi, kampus itu terbuka kepada baik Muslim maupun non-Muslim. Salah satu tokoh Kristen yang ikut belajar di sini adalah Gerbert d’Aurillac (945-1003), yang kelak menjadi Paus Sylvester II.
Di sekitar Kordoba juga terdapat Madinah az-Zahra, yakni sebuah kompleks kota-benteng yang menakjubkan. Pembangunannya bermula pada 936 Masehi atau dalam masa Khalifah Abdur Rahman III. Perlu waktu 25 tahun lamanya hingga Madinah az-Zahra selesai dengan sempurna.
Lokasinya berada sekitar lima kilometer dari pusat kota Kordoba. Secara arsitektur, penampaknya mencontoh istana Diansti Umayyah klasik di Damaskus. Hal itu seakan-akan bermakna, sang khalifah hendak mencari akar budayanya ke Suriah. Baru pada 947 Masehi, pusat pemerintahan mulai pindah ke Madinah az-Zahra dari Kordoba. Di puncak kemakmurannya, Madinah az-Zahra berpenduduk sekira 12 ribu jiwa.
Di dalamnya lengkap dengan bangunan-bangunan indah, taman-taman dengan sistem irigasi yang handal, serta tentu saja istana sang khalifah. Dalam perspektif modern, Madinah az-Zahra merupakan sebuah kawasan hunian urban. Setengah abad lamanya kota-benteng ini berdiri kokoh. Sebab, mulai 1010 hingga tiga tahun kemudian, perang saudara melanda.
Beberapa ilmuwan Muslim pada zaman keemasan Kordoba antara lain pakar ilmu medis al-Zahrawi (wafat 1013). Orang Eropa menyebutnya Abulcasis (berasal dari panggilannya, Abu al-Qasim). Dia dikenal sebagai Bapak Ilmu Bedah di dunia kedokteran. Karyanya yang paling terkemuka adalah Kitab al-Tasrif, yang merupakan ensiklopedia tentang praktik-praktik bedah medis.
No comments:
Post a Comment