Ketika Abu Hurairah Panik dan Menyesal

Sebelum berfatwa, Abu Hurairah tak bertanya terlebih dahulu pada Rasulullah SAW. Red: Hasanul Rizqa Ilustrasi Sahabat Nabi, Abu Hurairah
Foto: Republika
Malam itu, Madinah dalam kondisi sunyi senyap. Tiap penduduk sudah kembali ke rumah masing-masing. Begitu pun Nabi Muhammad SAW.

Di pelataran (shuffah) Masjid Nabawi, Abu Hurairah sedang duduk-duduk sambil menikmati heningnya malam. Ia memang termasuk ahli shuffah, yakni orang-orang Muslim yang tinggal di halaman masjid tersebut karena tidak memiliki rumah permanen di Madinah.

Ia lalu beranjak pergi ke luar shuffah karena beberapa keperluan. Saat sedang berjalan kembali ke Masjid Nabawi, Abu Hurairah tiba-tiba dipanggil seorang perempuan. Wanita bercadar itu rupanya hendak bertanya kepadanya mengenai persoalan yang sedang menderanya.

Memang, Abu Hurairah kadang menjadi tempat Muslimin bertanya. Apalagi, bagi mereka yang sehari-hari sibuk bekerja sehingga tidak sempat mengikuti majelis ilmu yang digelar Nabi SAW di Masjid Nabawi.

Setelah mengucapkan salam, si perempuan sempat terdiam, seolah-olah sedang mengumpulkan keberaniannya.

Akhirnya, wanita ini menuturkan maksiat yang sudah dilakukannya. Dan kini, ia menyesali dosa besar itu dan ingin sekali bertobat.

“Apakah saya bisa bertobat? Apakah Allah akan menerima tobat saya?” tanyanya kepada Abu Hurairah.

“Maksiat seperti apa yang sudah engkau perbuat?” selidik sahabat Nabi yang bernama asli Abdurrahman ad-Dausi itu.

“Begini,” tutur si Muslimah setelah terdiam agak lama, “Aku telah berzina, kemudian membunuh anakku yang merupakan hasil dari hubungan haram itu.”

Mendengar pernyataan itu, wajah Abu Hurairah memerah padam. Ia terkejut dan tidak habis pikir, mengapa perempuan ini tega menghabisi nyawa bayinya sendiri.

Terbawa sentimen dan emosi, sang sahabat Nabi dengan cepat mengeluarkan pernyataan dan fatwa yang cukup keras.

“Binasalah engkau! Binasalah engkau! Demi Allah, Anda tidak akan diampuni,” ujar dia.

Seketika, Muslimah tersebut menangis. Ingin teriak, tetapi bibirnya tiba-tiba terasa kelu. Kakinya gemetar ketakutan. Wanita ini merasa amat sangat ngeri akan datangnya azab Allah kepada dirinya.

Setelah perempuan tersebut pergi, Abu Hurairah terkejut sendiri. Bibirnya mengucapkan istighfar, dan lalu bergumam, “Baru kali ini saya berfatwa tanpa berkonsultasi kepada Rasulullah SAW terlebih dahulu!”

Keesokan harinya, Abu Hurairah menghadap Nabi SAW, dan menceritakan peristiwa yang berlangsung kemarin malam. Setelah itu, ia meminta pernyataan dari beliau. Ternyata, justru jawaban yang disampaikan oleh Rasulullah SAW bertolak belakang dengan pandangan dirinya semalam.

“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un,” sabda Nabi SAW, “demi Allah, engkau Abu Hurairah bisa celaka, engkau bisa celaka. Tidakkah engkau lupa akan ayat ini?”

Rasul SAW kemudian membacakan Alquran surah al-Furqan ayat 68. Artinya, “Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan lain dan tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina; dan barangsiapa melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat hukuman yang berat.”

Kemudian, beliau membacakan al-Furqan ayat 70. Artinya, “Kecuali orang-orang yang bertobat dan beriman dan mengerjakan kebajikan; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Abu Hurairah segera beristighfar, memohon ampun kepada Allah atas kekeliruannya dalam berfatwa. Ia merasa wajib bertanggung jawab atas kesedihan si Muslimah tersebut. Tanpa menunggu lagi, seketika ia mencari dan melacak keberadaan perempuan tersebut. Ditelusurinya setiap sudut Kota Madinah. Namun, usahanya belum membuahkan hasil hari itu.

Tidak ada satu pun warga Madinah yang tidak ditanyainya. Bahkan, anak-anak sampai memandang aneh kepadanya. Sebab, Abu Hurairah tampak panik dan kebingungan.

Malam pun tiba. Allah menakdirkan, Abu Hurairah bertemu lagi dengan si Muslimah di tempat yang sama seperti kemarin. Langsung saja, sang sahabat Nabi SAW meminta maaf kepadanya. Ia juga menyampaikan kabar gembira dari Rasul SAW.

Maka rona kegembiraan tepancar dari wajah si peremuan. Sebagai ungkapan rasa syukur dan sukacita itu, ia menyedekahkan sebidang kebun agar dipergunakan untuk kepentingan syiar Islam.rol

No comments: