Rencana Bandung Menjadi Ibukota Hindia Belanda

Sudah tak terhitung kiranya artikel dan tulisan yang mengangkat kota Bandung. Namun demikian, Bandung seakan-akan menjadi bahan yang tak habis-habisnya diperbincangkan. Begitu pula yang membahas sejarah Bandung, atau Bandung Tempo Doeloe. Tidak kurang sejarawan yang telah menulisnya, tetapi tetap saja tema ini selalu menarik perhatian. Penulis selalu memercayai bahwa sejarah itu mengajar yang dalam istilah latinnya berarti “historia docet.” Melalui sejarah kita dapat belajar dan menimba pengalaman, sehingga yang baik akan kita teruskan, sementara yang jelek, tentunya tidak akan kita ulangi lagi di masa depan.

Bandung, -seperti pernah diterangkan Haryoto Kunto- apabila dibandingkan dengan kota-kota pesisir utara Pulau Jawa tergolong berusia muda. Namun demikian, kota satu ini justeru memiliki sejarah dan peranan yang kaya, baik di tingkat nasional maupun regional. Inilah salah satu keunikannya. Pendirian Kota ini pun sepertinya tidak “direncanakan” terlebih dahulu. Ketika Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang berkuasa pada waktu itu, yakni Herman Willem Daendels membangun Jalan Raya Pos (Groote Posweg) dan sedang merambah hutan menyusuri kaki Gunung Tangkubanparahu, ternyata Ibukota Kabupaten Bandung yang sedianya akan dilalui oleh jalur jalan tersebut letaknya jauh di arah selatan.Jaraknya lebih kurang 11 km, dari Kota Bandung sekarang (Pikiran Rakyat, 27 September 1999). Maka lewat surat perintah Gubernur Jenderal Daendels tersebut, Ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Dayeuhkolot di tepi Sungai Citarum ke tepi Sungai Cikapundung. Itulah titik awal pendirian kota Bandung.

Selanjutnya untuk beberapa periode, Bandung tidak banyak mengalami perubahan. Namun, alih-alih mati, lambat laun kota ini berkembang menjadi sebuah kota yang penting. Terlebih akibat meletusnya Gunung Gede menyebabkan Ibukota Priangan dipindahkan dari Cianjur ke Bandung oleh Residen Van der Moore pada tahun 1864. Kemudian di tahun-tahun berikutnya, jalur kereta api yang melewati kota ini juga berhasil di bangun. Adanya Undang-Undang Agraria tahun 1870 membuat bermunculannya perkebunan  di seputaran kota Bandung dan berhasil menggeliatkan sektor ekonomi. Di sektor pendidikan didirikan juga sekolah-sekolah semisal tahun 1866 Kweekschool (Sekolah Guru), pendidikan Pamongpraja MOSVIA dan OSVIA pada tahun 1879, dan di tahun 1920 dibuka Technische Hoogesschool (THS) yang menjadi cikal bakal ITB di kemudian hari. Bahkan, fakta yang lebih mengejutkan –seperti dikutip dari artikel Haryoto Kunto-adalah adanya rencana pemindahan Ibukota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung ! Di tahun 1916, sebuah studi dari HF Tillme, seorang ahli kesehatan lingkungan di Semarang menyimpulkan bahwa kondisi dan kualitas fisik perkotaan di pantai utara Pulau Jawa kurang sehat dan tidak ideal sebagai pusat administrasi pemerintahan, oleh karena itu diusulkan untuk dipindahkan ke pedalaman yang udaranya lebih nyaman dan segar, dan Bandung menjadi salah satu alternatifnya (Pikiran Rakyat, 27 September 1999).

Dengan usulan ini, beberapa instansi pemerintahan sudah mulai dipindahkan ke Bandung, dan direncanakan semua instansi ini akan ditempatkan dan ditampung dalam sebuah kompleks perkantoran yang luas dan megah yang sekarang dikenal sebagai Gedung Sate. Tetapi, rencana tersebut akhirnya gagal, lantaran krisis global atau “malaise” di tahun 1930-an. Kendati demikian, Bandung kemudian terus berkembang menjadi salah satu kota yang diperhitungkan.

Sejarah pula mencatat, banyak pejuang-pejuang kemerdekaan yang memulai kiprahnya di kota yang cantik ini. Sebut saja Bung Karno. Di kota inilah semangat nasionalisme, dan paham “marhaenisme” yang menjadi platform perjuangannya lahir. Di kota ini pula Bung Karno berhasil menelurkan salah satu karyanya yang mengguncang dunia penjajahan, yaitu “Indonesia Menggugat.” Setelah era kemerdekaan, Bandung tetap memegang peranan yang penting. Pada April 1955, Bandung menjadi tuan rumah Konferensi Asia Afrika (KAA) yang gaungnya menggema ke seluruh dunia. Para pemimpin dari ke dua benua tersebut, yakni dari Negara-negara Asia dan Afrika berkumpul di Bandung membahas nasibnya dalam percaturan dunia yang pada waktu itu sudah terbagi ke dalam dua Blok, Blok Amerika Serikat dan Blok Uni Sovyet. Melalui Konferensi inilah kemudian ditumbuhkan kesadaran untuk mempererat hubungan serta kemitraan di antara Negara-negara Asia dan Afrika. Dan sejarah mencatat pula, KAA 1955 di Bandung menjadi salah satu pencetus terbebasnya belenggu Negara-negara Asia dan Afrika dari penjajahan.

Lima puluh tahun kemudian, yakni tepatnya April 2005 lalu, Pemimpin-pemimpin Asia dan Afrika sekali lagi berkumpul di Bandung untuk memeringati sekaligus menghidupkan kembali semangat Dasasila Bandung. Bandung, tidak lagi menjadi milik urang Sunda dan Indonesia. Bandung sesungguhnya telah menjadi milik dunia, bersyukurlah !

Ahmad R

No comments: