Putroe Neng: Antara fakta dan legenda

Putroe Neng: Antara fakta dan legenda
Komplek makam Putroe Neng. Zulkifli Anwar
Putroe Neng merupakan salah satu kekayaan sejarah Aceh yang berubah menjadi mitos.
DI pinggiran jalan Medan Banda–Aceh, tepatnya di Desa Blang Pulo, Kecamatan Muara Dua, Lhokseumawe, terdapat sebuah  komplek pemakaman yang dipagar setengah tembok dan besi berwarna hijau. Sekilas tidak ada yang mencolok dari keberadaan pemakaman itu.

“Komplek Perkuburan Putroe Neng.” Sebuah pamplet menjelaskan siapa pemilik jasad yang terbaring di komplek tersebut. Hampir setengah dari keliling balik pagar terdapat tambak yang tidak terpakai, bahkan mungkin lebih pantas jika disebut rawa-rawa.

Di depan makam juga terdapat pamplet lainnya. “Dipugar tahun 1978 Dengan Dana APBN – Dipugar tahun 2004 Dengan Dana APBD”. Sebuah tulisan yang menunjukkan bahwa makam itu telah diakui Pemda Aceh Utara sebagai makam bersejarah.

Meski letaknya berada di pinggiran jalan negara, banyak juga masyarakat luar Kota Lhokseumawe yang tidak mengetahui pasti makam siapa itu. Bahkan warga sekitar saja terkesan tidak peduli. Itu terbukti dari tidak terurusnya lingkungan sekeliling makam. Belum lagi, sering terciumnya bau bangkai yang begitu menusuk hidung membuat kaki enggan melangkah dekat.

Yang tertuang jelas dalam catatan sejarah saja diabaikan, apalagi yang kisahnya hanya menjadi pelengkap sejarah Kerajaan saja. Bagi masyarakat pedesaan, sejarah Putroe Neng dipercaya ada, walaupun yang mereka tahu hanyalah bersifat legenda yang dikisahkan secara regenerasi dari nenek moyang.

Jangankan masyarakat Aceh, sebagian masyarakat di Aceh Utara sendiri tidak mengetahui perihal makam itu. Karena selama ini yang sering terdengar dan diziarahi hanyalah makam para Raja Pase dan makam Putri Ternama (Putroe Nahrisyah).

Sebenarnya perjalanan hidup sesosok wanita yang tubuhnya kini bersemayan di balik makam bercat putih yang telah kusam itu sangat menarik untuk diketahui.

Meski ia bukanlah bangsawan atau putri raja. Tapi kecantikan, keberanian dan kekejamannya saat masih menjadi panglima perang wanita bajak laut dalam menyerang beberapa kerajaan yang ada di Aceh masa lampau sangatlah patut disimak.

M. Junus Djamil dalam Seminar Pekan Kebudayaan Aceh II yang berlangsung pada 21 hingga 25 Agustus 1972 lalu menjelaskan tentang sejarah keberadaan Kejaraan Lamuri yang tertuang dalam Hikayat Raja Masah, Hikayat Syiah Hudan (Tgk Lam Peuneu’euen), riwayat asal usul sukee lhee reutoh, riwayat Putroe Neng (Raja Seudue), serta hasil penelitian Ceng Oi dari Cina pada tahun 1919.

Dikisahkan, kerajaan Islam Jaya didirikan oleh para pengungsi dari Kerajaan Indra Jaya, sebuah kerajaan yang berpusat di Bandar Paton Bie (Seudu). Mereka terpaksa mengungsi ke tanah datar nan subur di sebelah Gunung Geurutee saat guna menghindari serangan angkatan laut Negeri Cina. Di tempat itu mereka bercocok tanam palawija jenis pala dan merica.

Tidak lama berselang datang serombongan mubaligh di bawah pimpinan Meurah Pupok Teungku Sagop. Mereka berhasil mengembangkan Islam. Meurah Pupok lantas diangkat menjadi raja di Kerajaan Islam Jaya. Di antara raja yang terkenal namanya dari keturunan Meurah Pupok adalah Meureuhhom Onga (Almahrum Onga).

Merunut catatan sejarah, migrasi penduduk Kerajaan Islam Jaya ini berasal dari Lamuri yang disebut Lam Oeriet. Daerah ini merupakan bandar kerajaan Indra Purba yang raja-rajanya berasal dari Dinasti Syahir Dauliy dan merupakan salah seorang yang termasuk dalam raja Kerajaan Aceh dari sukee imum peut.

Pada 1024 Masehi, Lamuri diserang oleh Raja Raendra Cola Mandala dari India. Menghadapi serangan itu, Lamuri membuat pertahanan di Mampreh. Penduduk negeri itu diungsikan ke Gle Wueng. Serangan Raja Raendra itu pun dapat dipatahkan. Riwayat perang tersebut disusun dalam Hikayat Prang Raja Kula.

Dalam hikayat itu disebutkan, setelah perang terjadilah pepecahan akibat sebagian wilayah direbut seperti Indra Jaya atau Kerajaan Seudu yang diserang oleh armada Cina, pimpinan Liang Khie dengan Laksamana O Nga. Beberapa generasi Liang Khie telah menguasai Negeri Seudu atau Panton Bie (Cantoli).

Prajurit China yang telah menduduki kerajaan Indra Jaya, menyerang kerajaan Indra Purba yang diperintahkan oleh Maharaja Indera Sakti. Saat itu Kerajaan Lamuri kedatangan gerombolan bajak laut Cina yang dipimpin oleh seorang wanita bernama Nian Nio Lian Khi. Pimpinan bajak laut ini terkenal cantik namun sangat kejam. Seluruh anak buahnya memiliki ilmu bela diri yang sangat tinggi.

Nian Nio Lian Khi bermaksud menaklukkan Kerajaan Lamuri namun ditentang oleh penguasa setempat yang menyebabkan peperangan. Menghadapi bajak laut yang sudah berpengalaman, tentara kerajaan terdesak hebat. Secara kebetulan pada masa itu datang rombongan Syeh Abdullah Kan’an yang dikenal sebagai Teungku Lampeuneuen atau Syiah Hudan. Dia membawa ajaran Islam ke daerah tersebut bersama rombongannya sekitar 300 orang dari Bayeuen, Peureulak. Rombongan yang dibawanya merupakan murid-murid Dayah Cot Kala.

Atas izin Maharaja Indra Sakti, rombongan mubaligh itu menetap di daerah Mampreh. Rombongan inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan sukee lhee reutoh. Suatu ketika Syiah Hudan menawarkan bentuannya kepada Maharaja Indra Sakti untuk menangkis serangan Putroe Neng. Tawaran itu diterima Raja Indra Sakti hingga akhirnya kelompok Syiah Hudan pun berperang dengan pasukan Liang Khie yang dimenangi oleh Syiah Hudan.

Setelah kekalahannya, ratu bajak laut itu pun berdamai dengan Syiah Hudan dan memutuskan memeluk agama Islam. Begitu juga dengan raja dan pasukannya. Nian Nio Lian Khi kemudian memakai nama Putroe Neng setelah memeluk Islam.

Kisah Putroe Neng kemudian menjadi legenda masyarakat Aceh, khususnya bagi orang-orang tua di pelosok negeri. Dalam cerita turun temurun itu, dikisahkan saat tampuk pemerintahan Aceh masih dipimpin oleh seorang raja hiduplah seorang gadis remaja yang sangat cantik. Namanya Putroe Neng.

Tidak seorang lelaki pun dapat menolak pesona kecantikannya. Banyaknya lamaran yang datang namun ditolak secara halus dan santun karena tidak mampu menaklukkan hatinya. Hingga akhirnya sebuah lamaran dari pemuda tampan menggetarkan hatinya. Merasa menjadi lelaki paling beruntung, pesta pernikahan meriah pun disiapkan mempelai pria.

Hingga akhirnya malam yang dinanti itu tiba. Layaknya pasangan suami istri lainnya, mereka melewati malam dengan penuh kasih. Tak satu pun di antara mereka menyadari petaka akan terjadi. Tak ada firasat atau petanda yang ada hanya bahagia.

Usai menikmati malam pertama, suami Putroe Neng ditemukan tewas dengan tubuh membiru. Hanya dalam hitungan 24 jam usai menikah, Putroe Neng menjanda. Tidak ada yang mengetahui penyebab kematian suaminya.

Status janda kembang yang disandangnya membuat banyak lelaki terpikat. Bermacam cara mereka lakukan untuk merebut simpatinya, hingga ia luluh. Pernikahan kembali dilangsungkan. Namun hal yang tidak diinginkan kembali terjadi. Suami keduanya kembali ditemukan terkapar tidak bernyawa di atas ranjang pengantin dengan kondisi tubuh yang sama.

Kabar itu menyebar cepat. Dugaan bermunculan bahwa Putroe Neng pembawa sial. Para orang tua yang memiliki anak lelaki pun mulai ketakutan mendengar rumor itu. Tapi lagi-lagi, paras jelita sang janda tak dapat ditepis oleh para pemuda yang menganggap nasib tragis suami-suami Putroe Neng itu hanya kebetulan belaka. Namun seluruh pria yang mengawininya terpaksa merenggang nyawa di malam pertama, bulan madu mereka.

Setelah 99 suaminya tewas dengan kondisi tubuh membiru, akhirnya datanglah seorang ulama yang hendak menjadikan Putroe Neng sebagai istri. Namanya Teungku Syiah Hudam. Awalnya Putroe Neng menolak dengan halus karena tidak menginginkan pria tersebut bernasib sama seperti 99 suaminya yang lain. Dia menyadari ada racun (bisa) mematikan dalam tubuhnya yang membunuh suami-suaminya.

Namun Tgk Siah Hudam terus memaksa. Dia menyerahkan semuanya kepada tuhan yang membuat hati Putroe Neng melunak. Pernikahan kembali digelar. Ia berharap ini adalah pernikahan yang terakhir. Harapan tersebut terkabul karena ternyata Tengku Syiah Hudam memiliki ilmu dan doa untuk mengambil semua racun mematikan yang ada di tubuh istrinya. Sejak saat itu Putroe Neng hidup berbahagia dengan suami terakhirnya sampai ajal menjemput. [

No comments: