‘Leiden is Lijden’
“MEMIMPIN itu menderita”, begitu kira-kira terjemahan dari tiga kata dalam judul di atas. Pepatah kuno dalam bahasa Belanda ini diucapkanpertama kali oleh Mr Kasman Singodimedjo, untuk menggambarkan kesusahan yang dialami oleh pimpinan perjuangan ketika itu. Muhammad Roem juga mengabadikan tiga kata tersebut dalam sebuah karangan yang diberi judul Haji Agus Salim, Memimpin adalah Menderita.
Kalimat singkat tersebut awalnya terlontar untuk mengisahkan keteladanan hidup dari sosok Haji Agus Salim, yang menjadi salah satu diantara pemimpin yang mau menanggung derita. Haji Agus Salim hanya salah satu di antara banyak tokoh pemimpin bangsa masa lalu yang memegang prinsip Leiden is Lijden. Masih ada sederet nama tokoh besar lainnya yang dikenal sebagai pemimpin yang berwibawa dan dikagumi dunia, namun ternyata hidup dalam penderitaan menanggung beban dan kesulitan ekonomi.
Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama RI ini pernah mengidam-idamkan untuk memiliki sepasang sepatu bermerk Bally, namun sampai wafatnya, ia belum mampu membeli sepatu idamannya tersebut. Bahkan uang pensiunnya tidak cukup untuk melunasi tagihan listrik dan telepon di rumahnya. Mohammad Nasir, dengan jabatan sebagai Perdana Menteri ketika itu ternyata harus rela untuk memakai jas yang penuh tambalan dalam setiap agenda resmi dan menghadiri undangan.
Mohammad Syarifuddin, sebagai Menteri Keuangan Republik Indonesia saat itu juga mengalami kesulitan ekonomi, bahkan kurang hanya untuk sekedarmembeli popok bayinya. Haji Agus Salim sendiri bersama keluarganya pernah tinggal di sebuah gang kecil yang sulit diakses di Jakarta, Gang Lontar Satu. Jika menuju ke gang ini atau ke rumah Agus Salim, maka harus masuk terlebih dahulu ke Gang Kernolong, kemudian masuk lagi melewati sebuah gang sempit.
Mereka adalah di antara pemimpin yang rela hidup sederhana bahkan bisa dikatakan miskin. Mereka miskin secara ekonomi, jauh dari budaya kemewahan, namun tidak dengan integritasnya. Mereka memang tidak mempunyai banyak harta, namun hal itu tidak membuat wibawa mereka berkurang sedikit pun. Ketidakcukupan harta yang mereka alami tidak lantas membuat mereka nekad mengurangi jatah rakyatnya. Justru mereka siap hidup menderita demi memajukan bangsa dan memakmurkan rakyat.
Telah berubah
Setelah sekian tahun berlalu, prinsip yang ditanamkan oleh para pemimpin di masa perjuangan telah berubah. Pemimpin hari ini bisa dipastikan adalah mereka yang hidup dengan kemewahan, dengan harta yang berlimpah, lebih dari standar layak. Mereka dimanjakan dengan beragam fasilitas nomor satu oleh negara, diberi gaji pokok setiap bulannya, juga dijejali dengan beragam tunjangan. Nyaris kehidupan mereka adalah kehidupan yang serba cukup, bahkan bisa untuk menghidupi beberapa keluarga sekaligus.
Namun, ternyata negeri ini justru menjadi negeri yang hanya bertahan dengan status sebagai negara berkembang di tangan pemimpin yang hidupnya serba bahagia ini. Jangankan untuk mengungguli capaian kegemilangan dimasa lalu, bahkan untuk sekedar menyamai dan terus mempertahankan sisa-sisa kejayaan itu terasa begitu sulitnya. Apa yang sudah negara berikan kepada mereka selama menjabat tidak berbanding lurus dengan apa yang sudah mereka abdikan untuk negara ini.
Bandingkan saja pengorbanan mereka untuk negara dengan pengorbanan negara untuk mereka hari ini. Prestasi yang telah mereka torehkan terlalu sedikit, jika tidak ingin dikatakan hampir tidak ada. Sebut saja seberapa besar peran dan pengaruh mereka dalam menjalankan roda pemerintahan di Republik Indonesia. Peran mereka dalam memberdayakan sumber daya alam yang berlimpah di negeri ini, sebagian besarnya telah diserahkan kepada pihak asing. Peran mereka dalam memberdayakan sumber daya manusia juga masih belum terlihat titik jelasnya, sehingga membuat sebagian SDM yang seharusnya potensial untuk membangun negeri justrumendapat kesempatan dan bekerja untuk memajukan negara lain.
Harapan baru
Pergantian orang-orang yang menduduki posisi para wakil rakyat setiap periode lima tahunan telah berlangsung beberapa kali dan terkesan hanya sebagai sebuah rutinitas belaka di mata masyarakat. Beberapa kali pemilu, masyarakat masih belum merasakan adanya sebuah capaian yang signifikan atau perubahan besar yang diusung oleh para wakil rakyat ini. Pemilu yang identik dengan pergantian posisi ini tidak mampu melahirkan sebuah hasil yang nyata yang langsung dirasakan oleh masyarakat.
Pemilu untuk memilih para anggota wakil rakyat untuk periode 2014-2019 baru saja selesai dilaksanakan di seluruh Indonesia. Mereka yang menang merupakan orang-orang pilihan yang masyarakat dan bangsa ini menitipkan harapan besar dipundak mereka. Mereka adalah orang yang diberi kepercayaan untuk membawa republik ini menjadi lebih baik, lebih maju, dan lebih mendapat tempat di ranah persaingan era global. Masyarakat telah menyakinkan diri bahwa dia yang mereka pilih adalah orang-orang yang mampu dan bisa untuk merealisasikan harapan semua elemen bangsa Indonesia.
Kembali ke prinsip Leiden is Lijden, maka masyarakat tidak lagi menginginkan para pemimpin bangsa hari ini menjalani hidup menderita. Masyarakat rela sebagian uang yang seharusnya menjadi haknya itu digunakan untuk membiayai para pemimpin bangsa ini. Namun yang diharapkan oleh masyarakat adalah seharusnya pemimpin bisa berbuat untuk mensejahterakan rakyat, memperjuangkan hak-hak dasar warga negara, dan memajukan bangsa. Jika harapan ini tercapai maka rakyat sudah menganggap bahwa ini sudah lebih dari cukup.
Pemimpin hari ini tidak perlu lagi untuk hidup layaknya Haji Agus Salim, Mohammad Hatta, M Nasir, Mr Syarifuddin, dan pemimpin besar masa lalu. Semua yang pernah dialami oleh pemimpin dimasa lalu hendaknya bisa menjadi cerminan bagi pemimpin hari ini. Leiden is Lijden bisa menjadi pengingat jika sewaktu-waktu pemimpin hari ini dituntut untuk mengorbankan sedikit waktu, pikiran, dan tenaga demi tugas kenegaraan. Pemimpin hari ini telah difasilitasi oleh negara sedemikian rupa, supaya mereka bisa lebih produktif berbuat untuk bangsa. Semua kelebihan yang dimiliki pemimpin hari ini, seharusnya berbanding lurus dengan kualitas dan prestasi yang mereka torehkan. Itulah harapan kita semua. Semoga!
Muhammad Ridha Basri, Alumni Dayah Modern Darul Ulum YPUI Banda Aceh, saat ini menjadi aktivis IMM Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Email: ridha.mahmud@yahoo.com
Kalimat singkat tersebut awalnya terlontar untuk mengisahkan keteladanan hidup dari sosok Haji Agus Salim, yang menjadi salah satu diantara pemimpin yang mau menanggung derita. Haji Agus Salim hanya salah satu di antara banyak tokoh pemimpin bangsa masa lalu yang memegang prinsip Leiden is Lijden. Masih ada sederet nama tokoh besar lainnya yang dikenal sebagai pemimpin yang berwibawa dan dikagumi dunia, namun ternyata hidup dalam penderitaan menanggung beban dan kesulitan ekonomi.
Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama RI ini pernah mengidam-idamkan untuk memiliki sepasang sepatu bermerk Bally, namun sampai wafatnya, ia belum mampu membeli sepatu idamannya tersebut. Bahkan uang pensiunnya tidak cukup untuk melunasi tagihan listrik dan telepon di rumahnya. Mohammad Nasir, dengan jabatan sebagai Perdana Menteri ketika itu ternyata harus rela untuk memakai jas yang penuh tambalan dalam setiap agenda resmi dan menghadiri undangan.
Mohammad Syarifuddin, sebagai Menteri Keuangan Republik Indonesia saat itu juga mengalami kesulitan ekonomi, bahkan kurang hanya untuk sekedarmembeli popok bayinya. Haji Agus Salim sendiri bersama keluarganya pernah tinggal di sebuah gang kecil yang sulit diakses di Jakarta, Gang Lontar Satu. Jika menuju ke gang ini atau ke rumah Agus Salim, maka harus masuk terlebih dahulu ke Gang Kernolong, kemudian masuk lagi melewati sebuah gang sempit.
Mereka adalah di antara pemimpin yang rela hidup sederhana bahkan bisa dikatakan miskin. Mereka miskin secara ekonomi, jauh dari budaya kemewahan, namun tidak dengan integritasnya. Mereka memang tidak mempunyai banyak harta, namun hal itu tidak membuat wibawa mereka berkurang sedikit pun. Ketidakcukupan harta yang mereka alami tidak lantas membuat mereka nekad mengurangi jatah rakyatnya. Justru mereka siap hidup menderita demi memajukan bangsa dan memakmurkan rakyat.
Telah berubah
Setelah sekian tahun berlalu, prinsip yang ditanamkan oleh para pemimpin di masa perjuangan telah berubah. Pemimpin hari ini bisa dipastikan adalah mereka yang hidup dengan kemewahan, dengan harta yang berlimpah, lebih dari standar layak. Mereka dimanjakan dengan beragam fasilitas nomor satu oleh negara, diberi gaji pokok setiap bulannya, juga dijejali dengan beragam tunjangan. Nyaris kehidupan mereka adalah kehidupan yang serba cukup, bahkan bisa untuk menghidupi beberapa keluarga sekaligus.
Namun, ternyata negeri ini justru menjadi negeri yang hanya bertahan dengan status sebagai negara berkembang di tangan pemimpin yang hidupnya serba bahagia ini. Jangankan untuk mengungguli capaian kegemilangan dimasa lalu, bahkan untuk sekedar menyamai dan terus mempertahankan sisa-sisa kejayaan itu terasa begitu sulitnya. Apa yang sudah negara berikan kepada mereka selama menjabat tidak berbanding lurus dengan apa yang sudah mereka abdikan untuk negara ini.
Bandingkan saja pengorbanan mereka untuk negara dengan pengorbanan negara untuk mereka hari ini. Prestasi yang telah mereka torehkan terlalu sedikit, jika tidak ingin dikatakan hampir tidak ada. Sebut saja seberapa besar peran dan pengaruh mereka dalam menjalankan roda pemerintahan di Republik Indonesia. Peran mereka dalam memberdayakan sumber daya alam yang berlimpah di negeri ini, sebagian besarnya telah diserahkan kepada pihak asing. Peran mereka dalam memberdayakan sumber daya manusia juga masih belum terlihat titik jelasnya, sehingga membuat sebagian SDM yang seharusnya potensial untuk membangun negeri justrumendapat kesempatan dan bekerja untuk memajukan negara lain.
Harapan baru
Pergantian orang-orang yang menduduki posisi para wakil rakyat setiap periode lima tahunan telah berlangsung beberapa kali dan terkesan hanya sebagai sebuah rutinitas belaka di mata masyarakat. Beberapa kali pemilu, masyarakat masih belum merasakan adanya sebuah capaian yang signifikan atau perubahan besar yang diusung oleh para wakil rakyat ini. Pemilu yang identik dengan pergantian posisi ini tidak mampu melahirkan sebuah hasil yang nyata yang langsung dirasakan oleh masyarakat.
Pemilu untuk memilih para anggota wakil rakyat untuk periode 2014-2019 baru saja selesai dilaksanakan di seluruh Indonesia. Mereka yang menang merupakan orang-orang pilihan yang masyarakat dan bangsa ini menitipkan harapan besar dipundak mereka. Mereka adalah orang yang diberi kepercayaan untuk membawa republik ini menjadi lebih baik, lebih maju, dan lebih mendapat tempat di ranah persaingan era global. Masyarakat telah menyakinkan diri bahwa dia yang mereka pilih adalah orang-orang yang mampu dan bisa untuk merealisasikan harapan semua elemen bangsa Indonesia.
Kembali ke prinsip Leiden is Lijden, maka masyarakat tidak lagi menginginkan para pemimpin bangsa hari ini menjalani hidup menderita. Masyarakat rela sebagian uang yang seharusnya menjadi haknya itu digunakan untuk membiayai para pemimpin bangsa ini. Namun yang diharapkan oleh masyarakat adalah seharusnya pemimpin bisa berbuat untuk mensejahterakan rakyat, memperjuangkan hak-hak dasar warga negara, dan memajukan bangsa. Jika harapan ini tercapai maka rakyat sudah menganggap bahwa ini sudah lebih dari cukup.
Pemimpin hari ini tidak perlu lagi untuk hidup layaknya Haji Agus Salim, Mohammad Hatta, M Nasir, Mr Syarifuddin, dan pemimpin besar masa lalu. Semua yang pernah dialami oleh pemimpin dimasa lalu hendaknya bisa menjadi cerminan bagi pemimpin hari ini. Leiden is Lijden bisa menjadi pengingat jika sewaktu-waktu pemimpin hari ini dituntut untuk mengorbankan sedikit waktu, pikiran, dan tenaga demi tugas kenegaraan. Pemimpin hari ini telah difasilitasi oleh negara sedemikian rupa, supaya mereka bisa lebih produktif berbuat untuk bangsa. Semua kelebihan yang dimiliki pemimpin hari ini, seharusnya berbanding lurus dengan kualitas dan prestasi yang mereka torehkan. Itulah harapan kita semua. Semoga!
Muhammad Ridha Basri, Alumni Dayah Modern Darul Ulum YPUI Banda Aceh, saat ini menjadi aktivis IMM Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Email: ridha.mahmud@yahoo.com
No comments:
Post a Comment