Mazhab Syafi’i atau Syafi’iyah?

TULISAN ini bertujuan untuk menanggapi sekaligus memberi masukan terhadap Rancangan Qanun (Raqan) Aceh tentang Pokok-Pokok Syariat Islam (Serambi, 5/9/2014). Pada Bab VI, Syariah, Bagian Kesatu, Ibadah, Pasal 14 ayat (1, 2, dan 3) berbunyi: “(1) Penyelenggaraan ibadah di Aceh wajib dijalankan sesuai dengan tuntunan Syariah; (2) Penyelenggaraan ibadah sebagaimana diatur dalam ayat (1) diamalkan dengan memprioritaskan tata cara pengamalan ibadah menurut Mazhab Syafi’i; (3) Penyelenggaraan ibadah yang tidak mengacu pada tata cara Mazhab Syafi’i dibolehkan selama dalam bingkai Mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali...”

Memulai tulisan ini, penulis mengajukan sebuah pertanyaan: Apakah Mazhab Syafi’i yang berkembang di Aceh sejalan dengan pemikiran Imam Syafi’i atau ia hanyalah pikiran ulama Syafi’iyah? Syafi’iyah adalah sebutan bagi ulama dan umat Islam yang menyatakan dirinya sebagai pengikut Imam Syafi’i. Pertanyaan ini penting, karena dalam banyak hal ditemukan adanya perbedaan antara pemahaman Islam yang difatwakan oleh Imam Syafi’i dengan pemahaman yang dikembangkan oleh ulama pengikut Mazhab Syafi’i (Syafi’iyah).

Selain itu, terjadi juga perbedaan pemahaman antarsesama ulama pengikut Mazhab Syafi’i (Syafi’iyah) dengan ulama Syafi’iyah yang lain. Karena adanya perbedaan sesama ulama yang bermazhab Syafi’i, situasi ini juga memunculkan pertanyaan lain yaitu ulama syafiiyah manakah yang harus diikuti (ketika mereka berbeda) padahal kesemua mereka menyatakan diri sebagai pengikut mazhab Syafi’i?

 Imam penengah
Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin As-sa’ib Al-Quraisyi. Ia adalah seorang ulama besar, mujtahid yang dengan kedalaman ilmunya ia disebut sebagai “ulama Quraisy yang ilmunya memenuhi semua permukaan bumi.” Ia adalah imam ketiga dari empat imam mazhab. Dari sisi peran dan corak pemikiran, Imam Syafi’i adalah penengah antara pemikiran Imam Abu Hanifah dengan Imam Malik yang fondasi fiqh kedua ulama tersebut berbeda. Pemikiran fiqh Imam Abu Hanifah sering disebut sebagai madrasah ra’yi dan Imam Malik disebut sebagai madrasah hadits. Posisi Imam Syafi’i dalam masalah fiqh adalah menggunakan kedua fondasi tersebut dengan porsi seimbang.

Imam Syafi’i lahir di Palestina. Ketika berusia 2 tahun, ibunya membawa Imam Syafii untuk menetap di Mekkah yang merupakan kota asal ayahnya. Di Kota ini ia belajar ilmu agama dari ulama yang mendedikasikan ilmunya di Masjidil Haram. Ketika berusia 7 tahun, Imam Syafii telah mampu menghafal seluruh ayat Alquran. Demi memenuhi kedahagaan ilmu, ia berangkat dari Makkah ke Madinah untuk belajar di majelis ilmu Imam Malik bin Anas. Di majelis ini, Imam Syafi’i mulai menghafal kitab hadis, Al-Muwattha’, yang dirangkum oleh Imam Malik. Ketika berusia 20 tahun, ia menuju Yaman untuk belajar dan mengabdikan ilmu. Dari Yaman ia menuju Baghdad (Irak) dan membuka majelis pengajian dan berhasil menulis sebuah kitab bernama Ar-Risalah. Di antara muridnya yang menonjol di Baghdad adalah Imam Ahmad bin Hanbal, yang kemudian dikenal sebagai Imam Hanbali.

Imam Syafi’i menetap di Baghdad hanya selama 2 tahun. Selanjutnya ia berangkat menuju Mesir dan tinggal di sana sampai wafat dalam usia 54 tahun. Ia mewariskan ilmu pengetahuan yang tak ternilai, antara lain terdapat dalam kitab Ar-Risalah yang menjelaskan tentang ilmu Ushul Fiqh. Di samping itu, ia juga menulis kitab Musnad Al-Syafi’i, berupa kumpulan hadis Nabi yang diriwayatkan olehnya; dan kitab Al-Umm yang merupakan kumpulan keterangan dan pendapat imam Syafii dalam masalah fiqh. Walaupun ia telah wafat, pikiran dan fatwanya tentang hukum Islam terus menjadi rujukan umat Islam dalam beribadah dari generasi ke generasi dan di berbagai belahan dunia, terutama umat Islam yang tinggal di wilayah Asia Tenggara.

Imam Syafi’i hidup pada abad ke-3 Hijriyah. Sementara saat ini kita hidup di abad abad ke-15 Hijriyah (abad ke-21 Masehi). Artinya, ada rentang waktu 12 abad (1.200 tahun), antara masa hidup Imam Syafi’i dengan umat Islam masa kini. Dalam rentang waktu tersebut, bermunculan ulama yang mengkaji, mengikuti dan meneruskan pemikiran ulama besar ini. Mereka menulis kitab yang mendiskusikan tata cara pelaksanaan ibadah dan menyatakan dirinya sebagai pengikut Imam Syafi’i. Ulama-ulama besar yang mengaku sebagai pengikut dan penerus pemikiran Imam Syafi’i antara lain adalah Imam Al-Nawawi (wafat 676 H), Ibnu Hajar Al-Asqalani (wafat 852 H), Jalaluddin Al-Mahalli (wafat 835 H), Ibnu Hajar al-Haitami (wafat 974 H).

Dalam perkembangannya di Indonesia, banyak pesantren dan lembaga pendidikan Islam semisal dengannya, membangun fondasi pemikiran atas kitab-kitab karangan ulama yang merupakan pengikut Imam Syafi’i. Kitab mereka menjadi rujukan utama bagi pengajar dan santri dalam kegiatan belajar mengajar juga menjadi standar penentuan tingkatan kelas santri. Kitab-kitab tersebut antara lain adalah Matan al-Taqrib karya Imam Abi Syuja’, Al-Bajuri karangan Ibrahim Al-Bajuri, I’anat al-Thalibin karya Al-Malibari, Al-Mahalli karangan Zalaluddin Al-Mahalli, Fath al-Wahab karya Syekh Zakaria Al-Anshari, dan Tuhfat al-Muhtaj karangan Ibnu Hajar Al-Haitami.

 Beberapa kontradiksi
Ada beberapa kontradiksi ditemukan ketika membandingkan praktik keagamaan (ibadah) antara muslim yang mengklaim dirinya sebagai pengikut Mazhab Syafi’i (Syafi’iyah) dengan pendapat Imam Syafi’i sendiri. Selain itu, juga terjadi kontradiksi antara satu ulama syafi’iyah dengan ulama syafi’iyah lainnya dalam banyak masalah pemahaman keagamaan. Kontradiksi ini telah banyak ditulis dan dibahas oleh ulama-ulama mutaqaddimin (terdahulu) ataupun ulama mutaakhirin (masa kini). Guna menjawab pertanyaan utama tulisan ini; Aapakah Mazhab Syafi’i yang berkembang di Aceh sejalan dengan pemikiran Imam Syafi’i atau ia hanyalah pikiran Syafi’iyah? Berikut ini penulis memperlihatkan beberapa contoh kontradiksi antara pendapat Imam Syafi’i dan ulama besar bermazhab Syafii, dengan praktek keagamaan yang dilakukan oleh sebagian umat Islam Indonesia (Aceh) masa kini.

Kontradisksi pertama misalnya pada praktik zikir dan doa setelah pelaksanaan shalat lima waktu. Moyoritas muslimin syafi’iyah di Indonesia membaca zikir dan doa setelah shalat lima waktu dengan suara keras, dilakukan secara berjamaah yang dipimpin oleh imam shalat. Sementara Imam Syafi’i dalam masalah ini mengatakan: “...pilihan yang baik bagi imam dan makmum adalah berzikir kepada Allah sehabis shalat dengan menyamarkan (suara perlahan) zikirnya. Kecuali, jika imam yang (jamaah) wajib belajar darinya, maka imam mengeraskan suara sampai ia tahu bahwa jamaah telah belajar (telah menguasai bacaan zikir), selanjutnya imam menyamarkan lagi zikirnya...” Lebih lanjut ia mengatakan: “Menurut pendapat saya, Rasulullah sedikit mengeraskan suaranya (dalam berzikir) adalah bertujuan untuk mengajarkan manusia...” (Al-Umm, 1:150). Intinya, Imam Syafii lebih suka berzikir dengan suara perlahan.

Kontradiksi selanjutnya misalnya pada pendapat Imam Syafi’i tentang azan untuk ibadah shalat Jumat. Di banyak masjid di Indonesia, umat Islam yang mengaku sebagai pengikut Mazhab Syafi’i mengumandangkan azan shalat Jumat sebanyak dua kali. Padahal Imam Syafi’i di dalam kitab Al-Umm (jilid 1:172-173) mengatakan: “Saya menyukai apabila azan Jumat dikumandangkan ketika imam masjid masuk dan duduk di atas mimbar. Bila itu sudah dilakukan, barulah muazzin mengumandangkan azan. Bila azan telah usai, segera bangkit dan berkhutbah tanpa menambah azan lagi...”

Kontradiksi lainnya terlihat pada praktik tahlilan dan amalan mengirim pahala untuk orang yang telah meninggal. Ibnu Katsir mengutip pendapat Imam Syafi’i dalam menafsirkan ayat 39 surah An-Najm dengan mengatakan: “...dari ayat ini, Imam Syafi’i berpendapat bahwa bacaan Alquran yang dihadiahkan kepada orang meninggal tidak akan sampai karena bukan amalnya yang ia kerjakan ketika masih hidup dan Rasulullah tidak pernah menganjurkan umatnya atau memberi contoh perbuatan seperti itu...”

Dalam kaitan dengan kenduri kematian, Prof Dr Wahbah Zuhaili, seorang ulama abad 21 dan merupakan pengikut Mazhab Syafi’i, dalam bukunya Al-Fiqhu Asy-Syafi’i al-Muyassar, mengatakan: “Dan apabila keluarga yang meninggal memasak makanan dan mengumpulkan orang-orang di rumah untuk menyantapnya, itu merupakan bid’ah yang tidak baik. Bahkan, hal itu diharamkan apabila ahli waris adalah orang kurang mampu dan biaya diambil dari harta peninggalan mayat.”

Imam Syafi’i merupakan ulama peletak pondasi ilmu Ushul Fiqh. Ulama ini sangat berkeinginan agar umat Islam melaksanakan ibadah sesuai dengan tata cara ibadah yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Hal ini terlihat pada satu kaidah (konsep) Ushul Fiqh yang diletakkan oleh Imam Syafi’i, yaitu: “Ashal dari suatu ibadah (ibadah mahdhah) adalah haram dilaksanakan sampai ada dalil yang menunjukkan kebolehan melaksanakannya.” Berdasarkan beberapa contoh kontradiksi di atas, terlihat banyak praktik keagamaan yang dilakukan oleh syafi’iyah di Indonesia termasuk Aceh, tidak sejalan dengan pendapat Imam Syafi’i atau dengan pendapat sebagian ulama syafi’iyah.

Menanggapi pernyataan yang menginginkan agar cara beribadah umat Islam di Aceh harus mengikuti Mazhab Syafi’i, pendapat tersebut perlu mempertimbangkan banyak hal. Misalnya, Mazhab Syafi’i yang manakah yang akan diikuti, apakah pendapat Imam Syafi’i atau pendapat ulama syafiiyah? Jika pendapat ulama syafi’iyah, maka ulama syafi’iyah yang manakah yang harus diikuti? Perlu alasan yang kuat ketika seseorang mengikuti ulama syafi’iyah tertentu dan mengapa meninggalkan pendapat ulama syafi’iyah yang lain. Misalnya, mengapa mengikuti pendapat Al-Mahalli dan mengapa meninggal Al-Nawawi, atau sebaliknya.

 Sebuah wasiat
Mengakhiri tulisan ini, penulis mengutip sebuah wasiat Imam Syafi’i dalam kaitan bagaimana seharusnya umat Islam bersikap dalam masalah ibadah. Imam Syafi’i berwasiat: “Meskipun aku telah mengatakan satu pendapat atau mengeluarkan satu ushul, kemudian datang keterangan dari Rasulullah yang menyelisihi pernyataanku, maka perkataan yang benar adalah perkataan Rasulullah.” Wasiat imam Syafi’i ini mengandung makna agar umat Islam selalu mengutamakan hadis Rasul sebagai dasar dalam beribadah. Dengan kata lain, pendapat Imam Syafii dapat diterima dan diikuti, jika pendapatnya sejalan dengan Alquran dan Al-Hadis.

Berdasarkan realitas di atas dan dalam konteks Raqan Aceh tentang Pokok-Pokok Syariat Islam, penulis berpendapat jika kalimat seperti yang tercantum pada ayat (2) dan (3) tetap dipertahankan, akan terjadi bias dan group prejudice dalam memahami, memaknai, dan menafsirkan pengertian “Mazhab Syafi’i”. Berdasarkan beberapa peristiwa yang telah terjadi di Aceh selama ini, pengertian Mazhab Syafi’i lebih ditentukan pemahamannya oleh banyaknya jumlah (kuantitas) pengikut atau pendukung sebuah pendapat, bukan berdasarkan dalil yang lebih kuat (rajih). Karenanya, penulis mengusulkan agar ayat (2) Raqan tersebut berbunyi: “Penyelenggaraan ibadah sebagaimana diatur dalam ayat (1) diamalkan dengan selalu berlandaskan kepada Al-qur’an dan Al-Sunnah Al-shahihah.”

Hal tersebut karena semua umat Islam, dalam berbagai dimensi ruang dan waktu, sepakat bahwa sumber utama ajaran Islam adalah Alquran dan Sunnah Rasulullah. Selain itu, Qanun tersebut perlu juga mengatur tentang adanya tasamuh (toleransi) beribadah, dengan mengakui adanya tanawwu’ fil ibadah (Rasulullah pernah melakukan suatu ibadah dengan cara pelaksanaannya yang berbeda-beda). Dengan semangat toleransi ini, diharapkan umat Islam di Aceh dapat beribadah dengan tenteram, tanpa ada diskriminasi mazhab, sehingga Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin benar-benar terwujud di bumi Serambi Mekkah. Semoga!

* Dr. Aslam Nur, M.A., Dosen Sejarah Sosial Intelektual Islam Indonesia, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh. Email: aslamnur@yahoo.co.id

No comments: