Alquran ‘Melangitkan’ Manusia

ALQURAN memiliki fungsi substansial untuk membumikan kandungannya dalam kehidupan manusia dan melangitkan manusia. Ini hanya dapat dilakukan bila manusia mampu membaca Alquran dengan baik. Untuk maksud tersebut, Kitab Suci ini menghadirkan “jamuan” Ilahiyyah dan ilmiah. Jamuan Ilahiyyah menginspirasikan penguatan manusia sebagai makhluk Allah yang saling menghormati dan menghargai serta sebagai khalifah yang telah dibekali ketauhidan dan pengabdian.

Ketauhidan yang penulis maksudkan adalah ketika Allah Swt bertanya dalam rahim orang tuanya: “Bukankah Aku Tuhan Kalian?”. Lalu, calon manusia menjawab: “tentu”. Pembekalan pengabdian itu secara eksplisit tersebut dalam Qs. Adz-Dariyat: “Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56). Jamuan Ilahiyyah ini diharapkan akan mempertajam kecerdasan emosional dan spiritual.

Jamuan Ilmiyyah dibekali dengan pembinaan wawasan keilmuan yang kemudian akan melahirkan kecerdasan intelektual. Untuk pembekalan ini, Allah swt mengajarkan kepada Adam al-asma’ (nama-nama) dan wawasan universalitas sebagaimana firmanNya: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika memang kamu orang yang benar! Mereka menjawab: Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Allah berfirman: Hai Adam, beritahukan kepada mereka nama-nama benda ini. Maka setelah diberitahukannya nama-nama benda itu, Allah berfirman: Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan.” (QS. Al-Baqarah: 31-33).

Pembekalan ini yang membedakan antara manusia dengan malaikat, itu pula kemudian menjadi rahasia keunggulan kekhalifahan ini. Kapasitas Adam as dan keluasan wawasannya telah melalui fit and proper test. Allah swt persilakan kepada para malaikat melakukan ujian kompetensi sebagai bentuk seleksi khalifah itu. Ternyata Adam as mampu melewati tahap-tahap dengan sukses. Malaikat pun kemudian mengakui kemampuan khalifah ini dalam ungkapan: laa ‘ilma lanaa illa maa ‘allamtana (kami tidak mengetahui kecuali apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami).

Realitas kehidupan manusia memberikan sinyal bahwa perubahan zaman dan tempat (space and time) berhajat kepada peningkatan intelejensia, manejerial dan stabilitas batin yang lebih baik. Kepada umat Nabi Muhammad saw, Allah bekali Alquran sebagai ma’dubatullah ‘alal ardhi (jamuan Allah di atas muka bumi). Sebagai hidayah, Alquran memandu manusia ke jalan yang lurus dalam menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Kitab Samawi terakhir ini sangat sarat makna, bahkan tidak pernah habisnya kandungan ilmu dan hikmah di dalamnya. Lanafidal bahru qabla antanfada kalimaatu rabbi, demi ungkap Alquran yang bermakna bahwa akan habis air lautan (sebagai tinta untuk menulis kandungannya) sebelum selesai kalam Tuhan itu (diuraikan). Alquran adalah menara iman dan ilmu yang membutuhkan “tangga” menggapainya.

 Membuka tabir
Wahyu pertama diturunkan kepada Rasulullah saw membuka tabir menuju alam spiritualitas yang sangat tinggi. Ketika Jibril as mendatangi Rasulullah saw di Gua Hira. Jibril mengatakan: Iqra’ (Bacalah!), Nabi saw menjawab: Maa anaa bi qaari’ (Saya tidak dapat membaca). Diulang lagi: Iqra’ (Bacalah!), Nabi saw menjawab: Maa anaa bi qaari’ (Saya tidak dapat membaca). Pengulangan selanjutnya: Iqra’ (Bacalah!), Nabi saw menjawab: Maa anaa bi qaari’ (Saya tidak dapat membaca). Lanjut Jibril berucap: Iqra’ bismi rabbikal ladzi khalaq (Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan).

Menurut Nasaruddin Umar --seperti disampaikannya pada satu khutbah Jumat ketika mengawali MTQ Nasional ke-25 di Batam, Kepulauan Riau, 2014-- pengulangan Iqra’ tidaklah hampa begitu saja, tetapi memiliki makna yang sangat signifikan untuk mengelevasi spriritualitas manusia. Iqra’ secara harfiah berarti “bacalah” terulang empat kali tersebut memiliki makna sebagai berikut: Pertama, iqra’ bermakna how to read (bagaimana membaca). Ini merupakan inisiasi membaca secara tekstual. Tingkatan ini merupakan gerbang pertama dalam memahami ciptaan Allah Swt. Orang akan melihat indahnya ciptaan Tuhan, gunung, bulan, bintang, rerumputan dan seterusnya. Tilawatil Quran dengan alunan suara yang indah menempati peringkat awal dalam membaca Alquran. Selama ini, Alquran hanya dipadai pada alunan suara semata tanpa melakukan tahapan lebih lanjut. Tingkat kemanusiaan (humanity) belum terelevasi bila tidak mengeksplorasi rahasia kandungan di dalamnya secara lebih komprehensif.

Kedua, iqra’ bermakna how to learn (bagaimana mempelajari). Pada tingkatan ini, peningkatan tingkatan bacaan tidak hanya sekadar melihat benda-benda yang ada, tetapi mengidentifikasi keindahan dan kecantikannya. Burung-burung yang terbang akan terbaca betapa indahnya kebersamaan gerak dan ayunan sayap-sayapnya. Lautan dengan gelombang ikut mewarnai dinamika kehidupan di samudera yang terhampar luas. Pada tingkatan ini, pembaca memperoleh kesan indah, molek, menarik, mempesona dan seterusnya dari bentuk luar.

Ketiga, iqra’ bermakna how to understand (bagaimana memahami). Secara fisik, memang benda-benda alam ini memberikan kesan tersediri. Ayam, kambing, sapi, kerbau dan seterusnya secara fisikal memberikan kesan variatif. Lebih dari itu, bagaimana memahami lebih lanjut ciptaan Allah tersebut. Seorang guru pernah bertanya kepada muridnya, kenapa ekor sapi lebih panjang daripada ekor kerbau. Rupanya secara hikmatullah terjawab Allah menciptakan kerbau memiliki tanduk yang lebih panjang sehingga dapat menghalau nyamuk dan hal lain yang mengganggu dari depan. Kerbau karenanya tidak memerlukan ekor untuk mengurusi sampai ke bagian depan. Beda dengan lembu, ekornya mengawal depan dan belakang secara bersamaan. Itu sebabnya butuh ekor yang panjang.

Keempat, iqra’ bermakna how to elevate the spirituality (mentabburi Wahyu dengan nama Tuhan). Membaca pada tingkatan ini semakin mendekatkan diri kepada Allah. Orang yang berposisi tingkatan akan bertambah imannya dengan banya membaca ayat-ayat Allah Swt sebagaimana firmanNya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (Yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia.” (QS. Al-Anfal: 2-4)

Betapa banyak orang yang masuk Islam karena men-tadabburi ayat-ayat Allah swt baik yang tersurat maupun tersirat. Ketika membaca Alquran al-Karim: Kullama nadhijat juluuduhum baddalnaahum juludan ghairaha (setiap kali terbakar kulit dalam neraka, maka Kami ganti kulit lain). Kenapa kulit? Bukan daging atau tulang. Rahasia Allah hendak mengajarkan kepada manusia bahwa kulit memiliki pain receptor (penerima rasa sakit). Seorang profesor kulit kemudian masuk Islam karena membaca tanda-tanda ini dengan nilai-nilai spiritualitas sehingga mendekatkan diri kepada Allah swt.

Alquran harus mampu dibumikan dalam kehidupan manusia melalui tahapan-tahapan ini, mulai dari how to read, how to learn, how to understand dan how to elevate the spirituality. Dengan ini pula, Alquran akan ‘melangitkan’ manusia bila ditelaah sesuai dengan stages tersebut. ‘Manusia langit’ ini kiranya mampu menghadirkan kesejahteraan, ketenteraman dan kebahagiaan dalam kehidupan dunia dan akhirat.

* Fauzi Saleh, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh. Email: fauzisaleh09@gmail.com

No comments: