Mencari Wajah Aceh di Cermin Sejarah

Mencari Wajah Aceh di Cermin Sejarah
Teuku Umar
SETIAP pikiran saya tertuju ke Aceh, acapkali pikiran itu melayang saat berkali-kali saya berziarah ke kuburan Teuku Umar. Satu kuburan yang terletak di satu sudut Aceh Barat itu, terasa oleh saya berbicara banyak hal. Terutama, sebagai ureueng Aceh, di sana terdapat pesan atas apa yang harus dikejar oleh seorang Aceh.

Ya, Umar sendiri, di masa mudanya memang terlihat sebagai anak muda biasa-biasa saja yang terobsesi dengan kemegahan. Ia bergaul dengan para saudagar, hingga kalangan raja, untuk menjawab kehausannya di masa muda itu. Tapi, dari pergaulan itu juga, ia belajar banyak hal, hingga menemukan tujuan, bahwa sebagai ureung Aceh, maka ia harus melakukan sesuatu untuk negerinya.

Pada zamannya, kebutuhan paling penting, tentu saja melepaskan Aceh dari birahi para penjajah. Maka, akhirnya ia mulai lebih serius hingga benar-benar serius, berjuang lewat pikiran dan aksinya.

Lewat pikiran-pikirannya, ia mampu mempengaruhi pikiran dan gairah juang ureung Aceh di masa itu. Mereka bangun, berdiri, dan berlari mengejar apa yang menjadi kebutuhan mendesak saat itu. Mereka memiliki kekuatan ibarat langit dengan bumi dibanding dengan pemerintah colonial yang berambisi menguasai mereka.

Tak heran, seorang budayawan nasional sekelas Pram angkat topi atas keberanian ureung Aceh. Ia menyimpulkan, Aceh mampu berjuang dan bertarung bahkan saat ia hanya tinggal sendiri. Meski, Pram membahasakan dengan menyebut, bahwa Aceh memiliki kekuatan secara individu. Suatu apresiasi terhadap kemandirian. Tentu, itu hal yang pantas dibanggakan.

Tapi, menyimak sudut pandang Pram tentang karakter masyarakat Aceh pun, di sisi lain, masih ada hal yang perlu dikritisi. Bahwa, jika itu menjadi kekuatan orang Aceh, namun itu juga yang merupakan kelemahan masyarakat Aceh. Sebab hal itu juga berpotensi membentuk masyarakat Aceh menjadi benar-benar individualis, egois, dan mungkin narsis—selayaknya dongeng Narciscus di Yunani yang mati karena terlalu kagum pada diri sendiri.

Ada hal kontras hari ini dengan fase sejarah ketika Teuku Umar berjibaku dengan penjajah, ya, dalam memilah hal itu. Secara individu, ia adalah karakter yang keras dan tegas. Tak ada yang menampik kebandelannya dari sejak kanak-kanak yang gemar berkelahi.

Bagaimana saat Umar beranjak usia yang kian matang? Ia mampu mensinergikan usianya dengan pemahamannya. Bahwa, selain kekuatan di dalam dirinya, juga yang berada di sekelilingnya pun adalah kekuatan. Kekuatan itu adalah masyarakatnya.

Yang ia lakukan adalah mendidik lingkungannya untuk membaca keadaan, memahami keadaan, dan mengambil sikap di tengah keadaan itu. Sehingga, muncul satu gerakan yang bertujuan untuk perlawanan.

Yang mereka lawan, dalam bahasa sederhana, adalah penjajah. Tapi riilnya, mereka melawan pihak yang lupa memanusiakan manusia. Mereka melawan pihak yang mendudukkan diri seolah berada di atas manusia lain. Mereka bangun, mengingatkan dengan caranya, bahwa kita manusia yang berdiri di tanah dan memakan apa-apa yang tumbuh dari tanah.

Umar dan pengikutnya tak merasa inferior di depan Belanda yang pada zaman itu relatif lebih modern dan lebih terdidik. Pada saat ilmu pengetahuan begitu berkembang di Eropa, daratan tempat negara Belanda berada, menjadi kekuatan negara kolonial tersebut tak begitu saja melemahkan akal Umar dan masyarakatnya.

Sehingga, dengan akalnya, Umar mampu membuat Belanda dengan polos memberikan senjata. Kekuatan pengetahuan masyarakat Eropa yang berusaha merenggut “keperawanan” Aceh itu, sempat ditundukkan oleh masyarakat yang belum mengenal pendidikan modern.

Pesan yang disampaikan dari babak sejarah masa itu adalah, bagaimana membuka mata diri sendiri, namun tidak membiarkan mata masyarakat di sekeliling tertutup. Sehingga pada saat harus berjalan, sama-sama berjalan dengan mata terbuka. Sehingga potensi-potensi yang mengancam ke-Acehan itu sama-sama terlihat.

Alangkah naïf, jika yang terjadi adalah, mereka yang mampu melihat dengan baik merasa gembira di tengah begitu banyak mata yang tertutup. Sebab, mata yang tertutup, jika bukan tertidur, mungkin saja telah benar-benar mati. Selama belum benar-benar mati, tak bisa ditampik, berjalan dengan mata terbuka akan lebih baik.

Di Brasil, pernah terdapat Paulo Freire yang mencoba mengubah wajah rakyatnya lewat pendidikan. Di India, terdapat Mahatma Gandhi yang mengajarkan perlawanan dengan cara tak lazim dikenal oleh lawannya. Di Afrika Selatan, pernah muncul Nelson Mandela yang membuat orang-orang kulit hitam untuk terbuka mata atas kelebihan yang mereka miliki.

Di Aceh, hal yang tragis hari ini adalah nilai itu. Perlawanan yang cenderung diajarkan cenderung ke arah pengejaran terhadap keinginan. Syukur-syukur jika keinginan itu adalah datang dari masyarakat Aceh secara umum. Persoalannya, wajah Aceh hari ini lebih mewakili siapa?

Tragis, saat menyimak budaya baru mulai tumbuh. Sebagian yang sudah berlari dengan mata terbuka itu, hanya bernyanyi yang membuat banyak ureung Aceh kian larut tertidur. Nyanyian pengantar tidur, jelas bukan komunikasi tepat untuk menciptakan masyarakat yang benar-benar terjaga.

Mengutip cerita Paulo Freire sendiri, yang hidup dan tumbuh di tengah masyarakat miskin Brasil, ia meyakini masyarakatnya terbangkitkan saat “sama-sama bermata terbuka”. Meski yang ia lakukan berangkat dari pengalaman masa kecilnya yang akrab dengan kelaparan dan kebodohan.

Sekali waktu, Freire merasakan dirinya harus ambil bagian di tengah laksa persoalan masyarakat yang sudah ia akrabi dari kecilnya. Ia menemukan, awalnya, bahwa terdapat dua hal yang membuat masyarakatnya nyaris tak pernah bisa beranjak untuk berjalan ke depan. Hal itu adalah kemiskinan dan kelaparan.

“Saya sendiri, bahkan tak bisa memahami apa-apa karena kelaparan yang saya rasakan,” pengakuan sang filosof tersebut. “Sebenarnya saya—dan anak-anak lain di masa kecil saya—tidak bodoh. Hanya, kami menjadi kehilangan minat belajar, untuk mengetahui banyak hal yang memanusiakan diri kami sebagai manusia.”

Keadaan sosial di masanya, dikatakan pencetus pendidikan kritis itu, bahkan sempat membuat dirinya tak memiliki peluang untuk mendapatkan pendidikan. Tapi menurutnya, pengalaman yang ia simak di lingkungan masyarakatnya, memperlihatkan hubungan antara kelas sosial dengan pengetahuan. “Experience showed me once again the relationship between social class and knowledge!”

***

Hari ini, Aceh adalah bagian dari Indonesia sebagai negara eks Hindia Belanda. Sejarah, biasanya kerap memiliki pertalian. Hanya dengan mata terbuka, maka Aceh benar-benar bisa ambil bagian, agar Indonesia tidak lagi diubah menjadi Hindia Belanda. Jika tidak, kelak cerita tersisa akan selalu terulang, layaknya anak tiri dan ibu tiri yang berteriak-teriak, “Rumah ini berdiri dari tiang yang dicari ayahku di hutan, melawan macan dan ular.” Lantas lupa harus berbuat apa. Wallaahu a’lam.[]

Penulis adalah pegiat media, berdomisili di Jakarta Selatan. Twitter: @zoelfick

No comments: