Kisah Buya Hamka, Polisi, dan Dukun Ketika Dalam Tahanan Pemerintahan Soekarno

Buya Hamka menolaknya dan menjelaskan tentang tauhid. Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Hafil Buya Hamka
Foto: Dok. Muhammadiyah
Buya Hamka bernama lengkap Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah dalam Tafsir Al-Azhar menuliskan kisahnya sendiri dalam masa tahanan di pemerintahan Presiden Soekarno. Kala itu, seorang polisi hendak menawarkan bantuan untuk Buya Hamka lewat perantara dukun, namun Buya Hamka menolaknya dan menjelaskan tentang tauhid kepada polisi tersebut.

Dikisahkan, suatu ketika penulis Tafsir Al-Azhar ditahan polisi karena difitnah orang, merasalah diri Buya Hamka selalu sepi sunyi, dipencilkan dari keluarga berbulan-bulan. Maka salah seorang polisi yang menjaga Buya Hamka merasa kasihan karena belum tentu kapan Buya Hamka akan dikeluarkan dari tahanan. 

Polisi itu menyatakan bahwa dia bersedia menolong Buya Hamka. Dia akan pergi menemui seseorang dukun yang sangat mahir dan mujarrab, yang telah banyak menolong orang yang sengsara. 

"Maka saya fikirkan: Apakah kekurangan daku daripada dukun itu? Aku tetap mengerjakan sembahyang lima waktu. Dalam sembahyang aku berdoa, di luar sembahyang pun aku berdoa," tulis Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar.

"Alhamdulillah aku mengerjakan juga sembahyang Nawafil, sembahyang-sembahyang yang sunnah, sampai Shalatul-lail (Tahajjud), sebelum ditahan dan sesudah dalam tahanan. Hatiku pun rasanya lebih dekat kepada Allah di saat-saat seperti ini."

"Mengapa aku akan meminta tolong kepada seorang dukun, untuk mengobatkan agar aku terlepas dari bala bencana ini, padahal barangkali lebih banyak aku bertekun menghadap Tuhan, daripada dukun itu sendiri. Sebanyak itu aku mengerjakan shalat."

"Yah, aku mengakui mungkin banyak yang tidak khusyu, tetapi kalau aku mengerjakan sembahyang yang wajib 5 x 365 dalam setahun, agaknya ada juga yang khusyu, dan Tuhan lebih tahu bahwa aku mengakui kelemahan diriku."

"Lantaran itu tidaklah aku meminta tolong kepada orang lain, melainkan langsung kepada Allah, disertai keyakinan tawakkal, menyerah bulat dan ridha. Sebab di manapun aku ditahan dan berapa lamapun, hanya satu yang aku takutkan, yaitu jangan ingatanku lepas dari Allah."

"Maka terpikirlah olehku, kalau kiranya tempat dukun itu memohon adalah Allah juga, sedang tempat aku memohon tidak lain melainkan Allah Yang Satu itu juga, mengapa kepada si dukun aku mesti meminta tolong menyampaikan permohonanku agar aku dilepaskan dari cobaan pahit ini, padahal dia berdoa dan akupun berdoa?"

"Bahkan bukan dukun itu saja, anak-anak dan istriku jauh lebih khusyu mendoakan daku daripada dukun itu. Siang dan malam, petang dan pagi mereka berdoa agar aku lekas keluar dengan selamat."

"Sudah terang bahwa derajat dukun itu sama saja dengan daku di sisi Tuhan, yaitu sama-sama makhluk-Nya. Dukun itu tidak berkuasa menolak mudharat dan mendatangkan manfaat."

"Apakah aku telah putus asa berdoa dengan usahaku sendiri, lalu aku minta tolong kepada orang lain?"

"Lebih celaka lagi ialah apabila dukun itu meminta tolong bukan kepada Allah, melainkan kepada makhluk lain selain Allah. Entah kepada jin atau kepada setan atau roh-roh yang jahat, dengan mantra-mantra tertentu. Padahal yang pasti akan melepaskan daku dari bahaya tidak ada yang lain, melainkan Allah juga."
"Kalau kebetulan Allah melepaskan daku dari bahaya bertepatan dengan mantra si dukun atau permintaannya kepada hantu, niscaya membanggalah dukun itu, dan bertambah berpengaruhlah orang-orang yang mempercayainya. Dibuatnyalah propaganda di mana-mana, bahwa saya terlepas dari bahaya itu ialah karena pertolongannya. Lantaran itu dia yang telah menjadi musyrik itu bertambah musyrik lagi. Itulah yang bemama istidraj, yaitu Tuhan memudahkan pertolongannya bagi orang yang telah menggelincir ke luar dari jalan Tuhan, untuk menambah kesesatannya dengan tidak disadarinya."

"Dan bagaimana dengan daku sendiri? Pasti aku akan menyesali diriku sendiri kalau itu kejadian. Padahal doa-doaku sendiri dan munajatku kepada Tuhan, ditambah dengan doa anak-anak dan istriku, ditambah dengan pengharapan murid-murid dan handai-taulankulah yang dikabulkan oleh Tuhan secara langsung, yang menyebabkan aku keluar kelak dengan selamat. Bukan permohonan dukun yang sengaja dicari dan diisi syarat-syarat tertentu, entah ayam putih, ayam hitam, bubur merah putih, kain sekabung dan sebagainya. Alangkah malunya aku kepada diriku sendiri jika hal ini terjadi. Dan aku akan keluar juga, Insya Allah."

"Hanya kegelisahan yang wajib aku hapuskan dari dalam dadaku, supaya aku jangan merasa terlalu lama menunggu. Karena soal cepat atau lambat, adalah nisbi belaka, atau relatif belaka."

"Lantaran itu dengan tegas aku tolaklah uluran polisi penjaga yang kasihan kepadaku itu, dan aku berilah kepadanya keterangan tentang intisari Tauhid. Sampai dia mengerti bahwa aku bukanlah orangnya, yang dapat dipengaruhi dengan dukun sakti atau klenik atau kebatinan."

"Dan tidak berapa lama setelah permintaannya hendak menolong itu aku tolak, tiba-tiba pada pagi-pagi hari Jumat tanggal 1 Oktober 1965, pagi-pagi sekali, polisi penjagaku itupun datanglah dengan tergesa-gesa dan berkata dengan terburu-buru, mengatakan bahwa tadi malam telah terjadi tembak-menembak. Dan bahwa presiden sendiri tidak ada di istana, belum diketahui ke mana beliau pergi. Dia mengharap kepada saya supaya tenang-tenang saja."

"Setelah itu dari hari ke hari lebih jelaslah berita tentang percobaan merebut kekuasaan dari kaum Komunis dan percobaan itu gagal. Tiga bulan setelah itu, saya pun dipindahkan ke dalam tahanan rumah, kembali hidup dikelilingi anak istri dan cucu-cucu."

"Dua bulan sesudah itu dilapangkan tahanan menjadi tahanan kota. Kian sehari keamanan kian pulih, dan akhirnya dari teman-teman yang kembali dari mengerjakan haji, di antaranya al-Ustaz Bey Aritin di Surabaya, saya mendengar berita yang amat mengharukan saya. Yaitu bahwa beratus-ratus jamaah haji dari Indonesia baik seketika tawaf sekeliling Kabah atau seketika wuquf di Arafah telah bersama-sama mendoakan agar saya dan beberapa teman pejuang Islam yang lain, yang sama ditahan oleh pemerintah Soekarno, dibebaskan Tuhan kiranya dan keluar dengan selamat, untuk melanjutkan jihad menegakkan cita-cita Islam."

"Apakah suatu kebetulan? Tidak! Tidak ada yang kebetulan pada ketentuan Allah," tulis Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar.

"Tanggal 9 Dzulhijjah 1385 mereka wuquf sambil munajat memohonkan agar kami lepas dari penganiayaan ini, dan pada tanggal 10 Dzulhijjah besoknya, pada hari Nahar atau Idul Adha, saya telah jadi Imam Sembahyang Hari Raya Idul Adha di lapangan Masjid Agung Al-Azhar, dalam status tahanan kota, dan sebulan sesudah itu bebas sama sekali (26 Mei 1966)."

"Banyaklah yang patut saya syukurkan kepada Allah. Dan di antara yang sangat saya syukuri itu ialah saya menolak dengan tegas uluran tangan polisi yang jujur tetapi jahil itu, buat meminta tolong kepada dukun. Kalau itu terjadi, menjadi cacatlah pertolongan kawan-kawan, taulan, sahabat, murid-murid, yang bermunajat memohonkan agar kami dibebaskan Tuhan sambil mereka wuquf di Padang Arafah itu."rol

No comments: