Perang Kamang 1908 Dalam Persektif Memori Kolektif: Sebuah Studi Aksi Gerakan Sosial
Sebenarnya, ini kejadian yang kebetulan. Kebetulan saya ditelpon oleh seorang senior di kampus dulu. Kebetulan juga saya dapat kesempatan mempresentasikan makalah ini. Makalah ini saya presentasikan dalam Workshop Penulisan Sejarah Kampung dan Memori Sosial Perang Kamang 1908, kemarin. Penulisan ini menggunakan metode Sejarah Lisan (Oral History)
Dilihat dari kontek sejarah, perlawanan rakyat Kamang terhadap penjajah Belanda tahun 1908 bukanlah sebuah peristiwwa yang berdiri sendiri. Peristiwa ini merupaakan rangkaian panjang dari peristiwa sejarah sebelumnya yang teerjadi di bumi Minangkabau. Peristiwa itu adalah perang Paderi 1821-1837. Namun tahun 1837, perang Paderi dapat di tumpas oleh Belanda.
Perang Kamang adalah perang terbuka yang meletus tahun 1908. Peristiwa ini merupakan salah satu puncak dari kemelut suasana anti penjajahan rakyat Kamang dalam menentang penjajahan Belanda. Deskripsi dari peristiwa ini melukiskan secara nyata bentuk semangat dan pengorbanan rakyat Kamang, baik kalangan adat, agama, cerdik pandai, pemuda, bahkan kaum ibu dalam menulangpunggungi perlawanan mengusir Belanda. Ini dari segi politis dapat dikatakan sebagai bukti sumbangan yang pernah ditujukan kepada Bangsa Indonesia.
Adapun teori yang dipakai dalam tulisan ini adalah teori gerakan sosial dari Horton dan Hunt tentang perilaku kolektif masyarakat. Horton dan Hunt (1993) merumuskan tahapan gerakan social sebagai berikut:
(1) tahapan ketidak tentraman, karena ketidakpastian dan ketidakpuasan semakin meningkat di dalam masyarakat.
(2) Tahapan perangsangan, yakni ketika perasaan ketidakpuasan sudah sedemikian besar, penyebab-penyebab sudah diidentifikasi, dan tindak lanjut sudah diperdebatkan.
(3) Tahapan formalisasi, yakni ketika para pemimpin telah muncul, rencana telah disusun, para pendukung telah ditempa, dan organisasi serta taktik telah dimatangkan.
(4) Tahapan institusionalisasi, yakni ketika organisasi telah diambil alih dari para pemimpin terdahulu, sistem telah diperkuat, dan ideology serta program telah diwujudkan. Tahapan ini merupakan kegiatan aktif berupa aksi-aksidari gerakan social.
(5) Tahapan pembubaran, yakni ketika gerakan tersebut berubah menjadi organisasi tetap atau justru mengalami pembubaran.
B. PEMBAHASAN
Tahapan ketidak tentraman karena ketidakpuasan yang semakin meningkat dimasyarakat. Ketidak tentraman ini disebabkan oleh diberlakukannya system tanam paksa kopi (cultuur steelsel). Sistem tanam paksa kopi ini dikenal dengan nama Rodi Kopi. Belanda berusaha memonopoli perdagangan kopi. Perdagangan kopi langsung maupun tidak langsung diawasi ke pusat-pusat produksi. Belanda berusaha agar perdagangan kopi sepenuhnya dikontrol dan dengan biaya murah.
Dalam pelaksanaannya, system tanam paksaa kopi ini terus mendapat tantangan dari rakyat dimana-mana. Rakyat bekerja tanpa bayaran dengan biaya makan tanggung sendiri, maka lahirlah pemberontakan Batipuh tahun 1842. Namun, system tanam paksa kopi ini malah diperluas. Aksi-aksi penentangan berikutnya dilakukan diwilayah Onder Afdeling Agam Tua pada tahun 1895 berupa demostrasi rakyat Magek dan Salo ke rumah asisten Residen di Bukittinggi. Tentara Belanda didatangkan untuk menyelesaikan kasi tersebut, dan beberapa orang pimpinan demontrasi tersebut ditangkap.
Demikianlah bahwa system tanam paksa kopi yang dilaksanakan oleh pemerintah Belanda sejak tahun 1847 sangat bertentangan dengan Plakat Panjang yang tidak menguntungkan Belanda. Kehidupan rakyat semakin sengsara dengan adanya system ini. Rakyat dipaksa bekerja berminggu-minggu lamanya, seperti membuat jalan ke Palupuah, Bangkinang, dan tempat-tempat lainnya. Akibat kerja paksa rodi, pembangunan nagari menjadi terbengkalai. Rakyat menderita dengan kehidupan yang serba susah karena tenaga dan hari habis di serap oleh kerja paksa. Rodi ini benar-benar dilakukan rakyat dengan terpaksa, mereka menunggu saat yang tepat untuk melakukan perlawanan.
Tahapan perangsangan, yakni ketika perasaan ketidakpuasan sudah sedemikian besar, penyebab-penyebab sudah diidentifikasi, dan tindak lanjut sudah diperdebatkan.
Tujuan Belanda untuk memperoleh keuntungan dengan system tanam paksa kopi di Sumatera Barattelah mengalami kegagalan. Kegagalan itu disebabkan karena rakyat yang tidak senang kepada Belanda telah menjual kopi-kopi mereka kepada pedagang-pedangan gelap dan malah menjual sendiri ke pantai timur Sumatera. Karena itu tahun 1908, pemerintah Belanda menghapus system tanam paksa kopi dan digantikan dengan kewajiban rakyat membayar pajak dengan uang (Belasting).
Pemberlakuan peraturan Pemungutan Pajak (Incomstan Blastting) pada tanggal 1 Maret 1908. Pada tanggal 16 Maret 1908 Tuan Kontrolir sebagai pejabat Onder Afdeling Agam, J. Westennenk memanggil semua Laras ke kantornya. Dalam pertemuan itu J.Westennenk menekankan para laras supaya peraturan pemungutan pajak (blastting) dilaksanakan. Dari sekian banyak larashadir, hanya laras Kamang melalui Gadang Datuak Palindih yang menyanggah dengan tegas dan gigih bahwa peraturan pemungutan pajak tidak bisa dilaksanakan karena membebani rakyat. Rapat menjadi kacau, dan tidak menghasilkan permufakatan dari pelaksanaan peraturan itu. Para laras berjanji akan membicarakan hal itu dengan pihak ninik mamak, alim ulama, dan cerdik pandai terlebih dahulu. Tanggal 2 Juni 1908, di mesjid Taluak di Kamang diadakan rapat yang dihadiri oleh utusan-utusan dari Agam Tuo, Lubuak Baasung, Manggopoh, Padang Panjang, Batu Sangkar dan lain-lain. Rapat langsung dipimpin oleh M. Saleh Datuak Raji Panghulu. Semua utusan sepakat dan dengan kebulatan tekad melancarkan akssi untuk menantang peraturan pajak.
Tahapan formalisasi, yakni ketika para pemimpin telah muncul, rencana telah disusun, para pendukung telah ditempa, dan organisasi serta taktik telah dimatangkan.
Adapun tokoh utama yang menentang kebijakan pemerintah Belanda ii adalah Haji Abdul Manan. Haji Abdul Manan adalah seorang putra asli Kampung Tangah, Pakan Sinayan, Kamang. Ia lahir tahun 1935, anak kedua dari Haji Ibrahim, seorang murid dari Tuanku Nan Renceh, yang setelah perang di Minangkbau selesaimenyelamatakan diridengan kawan-kawannya ke Malaysiadan tinggal di Sungai Ujung Negeri Sembilan. Setelah Negeri agak aman, Haji Ibrahim kembali ke Kamang menjemput anaknya Saidi (nama kecil Haji Abdul Manan) untuk dibawa ke Malaysia. Sedangkan, kakak Saidi, Halimah tidak dibawanya. Di Malaysia Saidi didik dengan ilmu agama dan ilmu umum.
Pada tahun 1876, Haji Ibrahim pergi ke tanah suci menunaikan rukun Islam ke lima dengan membawa serta anaknya Saidi. Ketika itulah ananknya berganti nama menjadi Haji Abdul Manan. Haji Ibrahim juga berwasiat kepada Haji Abdul Manan supaya kembali ke kampung halaman untuk meneruskan perjuangan moyangnnyaTuanku Nan Renceh dengan Harimau Nan Salapan untuk mengusir Belanda yang mennyengsarakan rakyat.
Pada tahun 1877, Haji Abdul Manan bersama Syeikh Janggut (Haji Jabang) pulang ke kampung bersama keluarga masing-masing. Haji Abdul Manan tidak langsung pulang ke Kamang, tetapi singah dulu dan menetap beberapa bulan di rumah isterinya ddi Bukit Batabuh. Disini ia mempelajari situasi dan kondisi bersama kepala nagari Bukit Batabuh. Ia juga berkunjung ke rumah Marzuki Datuk Bandaro Panjang Laras Banuhampu yang diketahui sangat menentang Belanda yang menindas rakyat dengan tanm paksa kopi dan kerja rodi. Pertemuan tersebut menghasilkan kata sepakat bahwa mereka akan sama-sama menentang pemerintah Belanda.
Setelah menetap di Kamang, dengan bantuan kakaknya Haji Musa, maka pengaruh Haji Abdul Manan makin meluas di kalangan masyarakat Minangkabau. Orang-orang banyak berguru kepadanya, tidak saja mempelajari ilmu agama tetapi juga mempelajari beladiri, pencak silat, permainan pedang dan sebagainnya. Pengaruhnya yang luas ini disebabkan karena Haji Abdul Manan tidak segan-segan bergaul dengan semua lapisan masyarakat termasuk preman atau parewa.
Tahapan institusionalisasi, yakni ketika organisasi telah diambil alih dari para pemimpin terdahulu, system telah diperkuat, dan ideologi serta program telah diwujudkan. Tahapan ini merupakan kegiatan aktif berupa aksi-aksidari gerakan sosial.
Hari Senin pagi tanggal 15 Juni 1908, sebagai hari perlawanan paling hebat di Sumatera Barat dalam menentang sistem blasting. Peristiwa ini diawali ketika seorang warga masyarakat Magek datang ke kantor Laras Warido dengan maksud untuk membayar blastting. Dia langsung dihadang serombongan warga setempat dan diancam akan dibunuh kalau rencana itu diteruskan juga, karena perbuatan ini terang-terangan melanggar tekad bersama untuk menentang Belanda. Mengetahui duduk masalahnya, Laras Kenagarian Magek Warido sangat marah, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Dia langsung berangkat ke Bukittinggi untuk melaporkan peristiwa itu kepada J.Westennenk dan meminta supaya para pembangkang segera ditangkap. Hari itu juga melalui telepon, J.Westennenk menghubungi Gubernur Sumatera Barat Hecler untk mohon petunjuk mengenai tindakan yang harus diambil. J.Westennenk lantas mengumpulkan 160 orang pasukan pilihan yang kemudian dibagi menjadi 3 kelompok.
Menjelang sore pasukan Belanda segera bergerak dari Bukittinggi menuju Kamang dari tiga jurusan:
1. Pasukan pertama yang terdiri dari 30 orang, masuk dari Gadut terus menuju Pauh, dipimpin dua orang letnan yaitu Heine dan Cheriek.
2. Pasukan kedua, yang terdiri dari 80 orang serdadu dipimpin J.Westennenk bersama Kapten Lutsz, Letnan Leroux, Letnan Van Keulen, Dahler dan Aspiran Kontrolir Beeuwkes, masuk dari Tanjung Alam terus ke Tilatang.
3. Pasukan ketiga yang berkekuatan 50 orang serdadu di bawah pimpinan Letnan Boldingh dan Letnan Schaap, masuk lewat Biaro dan terus menuju Salo.
Di sepanjang jalan terjadilah perlawanan rakyat di antaranya yang cukup hebat dalah yang dilakukan Dt.Parpatiah di Magek, dimana dalam pertempuran itu Dt. Parpatiah sendiri tewas ditembus senjata lawan. Pasukan yang masuk dari Tanjung Alam dan Gadut bertemu di Kamang Mudiak Sekarang, sedangkan yang datang dari Biaro, sesampai di Kubualah membelok ke Magek, dimana ikut pula Warido, Kepala Penghulu Tigo Lurah, Laras Banuhampu, Menteri Klas I dan seorang polisi, untuk memudian bergabung ke Kamang Mudik. Pasukan inilah yang terlihat pertempuran dengan pasukan rakyat di bawah pimpinan Dt. Parpatiah. Dalam pertempuran D. Parpatiah berhasil membunuh Laras Warido sebelum dia sendiri tewas.
Pada senja hari, Belanda mulai bergerak mengepung rumah H. Abdul Manan untuk menangkapnya, karena pada masa itu mereka beranggapan, yang menjadi dalang pergolakan adalah kaum agama. Tetapi H. Abdul Manan berhasil meloloskan diri dan segera menemui Dt. Rajo Penghulu di Kamang (sekarang Kamang Hilir) untuk berkonsultasi. Akhirnya bertiga dengan Kari Mudo dan beberapa orang pemuka lainya, mereka langsung mengadakan rapat kilat untuk membahas perkembangan yang sangat kritis dan menyusun kesiagaan seluruh rakyat guna mengobarkan perang sabil.
Pukul 12.00 diterima informasi, pasukan Belanda berkumpul di suatu tempat perbatasan Kamang dan Kamang Mudik sekarang, yang bernama Kampuang Tangah, menunggu hari siang, selain dikelilinggi pesawahan yang membuat pandangan bebas ke arah jalan raya satu-satunya, juga penduduknya tidak seberapa. Ini disadari benar oleh Dt. Rajo Penghulu. Setelah ditinggal pergi H. Abdul Manan yang kembali ketempat semula, dia mulai menyiapkan pasukan tempur, Beduk, tong-tong dan puput tanduk berkumandangan di tengah malam sunyi pertanda perang bakal dimulai.
Pasukan rakyat langsung dipimpin Dt. Rajo Penghulu, terlebih dahulu berkumpul di Masjid Taluak untuk menerima penjelasan dan beberapa instruksi penting, sebelum membaginya dalam beberapa kelompok. Kelompok yang paling besar adalah yang dipimpin Khadi Abdul Gani. Setelah selesai sembahyang berjamaah, lalu ditutup dengan pekik Allahu Akbar dan Laailahillah, mereka pun berangkatlah menuju Kampung Tangah.
Jadi di sini jelaslah apa yang disebut dengan Perang Kamang itu ialah suatu pertempuran rakyat yang datang menyerbu. Pasukan rakyat yang meninggalkan Masjid Taluakn, bahkan ikut dalam pertempuran itu, menyebutkan sesampai mereka di Kampuang Tangah, mereka segera bersembunyi di rumpun padi yang sedang menguning sambil merayap mendekati pasukan Belanda. J.Westennenk dari tempatnya berdiri dengan pasukannya, di antara remang-remang malam telah melihat semua ini, bahkan juga sudah mengenal bayangan Dt. Rajo Penghulu bersama dengan pemimpin lainya. Tetapi dia masih belum mau bertindak karena dia masih punya harapan untuk membujuk rakyat. Lantas dia berteriak menyuruh supaya pasukan rakyat pulang kembali mengingat kekuatan kompeni cukup banyak dengan personil dan senjatanya. Dia juga mengingatkan segala kemungkinan yang bisa terjadi, sekiranya pasukan rakyat masih bermakud terus maju. Tetapi seruan itu segera pula dijawab Dt.Rajo Penghulu, pasukan rakyat tidak akan mundur setapakpun dan bersedia mati syahid.
Dalam kesimpulan salah satu laporan resmi J.Westennenk kepada Gubernur Jendral Ven Heutsz di Batavia melalui surat kawat tanggal 17 Juni 1908, disusul laporan pada Gubernur Sumatera Barat Heckler No.1012 tanggal 25 Juni 1908, dia melukiskan suasana malam itu, seumpama satu malam dimana jurang antara ras manusia dengan segala kekuasaanya, sudah tidak ada lagi. Yang ada, cuma kelompok kemarahan yang saling bertentangan di dalam diri manusia-manusia yang bertatap dengan buas melalui kerlipan bintang-bintang di langit, siap untuk saling bunuh. Dari arah segerombolan orang-orang yang berdiri di pinggir jalan raya, sekali-sekali terdenar gemuruh suara Ratib dan Allahu Akbar, yang semuanya berjumlah tidak kurang dari lima ratus orang. Sedangkan beberapa orang lagi yang sedang merayap dalam padi, tidak dapat dihitung. Tapi pasti meliputi ratuan orang pula.
J.Westennenk datang mendekati Sersan Booman yang sedang mengawasi kegelapan. Tiba-tiba terdengar suara tembakan. Sersan Boorman yang bertugas mengawasi wilayah timur, hampir bersamaan dengan J.Westennenk mencabut pistol, ketika gelombang serbuan pertama begitu saja sudah muncul di depanya. Orang-orang itu bagai datang dari balik kegelapan disertai pekik kalimat-kalimat Tuhan yang mendirikan bulu roma. Di tangan mereka berkilauan berbagai macam senjata, mulai dari pisau, parang, lembing dan beberapa jenis senjata lainya. Dalam beberapa jam saja, terjadilah perang basosoh yang dahsyat, karena serdadu Belanda banyak yang tidak sempat menembakkan senjatanya.
Gemercing senjata, letusan senapan, jerit kesakitan dan rintih kematian memenuhi udara malam maka dalam sekejap Kampuang Tangah yang tenang itu berubah menjadi medan bangkai dan telaga darah. Dalam laporan resmi J. Westennenk tersebut, juga dijelaskan, telah terjadi lebih dari delapan kali serangan serupa dalam waktu hampir berturut-turut dan semakin mengerikan. Ratusan orang penyerbu terus saja maju sekalipun dihujani tembakan. Kegelapan malam menyebabkan sulit bagi serdadu Belanda membidik sasaran secara tepat, sehingga sebahagian besar dari mereka yang berhasil tiba di tempat para serdadu bertahan, langsung membabat lawan bagai kesetanan. Satu demi satu prajurit Belanda tewas dengan tubuh penuh luka-luka mengerikan. Sersan Boorman tak henti-hentinya berteriak membangkitkan semangat anak buahnya yang semakin kendor. Di antara kepulan asap mesiu, Dr.Justesen kelihatan merunduk-runduk ke arah beberapa orang serdadu yang merintih akibat luka-luka yang di deritanya. Tetapi dari arah tidak kurang dari 50 meter, lagi-lagi puluhan penyerbu sudah datang pula. Kelihatan dua orang serdadu mengacungkan senjata dalam jarak beberapa langkah menyongsong mereka, namun sebelum sempat melepaskan tembakan kedua serdadu itu terjungkal di tengah kilauan senjata tajam. Perwira kesehatan Dr.Justesen dan sersan Boorman secara bersama-sama berusaha keras mencegah serdadu yang sudah mulai mundur, ketika menyaksikan seseorang penyerang membelah kepala seorang sersan. Sementara itu dari arah lain, beberapa orang penyerbu berhasil memasuki sekelompok tentara. Terdengar beberapa kali tembakan disusul jatuhnya empat orang di antara mereka. Tetapi belasan orang yang luput, langsung menghabiskan para serdadu Belanda tanpa ampun.
Demikian pada pertempuran yang berlangsung sampai pukul 2.00 dini hari itu, J Westennenk sebagai pelaksana kolonial terlindung oleh M. Saleh Dt. Rajo Penghulu sebagai pemuka perang. Pasukan rakyat memperoleh kemenangan gemilang lantaran semangat dan koordinasi yang tinggi. Tentara Belanda berhaisl dibuat kucar kacir. Tetapi J.Westennek sempat meloloskan diri dan minta bantuan ke Bukittinggi. Pasukan inilah nantinya yang telah menimbulkan malapetaka terhadap pasukan rakyat, karena bertepatan fajar menyingsing mereka datang dalam jumlah yang sangat besar, sehingga babak kedua perang basosoh, segera meledak kembali. Akan tetapi lantaran pasukan itu terlalu banyak dan segar-segar, dilengkapi pula dengn senjata modern, akhirnya pasukan rakyat terpaksa mengundurkan diri. Dan bersamaan itu, berhentilah kegaduhan suasana perang bagai disapu dari bumi Kampung Tangah. M.Saleh Dt. Rajo Penghulu bersama lebih 70 anggota pasukan rakyat, syahid sebagai pahlawan bangsa, di antaranya terdapat dua orang wanita yaitu Siti Anisah dan siti Asiah. Selain itu yang mengalami cacat, tercatat 20 orang.
Dt.Rajo Penghulu yang sedang bertempur menghadapi dua orang Belanda, lantas berpaling dan berbalik kearah istrinya. Namun sebelum berhasil ia mencapai tubuh istrinya itu, kembali terdengar sebuah letusan senjata api. Dt. Rajo Penghulu terhuyyung-huyung beberapa langkah kemudian jatuh tepat disamping tubuh Siti Asiah dan gugur sebagai pahlawan bangsa. Akan halnya Haji Abdul Manan, menurut buku Pemberontakan Pajak karangan Rusli Amran, beliau ditangkap Belanda keesokan harinya (16 Juni 1908) dan langsung ditembak mati dikampugn kelahiran beliau, Bansa. Jadi ibandingkan dengan 425 orang tentara Belanda yang mati maka kekalahan tragis dalam memperjuangkan hak dari kekuasaan penjajah ini dapat dianggap sebagai bukti bahwa dinamika revolusi telah menumbuh suburkan kodrat yang pantas dinilai ole sejarah dunia.
Tahapan pembubaran, yakni ketika gerakan tersebut berubah menjadi organisasi tetap atau justru mengalami pembubaran.
Beberapa hari setelah peritiwa perang Kamang, pemerintah Belanda memerintahkan serdadu dan polisi dengan dibantu oleh Laras Kamang dan Laras Tilantang serta kepala Nagari untuk mengadakan pembersihantotal terhadap penduduk yang memberontak terhadap pemerintah Belanda. Sikap keras juga ditunjukan terhadap orang-orang yang memimpin perang Kamang tanggal 15 Juni 1908 itu. Jika mereka melawan maka mereka boleh ditembak mati dengan disertai ancaman rumahnya dibakar terhadap penduduk yang menyembunyikan para pejuang perang Kamang. Ancaman dan propaganda ini melemahkan semangat para pejuang perang Kamang dan beberapa diantaranya ada yang menyerahkan diri. Namun, adapula yang masih bertahan dan bersembunyi dibukit-bukit jauh dari pantauan pemerintah Belanda.
Pada tanggal 21 Juni 1908 terjadi penangkapan terhadap para pemimpin pejuangperang Kamang yang antara lain Haji Ahmad Kampung Budi Kamang Mudiak, Kari Mudo Kamang Hilir, Tuanku Pincuran Babukik, Datuak Hijau Air Tabik, Datuak Perpatih Pauh, Datuak Rajo Parik Panjang, Pendekar Mukmin. Dan ternyata, Pendekar Mukmin alias Hendik Schouen alias Paduko Mudo atau Pandeka Balando ini adalah orang Belanda yang ikut berjuang bersama rakyat. Mereka diangkut dan ditahan dipenjara Padang dan sesudah diadili perkaranyaoleh pengadilan Belanda, merekapun dijatuhi hukuman:
1. Haji Ahmad, Kari Mudo, Pendekar Mukmin dihukum penjara masing-masing 7 tahun dan diasingkan ke makasar.
2. Tuanku Pincuran dan Datuak Maarajo dihukum 3 tahun dan diasingkan ke penjara Malang.
3. Datuak Hijau dibuang ke Singkil Aceh.
4. Datuak Perpatih Pauh dihukum 3 tahun di penjara Padang.
Dalam pembuangannya di Makasar, Haji Ahmad Marzuki menulis Syair atau Nazam perang Kamang. Isi dari syair itu bercerita tentang nilai sejarah dan keberanian para pejuang perang Kamang tahun 1908 dalam mebela hak rakyat dari penindasan kaum penjajah Belanda. .
C. PENUTUP
Dari pembahasan yang telah dijelaskan sebelum ini, maka dapat disimpulkan bahwa dilihat dari kontek sejarah, perlawanan rakyat Kamang terhadap penjajah Belanda tahun 1908 bukanlah sebuah peristiwwa yang berdiri sendiri. Peristiwa ini merupaakan rangkaian panjang dari peristiwa sejarah sebelumnya yang teerjadi di bumi Minangkabau. Peristiwa itu adalah perang Paderi 1821-1837. Namun tahun 1837, perang Paderi dapat di tumpas oleh Belanda. Perang Kamang adalah perang terbuka yang meletus tahun 1908. Peristiwa ini merupakan salah satu puncak dari kemelut suasana anti penjajahan rakyat Kamang dalam menentang penjajahan Belanda. Deskripsi dari peristiwa ini melukiskan secara nyata bentuk semangat dan pengorbanan rakyat Kamang, baik kalangan adat, agama, cerdik pandai, pemuda, bahkan kaum ibu dalam menulangpunggungi perlawanan mengusir Belanda. Ini dari segi politis dapat dikatakan sebagai bukti sumbangan yang pernah ditujukan kepada Bangsa Indonesia.
D. KETERANGAN SUMBER LISAN
1. Inyiak M.Yuzar Kari Mudo, pemerhati sejarah, wawancara tanggal 27 September 2013
2. Inyiak Datuak Rajo Upeh, tokoh adat, wawancara tanggal 27 September 2013
RUJUKAN
1. Monografi Nagari Kamang.
2. Perlawanan Rakyat Kamang menentang Belanda Tahun 1908. Panitia Peringatan Perang Kamang Ke 94 tahun 2002.
3. St. Dt. M. Machudum, (1952), Riwajat perdjuangan bangsa Indonesia dalam masa 150 tahun, Masa Baru (dahulu A. C. Nix).
5. Djurip, (1996), Kajian naskah Pemimpin ke syurga dan Syair Perang Kamang yang kejadian dalam tahun 1908, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
7. Amran, R., (1988), Pemberontakan pajak 1908, Sumatra Barat. Bag. ke. 1: Perang Kamang, Gita Karya.
8. Abel Tasman, Nita Indrawati, Sastri Yunizarti Bakry, Mestika Zed, (2003), Siti Manggopoh, Yayasan Citra Budaya Indonesia.
9. Sjafei, S & Hamzah, T., (1964), Kamang 1908, Djakarta: TintamasSafriyansyah
No comments:
Post a Comment