Hutang Barat terhadap Islam: Andalusia, Ilmu, dan Ingatan yang Dilupakan
pada abad ke-9 bukan sekadar ibu kota politik Andalusia, melainkan sebuah ruang pertemuan peradaban. Di jalan-jalan kota itu, bahasa Arab beredar sebagai bahasa ilmu, administrasi, dan sastra, melampaui batas agama.
Sejarawan Spanyol María Rosa Menocal, dalam The Ornament of the World (2002), menggambarkan Córdoba sebagai kota kosmopolitan di mana Islam tidak hanya memerintah, tetapi memikat secara intelektual.
Dalam lanskap ini, bahasa Arab menjadi lingua franca lintas iman—dipelajari bukan karena paksaan, melainkan karena prestise. Bagi Kristen dan Yahudi yang ingin “maju”, menguasai bahasa Arab berarti membuka akses ke pusat pengetahuan paling hidup pada zamannya.
Menocal menegaskan bahwa daya tarik Andalusia Islam tidak lahir dari toleransi pasif, melainkan dari magnetisme intelektual yang aktif. “Islamic Spain was not merely tolerant; it was intellectually magnetic. Christians and Jews were drawn to Arabic learning because it represented the highest form of knowledge available.” (The Ornament of the World, hlm. 11).
Pernyataan ini penting karena menggeser cara pandang lama: Barat tidak belajar pada Islam semata karena relasi kuasa, tetapi karena gravitasi ilmu. Di titik inilah Andalusia menjadi simpul sejarah—tempat bahasa Arab menjelma bahasa masa depan, bahkan bagi mereka yang tidak memeluk Islam.
Andalusia dan Transfer Ilmu yang Nyata
Sejarawan Spanyol María Rosa Menocal, dalam karyanya The Ornament of the World, menegaskan bahwa Andalusia adalah ruang di mana ilmu Islam “hidup sebagai kebiasaan sosial, bukan sekadar prestasi individual”.
“Islamic Spain was not merely tolerant; it was intellectually magnetic. Christians and Jews were drawn to Arabic learning because it represented the highest form of knowledge available.” (The Ornament of the World, hlm. 11).
Pernyataan ini penting karena mematahkan asumsi simplistis bahwa Barat belajar pada Islam semata karena dominasi politik. Yang terjadi adalah gravitasi intelektual.
Namun kesaksian jujur –dan mungkin paling pedih— datang dari Alvaro dari Cordoba (w. 861 M), seorang teolog Nasrani. Dalam risalahnya Indiculus Luminosus, ia menulis:
“My fellow Christians delight in the poems and romances of the Arabs; they study the works of Muslim theologians and philosophers… The Christians have forgotten their own language and scarcely one in a thousand can write a letter in Latin, while many can express themselves in Arabic with elegance and compose poetry in it.”
(Saudara-saudara Kristenku menikmati syair dan kisah orang-orang Arab; mereka mempelajari karya para teolog dan filsuf Muslim… Orang-orang Kristen telah melupakan bahasa mereka sendiri; hampir tidak satu dari seribu yang mampu menulis surat dalam bahasa Latin, sementara banyak yang dapat mengekspresikan diri dengan elegan dalam bahasa Arab bahkan menggubah syair dengannya).
“Kaum Kristiani kita begitu mengagumi puisi dan sastra Arab, mempelajari karya para teolog dan filsuf Muslim, bukan untuk membantah, tetapi untuk memperoleh kefasihan bahasa Arab. Sementara itu, siapa di antara kami yang masih mampu membaca Injil dalam bahasa Latin dengan benar?” (Alvarus Cordubensis, Indiculus Luminosus, abad ke-9).
Tulisan ini bukan pujian terhadap Islam, melainkan kritik internal terhadap komunitas Kristen yang menurutnya kian larut dalam budaya Arab-Islam.
Álvaro mengeluhkan bagaimana generasi muda Kristen lebih terpikat oleh bahasa, sastra, dan ilmu kaum Muslim daripada tradisi Latin gereja.
Konteks keluhan ini penting. Córdoba abad ke-9 merupakan pusat intelektual utama dunia Islam Barat, dengan bahasa Arab berfungsi sebagai bahasa administrasi, ilmu pengetahuan, sastra, dan mobilitas sosial.
Sejarawan seperti Ángel González Palencia dan Thomas F. Glick menegaskan bahwa arabisasi komunitas Kristen Mozarab adalah fenomena struktural, bukan kasus individual.
Sementara itu, María Rosa Menocal dalam The Ornament of the World menunjukkan bahwa daya tarik Andalusia Islam terletak pada prestise intelektualnya, bukan semata dominasi politik.
Dengan demikian, kegelisahan Álvaro of Córdoba menjadi bukti historis penting bahwa pengaruh Islam di Andalusia bekerja melalui hegemoni bahasa dan ilmu, hingga diakui—bahkan dikeluhkan—oleh mereka yang berada di luar Islam itu sendiri.
Ini bukan propaganda Islam, melainkan kritik internal Kristen terhadap ketimpangan intelektual.
Bahasa Arab sebagai Bahasa Ilmu Dunia
Sejarawan ilmu George Sarton, dalam karya monumentalnya Introduction to the History of Science, menyatakan secara lugas:
“Arabic was the scientific language of the world for several centuries. Whoever wished to study science had to learn Arabic.” (Vol. I, hlm. 27).
Pernyataan ini krusial karena menggeser fokus dari tokoh ke struktur peradaban. Tanpa bahasa Arab, Eropa tidak akan mengakses Aristoteles, Galen, Ptolemy—semuanya melalui lensa ilmuwan Muslim.
Pengaruh Islam terhadap Tradisi Yahudi Andalusia
Dalam komunitas Yahudi, pengaruh Islam bahkan lebih eksplisit. Judah ibn Hayyuj, ulama Yahudi Cordoba abad ke-10, menulis tata bahasa Ibrani pertama dengan metodologi nahwu Arab.
Sejarawan Yahudi S. D. Goitein menegaskan:
“Hebrew grammar was born under the direct influence of Arabic linguistics. Without Arabic models, Hebrew philology would not exist in its classical form.” (Tata bahasa Ibrani lahir di bawah pengaruh langsung linguistik Arab. Tanpa model-model bahasa Arab, filologi (ilmu kebahasaan) Ibrani tidak akan ada dalam bentuk klasiknya). (A Mediterranean Society, Vol. II).
Puncaknya adalah Musa bin Maimun (Maimonides). Dalam Dalālat al-Ḥā’irīn (دلالة الحائرين / The Guide for the Perplexed), yang ia tulis dalam bahasa Arab, Maimonides secara eksplisit mengikuti tradisi filsafat Islam.
Ia menulis:
“العقل الصريح لا يمكن أن يتناقض مع الوحي الصحيح”
“Akal yang jujur tidak mungkin bertentangan dengan wahyu yang sahih.”
Pernyataan ini nyaris identik dengan proyek filsafat Islam yang dikembangkan oleh Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd—dan kelak menjadi fondasi pemikiran Thomas Aquinas.
Dari Andalusia ke Eropa Latin
Sejarawan Inggris Montgomery Watt menulis dengan jujur:
“Europe owes a greater debt to Islam than it is willing to admit.” (Eropa berutang jauh lebih besar kepada Islam daripada yang bersedia diakuinya). (The Influence of Islam on Medieval Europe, hlm. 84)
Masalahnya bukan kekurangan bukti, melainkan keengganan mengingat. Seiring perubahan politik dan konflik, kontribusi Islam direduksi, dipinggirkan, lalu dilupakan.
Ingatan yang Terputus dan Pelajaran Hari Ini
Namun, menyalahkan Barat semata adalah jalan pintas. Filosof Muslim Syed Muhammad Naquib al-Attas mengingatkan bahwa keruntuhan peradaban ilmu Islam juga dipicu oleh kehilangan adab terhadap ilmu.
“The loss of adab leads to confusion in knowledge, and confusion in knowledge leads to the collapse of civilization.” (Hilangnya adab melahirkan kekacauan dalam pengetahuan, dan kekacauan dalam pengetahuan berujung pada runtuhnya peradaban). (syed Naquib al-Attas, dalam Islam and Secularism).
Adab di sini bukan sekadar sopan santun sosial, melainkan tata nilai etis-intelektual: kemampuan menempatkan sesuatu pada tempatnya—ilmu pada hierarkinya, otoritas pada kapasitasnya, dan tujuan pengetahuan pada kebenaran serta kemaslahatan.
Andalusia mengajarkan bahwa peradaban ilmu lahir dari keberanian berpikir, keterbukaan metodologis, dan disiplin intelektual—bukan dari nostalgia atau slogan kejayaan.
Jika Barat pernah belajar pada Islam, itu karena Islam saat itu siap diuji, siap dikritik, dan siap berdebat.
Pertanyaannya, apakah umat Islam hari ini siap membangun kembali peradaban ilmu—atau hanya ingin mengingatnya sebagai kisah masa lalu?*




No comments:
Post a Comment