TUN SRI LANANG - Raja pertama kerajaan Samalanga
Tun Sri Lanang adalah raja pertama kerajaan Samalanga. Sebenarnya dia seorang Bendahara di Kerajaan Johor. Nama aslinya adalah Tun Muhammad. Dia diangkat menjadi raja Samalanga pada tahun 1615. Kisah Tun Sri Lanang ini diambil dari rangkuman beberapa penulis. Ini dia kisahnya.
Kebesaran Kesultanan Islam Malaka hancur setelah Portugis menaklukkannya tahun 1511. Banyak pembesar kerajaan yang menyelamatkan diri ke kerajaan lainnya yang belum dijamah Portugis. Sebut saja Pahang, Johor, Pidie, Aru (Pulau Kampai), Perlak, Daya, Pattani, Pasai dan Aceh. Portugis berusaha menaklukkan kerajaan Islam yang kecil ini dan tanpa perlawanan yang berarti. Perkembangan tersebut membuat gundah Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530). Sultan berkeinginan untuk membebaskan negeri Islam di Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu ini dari cengkeraman Portugis. Keinginan Sultan didukung penuh oleh pembesar negeri Aceh dan para pencari suaka dari Melaka yang menetap di Bandar Aceh. Sultan memproklamirkan Kerajaan Islam Aceh Darussalam pada tahun 1512, dengan visi utamanya menyatukan negeri kecil seperti Pedir, Daya, Pasai, Tamiang, Perlak dan Aru.
Sultan Alaidin Ali Mughayatsyah berprinsip. “Siapa kuat hidup, siapa lemah tenggelam”. Karenanya dalam pikiran Sultan untuk membangun negeri yang baru diproklamirkannya perlu penguatan di bidang politik, luar negeri, militer yang tangguh, ekonomi yang handal dan pengaturan hukum/ketatanegaraan yang teratur. Dengan strategi inilah, menurut pikiran Sultan, Kerajaan Islam Aceh Darussalam akan menjadi negara yang akan diperhitungkan dalam percaturan politik global, sesuai dengan masanya dan mampu mengusir Portugis dari negeri Islam di nusantara yang telah didudukinya. Dasar pembangunan kerajaan Islam Aceh Darussalam yang digagaskan Sultan Alaidin Ali Mughayatsyah dilanjutkan oleh penggantinya Sultan Alaidin Riayatsyah Alqahhar, Alaidin Mansyursyah, Saidil Mukammil dan Iskandar Muda. Aliansi dengan negara-negara Islam di bentuk, baik yang ada di nusantara maupun di dunia Internasional. Misalnya Turki, India, Persia, Maroko. Pada zaman inilah Aceh mampu menempatkan diri dalam kelompok “lima besar Islam” negara-negara Islam di dunia. Hubungan diplomatik dengan negeri nonmuslim pun dibina sepanjang tidak mengganggu dan bertentangan dengan asas-asas kerajaan (A. Hasyimy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah). Perseteruan kerajaan Aceh dengan Portugis terus berlangsung sampai tahun 1641. Akibatnya banyak anak negeri yang syahid baik itu di Aceh sendiri, Aru, Bintan, Kedah, Johor, Pahang dan Trenggano. Populasi penduduk Aceh menurun drastis. Sultan Iskandar Muda mengambil kebijakan baru dengan menggalakkan penduduk di daerah takluknya untuk berimigrasi ke Aceh inti, misalnya dari Sumatera Barat, Kedah, Pahang, Johor dan Melaka,Perak,Deli. Sultan Iskandar Muda menghancurkan Batu Sawar, Johor, pada tahun 1613. Seluruh penduduk Johor, termasuk Sultan Alauddin Riayatshah III, adiknya Raja Abdullah, Raja Raden dan pembesar- pembesar negeri Johor-Pahang seperti Raja Husein (Iskandar Thani), Putri Kamaliah (Putroe Phang) dan Bendaharanya (Perdana Mentri), Tun Muhammad kemudian dipindahkan ke Aceh. Sultan Iskandar Muda kemudian menjadikan Tun Sri Lanang sebagai raja pertama ke Samalanga atas saran dari putri Kamaliah. (A.K.Yakobi, Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949). Rotasi pimpinan ini sering ditempuh guna mencegah terjadinya pemberontakan raja-raja yang mendapat dukungan rakyat. Penobatan Tun Sri Lanang menjadi Raja Samalanga mendapat dukungan rakyat, karena disamping dia ahli dibidang pemerintahan juga alim dalam ilmu agama. Sultan Iskandar Muda mengharapkan dengan penunjukan tersebut akan membantu pengembangan Islam di pesisir Timur Aceh. Namun penunjukkan Tun Sri Lanang sebagai raja tidak serta merta berjalan mulus. Hal itu karena adanya tentangan dari beberapa tokoh masyarakat yang dipimpin oleh Hakim Peut Misei. Dia justru menginginkan kelompoknyalah yang berhak menjadi raja pertama Samalanga. Menurut kisah dan penuturan orang- orang tua di sana. Setelah Hakim Peut Misei dan sebelas orang pemuka negeri lainnya bersama rakyat setempat selesai membuka negeri Samalanga, lalu mereka bermusyawarah untuk menentukan siapa diantara mereka yang berhak menjadi raja pertama Samalanga. Diantara panitia yang terlibat dalam persiapan pengukuhan keuleebalangan Samalanga dan daerah takluknya, terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat. Demi mengatasi perselisihan tersebut, atas saran masyarakat, kedua belas orang panitia tersebut kemudian menghadap sultan Iskandar Muda. Mereka menyerahkan keputusan tersebut kepada sultan, yang akan menentukan pilihan terbaiknya untuk memimpin negeri pusat pendidikan Islam itu. Rencana dan kabar tersebut diam-diam sampai juga ketelinga Puteri Pahang. Dia mengetahui rencana pertemuan dua belas tokoh masyarakat yang akan menghadap sultan. Putri Pahang menginginkan ke-uleebalangan Samalanga dan daerah takluknya diisi oleh Datok Bendahara, yang bergelar Tun Sri Lanang, yang tak lain adalah saudaranya sendiri. Siasat pun diatur dan berbagai cara juga ditempuh. Lalu Tun Sri Lanang diperintahkan berlayar ke Samalanga, di sana dia harus berpura-pura sebagai seorang nelayan yang kumuh tetapi ahli melihat bintang. Berdasarkan rencana Putri Pahang, Tun Sri Lanang harus sampai duluan di Samalanga dan ke dua belas tokoh masyarakat tersebut diusahakan menggunakan jasa Tun Sri Lanang untuk berlayar ke Kuala Aceh menghadap Sultan. Pada hari yang telah di sepakati bersama, berangkatlah dua belas orang panitia menghadap sultan dengan didampingi seorang pawang dari kuala Samalanga menuju kuala Aceh. Ke dua belas orang itu kemudian bertemu dengan Sultan dan mengutarakan maksud dan tujuannya. Mereka lalu meminta kepada Sultan agar salah satu dari mereka dinobatkan menjadi uleebalang pertama Samalanga. Setelah meminta pendapat orang - orang besar kerajaan dan Puteri Pahang, Sultan setuju menobatkan salah satu dari mereka menjadi Raja pertama. Namun dengan satu syarat apabila cincin kerajaan yang telah disiapkan oleh Puteri Pahang cocok di jari kelingking mereka. Mereka lalu mecoba satu persatu di jari mereka, tetapi cincin kerajaan tersebut terlalu besar untuk dipakai pada jari ke ua belas orang tersebut. Puteri Pahang menanyakan pada mereka apa ada orang lain yang tidak dibawa ke balai rung Istana? Mereka dengan hati kesal menjawab memang masih ada tukang perahu. Tun Sri Lanang pun kemudian dihadapkan kehadapan Sultan. Dia mencoba cincin kerajaan itu, ternyata sangat cocok untuk jari kelingkingnya. Karena itu kemudian Sultan Iskandar Muda menobatkan Tun Sri Lanang menjadi Raja pertama Samalanga. Namun sewaktu mereka pulang, Tun Sri Lanang tiba-tiba dibuang di tengah laut di kawasan Laweung. Kejadian tersebut kemudian dikenal dalam masyarakat Samalanga sebagai Peristiwa Laut. Beruntung, Tun Sri Lanang berhasil diselamatakan oleh Maharaja Lela Keujroeun Tjoereh (Laweung). Setelah menyelamatkan Tun Sri Lanang, Maharaja Lela Keujroeun Tjoereh bersama T. Nek Meuraksa Panglima Nyak Doom menghadap Sultan. Mereka memberitahukan penemuan Tun Sri Lanang di tengah laut. Mendengar berita tersebut, Sultan sangat murka, dia kemudian memerintahkan Maharaja Goerah bersama T. Nek Meuraksa Panglima Nyak Doom dan Maharaja Lela Keujroeun Tjoereh menemani Tun Sri Lanang ke Samalanga. Hakim Peut Misee dan sebelas orang panitia persiapan keuleebalangan pun akhirnya dihukum pancung oleh sultan. Tun Sri Lanang menjadi Uleebalang pertama Samalanga pada tahun 1615-1659 M. Dia mangkat dan dimakamakan di desa Meunasah Leung Samalanga. Pada masa pemerintahannya, dia berhasil menjadikan Samalanga sebagai pusat pengembangan Islam di kawasan Timur Aceh. Tradisi itu terus berlanjut sampai sekarang. Samalanga menjadi kubu kuat Sultan Aceh terakhir, Sultan Muhammad Daud Syah menentang penjajahan Belanda. Disamping ahli pemerintahan, Tun Sri Lanang juga dikenal sebagai pujangga melayu. Karyanya yang monumental adalah kitab Sulalatus Salatin. MenurutWinstedt, kitab ini dikarang
mulai bulan Februari 1614 dan selesai Januari 1615 sewaktu menjadi tawanan di kawasan Pasai. Ketika di Batu Sawar, Tun Sri Lanang sudah mulai menyusun penulisan sejarah Melayu berasaskan kitab Hikayat Melayu yang diberikan oleh Yang Dipertuan di Hilir, Raja Abdullah. Dia kembali menyambung pekerjaanya menyusun dan mengarang kitab sejarah Melayu tersebut di Aceh sampai lengkap. Apabila kita baca mukaddimah kitab ini, tidak jelas disebutkan siapa pengarang yang sebenarnya. Dan ini biasa dilakukan oleh pengarang -pengarang dahulu yang berusaha menyembunyikan penulis aslinya terhadap hasil karangannya. Bahkan menyebutkan dirinya sebagai fakir. Kalimat aslinya sebagai berikut : Setelah fakir allazi murakkabun ‘a;a jahlihi maka fakir perkejutlah diri fakir pada mengusahakan dia, syahadan mohonkan taufik ke hadrat Allah, Tuhan sani’il - ‘alam, dan minta huruf kepada nabi sayyidi’l ‘anam, dan minta ampun kepada sahabat yang akram; maka fakir karanglah hikayat ini kamasami’ tuhu min jaddi wa abi, supaya akan menyukakan duli hadrat baginda. Maka fakir namai hikayaat ini “ Sulalatus Salatin” yakni “pertuturan segala Raja-Raja”. Keturunan Tun Sri Lanang di Aceh yaitu Tun Rembau yang lebih dikenal dengan panggilan T. Tjik Di Blang Panglima Perkasa menurunkan keluarga Ampon Chik Samalanga sampai saat ini dan tetap memakai gelar Bendahara diakhir namanya seperti Mayjen T. Hamzah Bendahara. Sedangkan sebagian keturunannya kembali ke Johor dan menjadi bendahara (Perdana Menteri) disana seperti Tun Abdul Majid yang menjadi Bendahara Johor, Pahang Riau, Lingga (1688- 1697). Keturunan Tun Abdul Majid inilah menjadi zuriat Sultan Trenggano, Pahang, Johor dan Negeri Selangor Darul Ihsan hingga sekarang ini.
Kebesaran Kesultanan Islam Malaka hancur setelah Portugis menaklukkannya tahun 1511. Banyak pembesar kerajaan yang menyelamatkan diri ke kerajaan lainnya yang belum dijamah Portugis. Sebut saja Pahang, Johor, Pidie, Aru (Pulau Kampai), Perlak, Daya, Pattani, Pasai dan Aceh. Portugis berusaha menaklukkan kerajaan Islam yang kecil ini dan tanpa perlawanan yang berarti. Perkembangan tersebut membuat gundah Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530). Sultan berkeinginan untuk membebaskan negeri Islam di Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu ini dari cengkeraman Portugis. Keinginan Sultan didukung penuh oleh pembesar negeri Aceh dan para pencari suaka dari Melaka yang menetap di Bandar Aceh. Sultan memproklamirkan Kerajaan Islam Aceh Darussalam pada tahun 1512, dengan visi utamanya menyatukan negeri kecil seperti Pedir, Daya, Pasai, Tamiang, Perlak dan Aru.
Sultan Alaidin Ali Mughayatsyah berprinsip. “Siapa kuat hidup, siapa lemah tenggelam”. Karenanya dalam pikiran Sultan untuk membangun negeri yang baru diproklamirkannya perlu penguatan di bidang politik, luar negeri, militer yang tangguh, ekonomi yang handal dan pengaturan hukum/ketatanegaraan yang teratur. Dengan strategi inilah, menurut pikiran Sultan, Kerajaan Islam Aceh Darussalam akan menjadi negara yang akan diperhitungkan dalam percaturan politik global, sesuai dengan masanya dan mampu mengusir Portugis dari negeri Islam di nusantara yang telah didudukinya. Dasar pembangunan kerajaan Islam Aceh Darussalam yang digagaskan Sultan Alaidin Ali Mughayatsyah dilanjutkan oleh penggantinya Sultan Alaidin Riayatsyah Alqahhar, Alaidin Mansyursyah, Saidil Mukammil dan Iskandar Muda. Aliansi dengan negara-negara Islam di bentuk, baik yang ada di nusantara maupun di dunia Internasional. Misalnya Turki, India, Persia, Maroko. Pada zaman inilah Aceh mampu menempatkan diri dalam kelompok “lima besar Islam” negara-negara Islam di dunia. Hubungan diplomatik dengan negeri nonmuslim pun dibina sepanjang tidak mengganggu dan bertentangan dengan asas-asas kerajaan (A. Hasyimy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah). Perseteruan kerajaan Aceh dengan Portugis terus berlangsung sampai tahun 1641. Akibatnya banyak anak negeri yang syahid baik itu di Aceh sendiri, Aru, Bintan, Kedah, Johor, Pahang dan Trenggano. Populasi penduduk Aceh menurun drastis. Sultan Iskandar Muda mengambil kebijakan baru dengan menggalakkan penduduk di daerah takluknya untuk berimigrasi ke Aceh inti, misalnya dari Sumatera Barat, Kedah, Pahang, Johor dan Melaka,Perak,Deli. Sultan Iskandar Muda menghancurkan Batu Sawar, Johor, pada tahun 1613. Seluruh penduduk Johor, termasuk Sultan Alauddin Riayatshah III, adiknya Raja Abdullah, Raja Raden dan pembesar- pembesar negeri Johor-Pahang seperti Raja Husein (Iskandar Thani), Putri Kamaliah (Putroe Phang) dan Bendaharanya (Perdana Mentri), Tun Muhammad kemudian dipindahkan ke Aceh. Sultan Iskandar Muda kemudian menjadikan Tun Sri Lanang sebagai raja pertama ke Samalanga atas saran dari putri Kamaliah. (A.K.Yakobi, Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949). Rotasi pimpinan ini sering ditempuh guna mencegah terjadinya pemberontakan raja-raja yang mendapat dukungan rakyat. Penobatan Tun Sri Lanang menjadi Raja Samalanga mendapat dukungan rakyat, karena disamping dia ahli dibidang pemerintahan juga alim dalam ilmu agama. Sultan Iskandar Muda mengharapkan dengan penunjukan tersebut akan membantu pengembangan Islam di pesisir Timur Aceh. Namun penunjukkan Tun Sri Lanang sebagai raja tidak serta merta berjalan mulus. Hal itu karena adanya tentangan dari beberapa tokoh masyarakat yang dipimpin oleh Hakim Peut Misei. Dia justru menginginkan kelompoknyalah yang berhak menjadi raja pertama Samalanga. Menurut kisah dan penuturan orang- orang tua di sana. Setelah Hakim Peut Misei dan sebelas orang pemuka negeri lainnya bersama rakyat setempat selesai membuka negeri Samalanga, lalu mereka bermusyawarah untuk menentukan siapa diantara mereka yang berhak menjadi raja pertama Samalanga. Diantara panitia yang terlibat dalam persiapan pengukuhan keuleebalangan Samalanga dan daerah takluknya, terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat. Demi mengatasi perselisihan tersebut, atas saran masyarakat, kedua belas orang panitia tersebut kemudian menghadap sultan Iskandar Muda. Mereka menyerahkan keputusan tersebut kepada sultan, yang akan menentukan pilihan terbaiknya untuk memimpin negeri pusat pendidikan Islam itu. Rencana dan kabar tersebut diam-diam sampai juga ketelinga Puteri Pahang. Dia mengetahui rencana pertemuan dua belas tokoh masyarakat yang akan menghadap sultan. Putri Pahang menginginkan ke-uleebalangan Samalanga dan daerah takluknya diisi oleh Datok Bendahara, yang bergelar Tun Sri Lanang, yang tak lain adalah saudaranya sendiri. Siasat pun diatur dan berbagai cara juga ditempuh. Lalu Tun Sri Lanang diperintahkan berlayar ke Samalanga, di sana dia harus berpura-pura sebagai seorang nelayan yang kumuh tetapi ahli melihat bintang. Berdasarkan rencana Putri Pahang, Tun Sri Lanang harus sampai duluan di Samalanga dan ke dua belas tokoh masyarakat tersebut diusahakan menggunakan jasa Tun Sri Lanang untuk berlayar ke Kuala Aceh menghadap Sultan. Pada hari yang telah di sepakati bersama, berangkatlah dua belas orang panitia menghadap sultan dengan didampingi seorang pawang dari kuala Samalanga menuju kuala Aceh. Ke dua belas orang itu kemudian bertemu dengan Sultan dan mengutarakan maksud dan tujuannya. Mereka lalu meminta kepada Sultan agar salah satu dari mereka dinobatkan menjadi uleebalang pertama Samalanga. Setelah meminta pendapat orang - orang besar kerajaan dan Puteri Pahang, Sultan setuju menobatkan salah satu dari mereka menjadi Raja pertama. Namun dengan satu syarat apabila cincin kerajaan yang telah disiapkan oleh Puteri Pahang cocok di jari kelingking mereka. Mereka lalu mecoba satu persatu di jari mereka, tetapi cincin kerajaan tersebut terlalu besar untuk dipakai pada jari ke ua belas orang tersebut. Puteri Pahang menanyakan pada mereka apa ada orang lain yang tidak dibawa ke balai rung Istana? Mereka dengan hati kesal menjawab memang masih ada tukang perahu. Tun Sri Lanang pun kemudian dihadapkan kehadapan Sultan. Dia mencoba cincin kerajaan itu, ternyata sangat cocok untuk jari kelingkingnya. Karena itu kemudian Sultan Iskandar Muda menobatkan Tun Sri Lanang menjadi Raja pertama Samalanga. Namun sewaktu mereka pulang, Tun Sri Lanang tiba-tiba dibuang di tengah laut di kawasan Laweung. Kejadian tersebut kemudian dikenal dalam masyarakat Samalanga sebagai Peristiwa Laut. Beruntung, Tun Sri Lanang berhasil diselamatakan oleh Maharaja Lela Keujroeun Tjoereh (Laweung). Setelah menyelamatkan Tun Sri Lanang, Maharaja Lela Keujroeun Tjoereh bersama T. Nek Meuraksa Panglima Nyak Doom menghadap Sultan. Mereka memberitahukan penemuan Tun Sri Lanang di tengah laut. Mendengar berita tersebut, Sultan sangat murka, dia kemudian memerintahkan Maharaja Goerah bersama T. Nek Meuraksa Panglima Nyak Doom dan Maharaja Lela Keujroeun Tjoereh menemani Tun Sri Lanang ke Samalanga. Hakim Peut Misee dan sebelas orang panitia persiapan keuleebalangan pun akhirnya dihukum pancung oleh sultan. Tun Sri Lanang menjadi Uleebalang pertama Samalanga pada tahun 1615-1659 M. Dia mangkat dan dimakamakan di desa Meunasah Leung Samalanga. Pada masa pemerintahannya, dia berhasil menjadikan Samalanga sebagai pusat pengembangan Islam di kawasan Timur Aceh. Tradisi itu terus berlanjut sampai sekarang. Samalanga menjadi kubu kuat Sultan Aceh terakhir, Sultan Muhammad Daud Syah menentang penjajahan Belanda. Disamping ahli pemerintahan, Tun Sri Lanang juga dikenal sebagai pujangga melayu. Karyanya yang monumental adalah kitab Sulalatus Salatin. MenurutWinstedt, kitab ini dikarang
mulai bulan Februari 1614 dan selesai Januari 1615 sewaktu menjadi tawanan di kawasan Pasai. Ketika di Batu Sawar, Tun Sri Lanang sudah mulai menyusun penulisan sejarah Melayu berasaskan kitab Hikayat Melayu yang diberikan oleh Yang Dipertuan di Hilir, Raja Abdullah. Dia kembali menyambung pekerjaanya menyusun dan mengarang kitab sejarah Melayu tersebut di Aceh sampai lengkap. Apabila kita baca mukaddimah kitab ini, tidak jelas disebutkan siapa pengarang yang sebenarnya. Dan ini biasa dilakukan oleh pengarang -pengarang dahulu yang berusaha menyembunyikan penulis aslinya terhadap hasil karangannya. Bahkan menyebutkan dirinya sebagai fakir. Kalimat aslinya sebagai berikut : Setelah fakir allazi murakkabun ‘a;a jahlihi maka fakir perkejutlah diri fakir pada mengusahakan dia, syahadan mohonkan taufik ke hadrat Allah, Tuhan sani’il - ‘alam, dan minta huruf kepada nabi sayyidi’l ‘anam, dan minta ampun kepada sahabat yang akram; maka fakir karanglah hikayat ini kamasami’ tuhu min jaddi wa abi, supaya akan menyukakan duli hadrat baginda. Maka fakir namai hikayaat ini “ Sulalatus Salatin” yakni “pertuturan segala Raja-Raja”. Keturunan Tun Sri Lanang di Aceh yaitu Tun Rembau yang lebih dikenal dengan panggilan T. Tjik Di Blang Panglima Perkasa menurunkan keluarga Ampon Chik Samalanga sampai saat ini dan tetap memakai gelar Bendahara diakhir namanya seperti Mayjen T. Hamzah Bendahara. Sedangkan sebagian keturunannya kembali ke Johor dan menjadi bendahara (Perdana Menteri) disana seperti Tun Abdul Majid yang menjadi Bendahara Johor, Pahang Riau, Lingga (1688- 1697). Keturunan Tun Abdul Majid inilah menjadi zuriat Sultan Trenggano, Pahang, Johor dan Negeri Selangor Darul Ihsan hingga sekarang ini.
No comments:
Post a Comment