Bagaimana Sistem Kerajaan Muncul Dalam Sejarah Islam?
Berangkat dari kegelisahan itu, Mu’awiyah pun memunculkan ide adanya putra mahkota. Nurhasan merangkum dua pendapat mengenai siapa penggagas hal itu. Ada yang menyatakan, Mughirah bin Shu’bah adalah sosok yang menganjurkan Mu’awiyah agar mengangkat putranya sendiri, Yazid, sebagai penerusnya kelak.
Sejarawan M Khudari dalam Muhadharat Tarikh al-Umam al-Islamiyyah ad-Dawlah al-Umawiyah menuturkan, Mughirah bin Shu’bah pernah berkata kepada Yazid, “Para sahabat Nabi SAW dan pembesar Quraisy kini telah tiada. Yang ada sekarang hanyalah anak-anak mereka. Maka, saya tidak tahu apa yang menghalangi amirul mukminin (Mu’awiyah) untuk tidak mengangkatmu (sebagai penerus kerajaan).”
Tidak hanya itu, Mughirah pun menggalang opini dari para pendukungnya, terutama masyarakat Kufah. Sesudah itu, ia menghadap Mu’awiyah di Damaskus. Sang raja menanggapinya dengan berkata, “Jangan terburu-buru. Simpanlah pendapatmu.” Bagaimanapun, sejak itu amirul mukminin tersebut semakin yakin untuk menunjuk putranya sendiri sebagai khalifah sepeninggalan dirinya.
Namun, ada pula pendapat yang menyebut bahwa penggagas penunjukan putra mahkota bukanlah Mughirah, melainkan Mu’awiyah bin Abi Sufyan sendiri. Sejumlah penulis seperti Ali Muhammad ash-Shallabi, Bernard Lewis, dan Karen Armstrong mengkritisi riwayat tentang Mughirah, khususnya yang datang dari Ali bin Mujahid al-Kalbi (wafat 182 H), penulis Al-Maghazi. Ash-Shallabi menemukan, ide pembaiatan Yazid bin Mu’awiyah muncul sekitar tahun 53 H, sedangkan Mughirah sendiri wafat pada 50 H.
Lebih lanjut, Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah sosok yang cerdas dan visioner. Ia menyadari bahwa kondisi persatuan kaum Muslimin saat itu masih rentan. Perasaan solidaritas yang muncul sejak masa awal Khulafaur Rasyidin kemudian terguncang akibat terbunuhnya Utsman bin Affan. Terlebih lagi, peristiwa itu diikuti dengan berbagai perang saudara sesama umat Islam.
Mu’awiyah pun berpikir keras untuk merekatkan kembali kohesivitas umat Islam secara sosial dan kenegaraan. Baginya, konflik perebutan kekuasaan mesti dihindari agar tidak terjadi lagi pertumpahan darah sesama Muslimin. Maka dari itu, ia mulai mentransformasi sistem pemerintahan menjadi monarki Arab, yang didominasi suku bangsa Arab.
Menurut Karen Armstrong, bangsa Arab sejak zaman pra-Islam cenderung menolak bentuk kerajaan karena sistem pemerintahan itu dianggap kurang fisibel di wilayah Jazirah Arab. Di sana, suku-suku kerap berkompetisi dalam mencari sumber-sumber penghidupan yang terbatas, utamanya air. Selama masih ada orang terbaik yang dapat dijadikan pemimpin, mereka merasa tidak perlu menerapkan pewarisan kekuasaan.
Namun, pengalaman perang saudara—seperti Perang Unta, Perang Shiffin, dan Padang Karbala—telah menunjukkan bahwa hal itu justru dapat mengancam persatuan. Demi menghindari besarnya potensi konflik internal umat, Mu’awiyah pun berinisiatif menjadikan anaknya sebagai calon penggantinya.
Yazid dibaiat ketika Mu’awiyah masih hidup. Hal itu merupakan fenomena yang baru bagi umat saat itu. Sebab, sebelumnya jabatan khalifah diisi sosok baru sesudah amirul mukminin tiada. Sebagai contoh, Umar tidak diangkat menjadi khalifah kecuali setelah Abu Bakar wafat.
Pada mulanya, ide monarki cenderung asing bagi masyarakat Hijaz. Hal itu berbeda dengan masyarakat Muslimin di Syam atau Irak. Sebab, wilayah masing-masing penduduk setempat, jauh sebelum kedatangan ekspansi Islam, sudah mengalami suksesi kepemimpinan secara dinasti selama ratusan tahun.rol




No comments:
Post a Comment