Seni Grafis Islami dalam Sejarah Aceh

A. Pendahuluan

Sebuah karya seni, khususnya seni rupa, mengandung nilai-nilai estetika sesuai dengan budaya yang melatarbelakangi karya tersebut. Misalnya karya seniman muslim yang menghindari bentuk-bentuk berperspektif karena menimbulkan kesan hidup. Hal ini jelas karena keyakinan sang seniman muslim bahwa Islam tidak meganjurkan penggambaran makhluk hidup yang bernyawa. Oleh karena itu dalam masyarakat muslim berkembang desain dekorasi floral dan kaligrafi Islam.

Para seniman muslim mengimprovisasi seni rupa dekorasi floral dengan bentuk-bentuk simetris dan diametral sehingga timbullah aliran seni rupa tersendiri yang tidak kurang indahnya dari seni rupa yang berkembang di Eropa dan Barat secara umum. Dengan demikian seni rupa Islami memiliki gaya dan cita rasa estetis tersendiri yang oleh Sayyed Hoseyn Nasr dikaitkan dengan spiritualitas Islam itu sendiri. Istilah spiritualitas dalam Islam dikaitkan dengan rūh yang merujuk kepada spirit atau ma‘nā, dengan demikian istilah itu sebenarnya menunjuk kepada hal-hal yang bātinī (bagian dalam/interioritas). Artinya, ia berada dalam dimensi batin tradisi Islam sehingga seseorang harus mencari cikal bakal seni Islam, dan kekuatan yang menciptakan dan menopangnya sepanjang masa (Nasr 1993, 16).

Salah satu wujud dari seni rupa adalah seni desain grafis. Perkembangan yang pesat di bidang seni desain grafis ditandai dengan munculnya berbagai aplikasi komputer sebagai alat menuangkan gagasan. Merujuk pernyataan Nasr di atas, seni rupa Islami tidak akan kehilangan ciri dan karakternya meski dituangkan dalam media grafis. Berangkat dari tesis ini, maka bidang desain grafis menjadi salah satu bagian di mana seni Islami itu diekspresikan.

B. Seni Grafis Islami

Telah disinggung pada awal tulisan ini, bahwa dalam masyarakat muslim berkembang desain dekorasi floral dan kaligrafi Islam. Desain ini diekspresikan pada Mushaf Alquran berupa iluminasi sebagaimana terlihat pada mushaf-mushaf kuno. Di kerajaan Islam nusantara, iluminasi juga dipakai pada surat-surat kerajaan. Selain itu seni dekorasi floral juga diekspresikan dalam bentuk ukiran pada mesjid, atau mimbar mesjid sebagaimana terlihat pada mesjid-mesjid kuno di seantero nusantara.

Iluminasi adalah istilah khusus dalam ilmu penaskahan (kodikologi) untuk menyebut gambar dalam naskah. Istilah itu pada awalnya digunakan sehubungan dengan penyepuhan emas pada beberapa halaman naskah untuk memeroleh keindahan. Pada perkembangannya, iluminasi yang semula mengacu pada gambar yang membingkai teks sebagai gambar muka (frontispiece), tidak lagi sekadar hiasan tetapi menjadi meluas maknanya karena juga berkaitan dengan teks (Folsom 1990, 40).

Iluminasi mushaf pada umumnya terdiri atas tiga bagian, yaitu: 1) iluminasi pada bagian awal, tengah dan akhir Alquran. Biasanya disebut Umm al-Qur’ān, nisf al-Qur’ān, dan khatam al-Qur’ān; 2) iluminasi pada kepala surat Alquran; 3) iluminasi pada pias (pinggir halaman) berupa tanda juz, nisf, hizb, nisf al-hizb dan lain-lain. Iluminasi pada awal, tengah, dan akhir yang dipandang penting sering dalam bentuk kombinasi sepasang halaman yang membentuk komposisi tunggal (Fadhal A.R., dan Rosehan Anwar 2005, xv).

Selain pada Alquran, iluminasi juga dipakai pada surat-surat resmi kerajaan. Untuk konteks nusantara, naskah beriluminasi dalam bentuk surat pernah didaftar dalam dua buku, yakni Golden Letters: Writing Traditions of Indonesia (Surat Emas: Budaya Tulis di Indonesia) dan The Legacy of the Malay Letter (Warisan Warkah Melayu). Kedua buku tersebut adalah karya Annabel Teh Gallop yang terbit pada tahun 1991 dan 1994. Menurut Mu’jizah, surat beriluminasi berbahasa Melayu termegah adalah surat Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) yang dikirim kepada Raja James I di Inggris. Surat ini ditulis pada tahun 1615 M (Mu’jizah 2009, 11). Menurut Annabel Teh Gallop, surat yang panjangnya hampir satu meter itu sangat kaya dengan motif bunga popi (poppy) atau madat (papaver) yang ditaburi emas (Gallop 1991, 35).

Adapun seni dekorasi floral yang diukir dapat dilihat pada beberapa masjid kuno di Aceh. Antara lain Masjid Tuo al-Khairiyah, Tapaktuan, Aceh Selatan yang didirikan pada tahun 1276 H/1855 M (Sabil 2009, 11). Ukiran dekorasi floral yang lebih tua dapat dilihat pada Masjid Indrapuri, Aceh Besar yang dibangun pada masa Sultan Iskandar Muda, sekitar tahun 1207 H (1618 M), (Sabil 2009, 31).

Ukiran yang ada pada mimbar Masjid Indrapurwa juga menunjukkan suatu ciri tersendiri. Pada gaya ukiran telihat adanya pengaruh dekorasi floral Persia. Mungkin saja pembuatnya terinspirasi dari gaya Persia atau Timur Tengah lainnya, namun tidak mengikutinya secara penuh. Bentuk-bentuk yang diadopsi sebagai unsur disain tidak mengambil pola yang lazim digunakan seniman Persia, tapi pola-pola floral lokal yang dekat dengan keseharian orang Aceh.

Pada mimbar ini juga tampak pola lekukan yang lazim ditemukan pada disain arsitektur dan pola dekorasi Hindu yang ditolerir dan berkembang menjadi bagian seni budaya Islam-Aceh. Hal ini dapat diasumsikan sebagai gaya lokal yang dipengaruhi unsur senibudaya Hindu, tapi telah jauh meninggalkan pola-pola kearcaan. Kiranya ini menjadi bukti lain akan kuatnya pengaruh Islam terhadap masyarakat Hindu yang bermukim di Aceh.

Selain pada masjid dan mimbar masjid, seni dekorasi floral juga dapat ditemukan pada rumah (rumah adat Aceh). Umumnya motif dekorasi floral ini memiliki gaya yang senada, antara lain dapat dilihat pada rumah peninggalan almarhum Teungku Chik Awe Geutah. Rumah ini berada di Desa Awe Geutah, Kuta Blang, Aceh Utara.

Dari uraian ini terlihat bahwa seni rupa Islam dikembangkan lewat kaligrafi dan dekorasi floral. Hal ini juga berlaku di Aceh yang telah menerima Islam sejak dari abad ke 13. Dari itu seni rupa di Aceh tidak jauh dari seni rupa yang berkembang di belahan lain dunia Islam. Sampai di sini penulis cenderung berkesimpulan bahwa seni rupa asli Aceh adalah seni dekorasi floral dengan motif-motif yang telah dikembangkan sejak ratusan tahun lampau.

C. Penutup

Untuk konteks kekinian seni rupa khas Aceh ini dapat dikembangkan lebih jauh dalam dunia desain grafis. Kiranya pengembangan seni rupa yang berakar dari budaya Aceh yang Islami lebih baik daripada mengadopsi gaya seni asing lainnya. Alasannya karena ini meneguhkan identitas Islam dan keacehan kita, sementara gaya asing akan memarginal budaya kita sendiri.

Sudah sepatutnya para seniman muslim mempertahankan budaya sendiri dengan cara mengangkatnya dalam karya dengan medium yang beragam. Misalnya dalam bidang desain logo. Bagi penulis hal ini sangat efektif, sebab ia mengisi ruang publik dalam setiap lini, sejak dari pamflet, sampai pada kop surat.


jabbar S

No comments: