Sisi Lain Rahmah El-Yunusiyah: Tak Jeri Melawan Belanda, Tegas Berhadapan dengan Komunis

 Rahmah pernah dipenjara Belanda karena aktivitasnya di politik. Red: A.Syalaby Ichsan Rahmah el-Yunusiah ulama perempuan di Padang Panjang, Sumatera Barat.

Foto: google.com
Perjuangan Rahmah El-Yunusiyah bagi pendidikan kaum perempuan Indonesia mungkin tidak sepopuler perjuangan Raden Ajeng (RA) Kartini bagi publik Indonesia. Namun, kontribusinya dalam memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan di Tanah Air tidak bisa dipandang sebelah mata.

Rahmah dilahirkan di Padang Panjang, Sumatra Barat, pada 29 Desember 1900. Dia berasal dari keluarga terpandang dan religius. Rahmah merupakan anak bungsu dari empat bersaudara pasangan Syekh Muhammad Yunus dan Rafi'ah.

Ayahnya adalah seorang qadhi (hakim agama) di wilayah Pandai Sikat yang juga ahli dalam ilmu falak. Kakeknya adalah Syekh Imaduddin, ulama terkenal Minangkabau dan tokoh Tarekat Naqsyabandiah.  

photo
Syaikha Rahmah el-Yunusiah (tengah) bersama pengajar di Diniyah Putri Padang Panjang - (Public Domains)

Selama hidupnya, Rahmah tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Mula-mula ia mengenyam pendidikan dari ayahnya, namun hanya sebentar karena sang ayah meninggal ketika ia masih sangat muda. Sepeninggal sang ayah, Rahmah kemudian mendapat bimbingan langsung dari kakak-kakaknya yang ketika itu telah dewasa.

Kemampuannya dalam membaca dan menulis Arab dan Latin diperoleh dari kedua orang kakaknya, Zainuddin Labay El-Yunusy dan Muhammad Rasyad. Ia kemudian belajar ilmu agama pada sejumlah ulama terkenal Minangkabau. Di antara para ulama yang pernah menjadi gurunya adalah Haji Abdul Karim Amrullah (ayahanda Buya Hamka), Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim (pemimpin sekolah Thawalib Padangpanjang), Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Abdul Latif Rasjidi, dan Syekh Daud Rasjidi.

Selain ilmu keislaman, Rahmah juga mempelajari ilmu kesehatan (khususnya kebidanan) dan keterampilan-keterampilan wanita, seperti memasak, menenun, dan menjahit. Kelak ilmu yang diperolehnya ini diajarkannya kepada murid-muridnya di sekolah yang didirikannya, Diniyah Puteri.

Seorang Pejuang

Di samping sebagai pendidik, Rahmah juga merupakan seorang pejuang. Dalam Ensiklopedia Islam terbitan PT Ichtiar Baru Van Hoeve (IBVH) disebutkan, Rahmah merupakan orang pertama yang mengibarkan bendera merah putih di sekolahnya setelah mendengar berita proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Semasa revolusi kemerdekaan, ia dipenjarakan Belanda dan baru dibebaskan pada 1949 setelah pengakuan kedaulatan. Hingga 1958, ia aktif di bidang politik. Ia antara lain menjadi anggota KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah) Sumatra Tengah, ketua Barisan Sabilillah dan Sabil Muslimat di Padang, dan anggota Konstituante mewakili Masyumi. Peranannya yang paling menonjol adalah kepeloporannya dalam pembentukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) pada 2 Oktober 1945.

Sosok pejuang wanita ini juga dikenal memiliki prinsip dan sikap yang teguh. Pemerintah Belanda  pernah menawarkan diri untuk membantu sekolahnya dengan subsidi penuh dengan syarat Diniyah Puteri menjadi lembaga yang berada di bawah pengawasan Belanda. Namun, syarat tersebut ia tolak dengan tegas.

Demikian ketika kaum komunis memerahkan lapangan Bancah Laweh, Rahmah pun dengan berani sehari kemudian, memutihkan kota Padang Panjang untuk menghadang manuver pihak komunis. Karena sikapnya yang tidak sependapat dengan Presiden Pertama RI, Soekarno, yang dinilainya telah melenceng dari demokrasi terpimpinnya dan kedekatan dengan pihak komunis, membuat dirinya dikucilkan.

Seluruh hidupnya diabdikan untuk pendidikan kaum perempuan. Rahmah El-Yunusiyah memang memiliki cita-cita agar wanita Indonesia memperoleh kesempatan penuh untuk menuntut ilmu yang sesuai dengan kodrat wanita, sehingga dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Ia mendidik kaum wanita Indonesia agar  sanggup berdikari untuk menjadi ibu pendidik yang cakap, aktif, dan bertanggung jawab kepada kesejahteraan bangsa dan tanah air, di mana kehidupan agama mendapat tempat yang layak. Cita-cita dan tujuannya ini dirumuskannya dalam tujuan pendirian Diniyah Puteri.

Cikal bakal Diniyah Puteri bermula dengan dibentuknya Madrasah li Banat (sekolah untuk puteri) pada 1 November 1923. Pendirian sekolah khusus perempuan pada masa itu bukanlah hal mudah. Kendala utama yang dihadapi adalah cemoohan dari masyarakat. Bagi banyak kalangan saat itu, sekolah perempuan dengan tenaga pengajar yang juga perempuan merupakan hal aneh, tabu dan melanggar adat.

Untuk menampik ejekan ini Rahmah membuktikan dengan menampik bantuan dari masyarakat (yang masih memandang miris perempuan) dan menggunakan cara sendiri untuk membangun sekolah. Bahkan, ia merelakan rumahnya dijadikan sebagai ruang kelas.

Selama dua tahun pertama, cara belajar yang diterapkan di sekolah ini menggunakan sistem halaqah seperti yang diterapkan di Masjidil Haram, yakni para murid duduk di lantai mengelilingi guru yang menghadap meja kecil. Lambat laun sekolah ini memiliki gedung sendiri.

Berdirinya gedung ini sepenuhnya berasal dari kemauan keras para perintisnya dan simpati masyarakat. Gedung pertama Diniyah Puteri, misalnya, dibangun dari batu kali yang diangkut sendiri oleh para guru dan murid Diniyah Puteri dan murid sekolah-sekolah lain yang ada di Padang Panjang.

Anugerah Pahlawan Nasional

Presiden RI Prabowo Subianto menganugerahi Rahmah El Yunusiyah  asal Sumatera Barat dengan gelar Pahlawan Nasional atas perjuangannya di bidang pendidikan Islam.

Perwakilan keluarga Rahmah, Fauziah Fauzan El Muhammady, di Istana Negara, Jakarta, Senin, menyampaikan rasa syukur dan terima kasihnya kepada pemerintah atas pemberian gelar pahlawan tersebut.

"Kita ucapkan terima kasih kepada pemerintah Indonesia, khususnya kepada Bapak (Presiden RI) Prabowo Subianto yang telah memberikan anugerah ini,” ujar Fauziah.

Menurut dia, pemberian gelar pahlawan adalah bentuk penghargaan dan penghormatan tertinggi negara atas jasa-jasa luar biasa para tokoh dalam perjuangan mewujudkan kemajuan bangsa.

Rahmah El Yunusiyah diakui sebagai pahlawan yang gigih memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan.

"Semua santri menyambut dengan rasa syukur. Artinya, ada pengakuan atas perjuangan Bunda Rahmah. Yang tak hanya sebagai tokoh pendidikan, tapi juga tokoh perjuangan kemerdekaan," kata Fauziah yang saat ini memimpin Perguruan Diniyah Puteri Padang Panjang, Sumatra Barat.

Perguruan Diniyah Puteri adalah pondok pesantren modern khusus perempuan yang didirikan Rahmah pada 1 November 1923. Pusat pendidikan ini juga berperan penting dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia di Sumatra Barat saat itu.

Lebih lanjut, Fauziah juga menceritakan sosok Rasuna Said asal Maninjau, Sumatra Barat. Rasuna Said yang sudah lebih dulu dinobatkan sebagai pahlawan merupakan murid pertama Rahmah El Yunusiyah di Perguruan Diniyah Puteri.

"Jadi, murid beliau sudah lebih dahulu mendapat pengakuan sebagai pahlawan nasional. Sekarang gurunya diakui sebagai pahlawan nasional. Alhamdulillah, terima kasih,” katanya.

Selain mendirikan Perguruan Diniyah Puteri, Rahmah juga mendirikan Perserikatan Guru-Guru Putri Islam di Bukittinggi. Beliau juga aktif dalam pergerakan menentang penindasan penjajah Belanda.

Rahmah pun mendirikan Taman Bacaan Khuttub Khannah agar perempuan bisa meningkatkan literasi. Ia menjadi anggota pengurus Serikat Kaum Ibu Sumatera (GKIS) Padang Panjang serta ikut mendirikan Partai Masyumi di Minangkabau.rol

No comments: