Salafiyah: Generasi (Ter)baik Umat Muslim
Pasca
reformasi, kebebasan berekspresi dalam berbagai bidang dirasa menemukan
titik terangnya, pun dengan beberapa ‘gerakan keagamaan’ yang semula
dikungkung kebijakan pemerintah yang otoriter kini lebih leluasa
berkembang mengenalkan dirinya di depan dua ratus juta masyarakat
Indonesia, bahkan tak jarang meng klaim kebenaran hanya datang dari
kelompoknya. Fenomena ini belakangan menjadi sebuah warna baru yang
‘menguji’ keberadaan kelompok (firqah) keagamaan yang sudah
lebih dulu ada, banyak dikenal serta diamalkan oleh sebagian besar
masyarakat Indonesia. Sebut saja kelompok yang menamakan dirinya dengan
sebutan salafi, secara garis besar kelompok ini merindukan kemajuan dan
wajah Islam yang hadir pada masa awal. Namun bila ditilik lebih dalam
banyak ‘misinterpretasi’ makna salafi yang banyak berkembang pada saat
ini (Ali Jum’ah: 2012).
Istilah salafiyah dalam terminologi Islam, merujuk pada tiga generasi pertama umat muslim. Pada
perjalanannya kemudian, istilah ini digunakan oleh Jamaluddin al
Afghani dan Muhammad Abduh sebagai bentuk perlawanan keagamaan terhadap
‘penindasan’ yang dilakukan barat sekaligus mereformasi pemikiran orang
Islam yang dinilai ‘ternodai’ oleh praktek tahayul, bid’ah dan khurafat.
Disaat yang hampir bersamaan, madzhab yang dinisbatkan pada Syekh
Muhammad bin Abd Wahhab (Wahaby) yang berkembang di wilayah Najd dan
jazirah Arab memiliki karakteristik yang sama dalam hal ‘membersihkan’
umat muslim dari tahayul, bid’ah dan khurafat. Tersebutlah kemudian
kelompok wahabiyah dengan nama salafi, disamping untuk membangun kesan
bahwa pemikiran madzhab ini tidak hanya berhenti pada Syekh Abd Wahhab,
tetapi seolah terus berlanjut pada masa tiga generasi Islam awal,
disamping sebagai bentuk show out kepada
pengikutnya bahwa seakan madzhab ini memiliki akidah, pemikiran dan
metode yang sama dengan kaum Salaf dalam memahami dan mengamalkan Islam.
Generasi
Islam awal (Salaf: S besar), kalau dicermati tidak pernah sekalipun
mendeklarasikan diri sebagai sebuah identitas unik maupun wujud social
dan epistemologi yang berbeda dengan kelompok muslim lain. Sikap
toleransi, saling menghargai pendapat yang lain, tidak mudah
membidahkan, menghargai perbedaan pun banyak terjadi pada masa itu. Oleh
karena itu tidak pantas menyandarkan beberapa permasalahan parsial
dengan mengatakan “ini adalah sikap kaum salaf” (Ali Jum’ah: 2012).
Mengikuti (ittiba’) kaum Salaf, bukan berarti memenjarakan diri
dalam arti harfiah kata-kata yang pernah mereka ucapkan atau
sikap-sikap parsial yang pernah mereka lakukan, tetapi jauh daripada
itu, mengikuti mereka berarti kembali kepada apa yang yang mereka
gunakan untuk menghasilkan keputusan, seperti metodologi penafsiran atau
penakwilan teks al Qur’an, memahami sunnah Nabi, dasar-dasar dalam berijtihad, melakukan ijma’, qiyas
dan lain sebagainya, sebagaimana telah dikonsepsikan oleh para ulama
(Amir Syarifudin: 2009). Kembali pada al Qur’an dan hadis bukan berarti
menelan mentah-mentah teks tersebut tanpa metodologi yang jelas dalam
mengupasnya, tetapi ada dialektika yang seimbang antara teks dan keadaan
yang menjadi objek kajiannya (Harun Yahya: 2001).
Berbicara tentang interpretasi teks keagamaan (al Qur’an dan Hadis) berkenaan dengan hukum ‘amaliah
yang dikerjakan sehari-hari, sebagian besar ulama telah
mengkosepsikannya dalam beberapa karya masterpiece kitab-kitab fiqh,
disadari atau tidak, ulama sebagai ‘pewaris nabi’ dalam proses
pengambilan hukum (istinbat al hukmi) merujuk pada keragaman pendapat para tabiin
yang kemudian merujuk pada keragaman pendapat sahabat, hal ini semakin
terlihat bahwa transmisi keilmuan (baca: metode penggalian hukum) para
ulama dilakukan secara mutawatir sebagaimana transmisi pada
qira’at-qira’at dalam al Qur’an dan sanad dalam hadis Nabi. Para ulama
yang menggunakan metode pengambilan hukum sebagaimana dilakukan oleh
generasi muslim awal, dalam hal ini termasuk dalam kategori ulama ahlussunnah wal jamaah (Ali Jumu’ah; 2012)..
Sampai
pada titik ini, perlu dikaji ulang kiranya, ketika ada kelompok yang
menamakan dirinya dengan sebutan salafi (atau kelompok sejenis dengan
label ‘islam sesungguhnya’), tetapi kemudian tidak menghargai perbedaan
pendapat, mudah membidahkan, menyebarkan kebencian, menuduh ulama
sebagai ladang kesesatan, menggunakan kekerasan sebagai jalan da’wah, tidak mengakui ‘peleburan’ agama dan budaya, bahkan (maa ‘adzaAllah) mengkafirkan sesama muslim hanya dengan bermodalkan terjemahan al Qur’an dan pemahaman dangkal atas hadis Nabi. Astaghfirullah,
semoga kita bukan bagian dari umat manusia yang mudah menyebarkan
kebencian, selalau diberikan hidayah atas apa yang kita lakukan serta
menjadi umat muslim yang selalu mengayomi sesama sebagaimana telah
disampaikan oleh Nabi dalam hadis riwayat imam Bukhar:
حَدَّثَنَا
سَعِيدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ الْقُرَشِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أَبِي
قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو بُرْدَةَ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بُرْدَةَ
عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْإِسْلَامِ أَفْضَلُ قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Telah
menceritakan kepada kami Sa’id bin Yahya bin Sa’id Al Qurasyi dia
berkata, Telah menceritakan kepada kami bapakku berkata, bahwa Telah
menceritakan kepada kami Abu Burdah bin Abdullah bin Abu Burdah dari Abu
Burdah dari Abu Musa berkata: ‘Wahai Rasulullah, Islam manakah yang
paling utama?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Siapa
yang Kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya”.
Wallahu a’lam bi shawab
jauharuddin
No comments:
Post a Comment