Peneliti Sejarah: Han Meumada Peugah Indatu Hayeu, Tapi…
Taqiyuddin Muhammad (kiri), Dr Suprayitno MHum (dua dari kiri) meneliti sejarah di Lamreh
">
LEBIH 90 mahasiswa Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) berteduh di sebuah pohon yang rindang di bukit Lamreh, Aceh Besar, Minggu, 28 September 2014. Mahasiswa menyimak dengan tekun paparan Peneliti Sejarah dan Kebudayaan Islam Taqiyuddin Muhammad tentang temuan penting warisan sejarah.
Taqiyuddin memaparkan temuan jejak peninggalan sejarah baik benda artefak berupa nisan Sultan dan pemuka Islam, keramik India, Cina, Vietnam, dan lainnya. (Baca: Temuan Peneliti di Lamreh Dari Makam Sultan Hingga Qadhi). Ia kemudian memotivasi para mahasiswa calon pemimpin bangsa itu agar tak sekadar memuji kejayaan masa lampau, tetapi bagaimana menjaga warisan sebagai identitas Aceh dan menyambung kembali kerja besar seperti indatu.
“Han meumada ngon peugah-peugah, ‘hai nenek lon hayeu, hebat’. Nye cuma peugah mantong han akan na ase sapeu, tetap ciep. Hana yum nye sengkira geu tanyoe han hayeu lagee kiban nyang ka geu peu buet lee nenek teuh jameun,” kata Taqiyuddin.
Berikut paparan Taqiyuddin saat memotivasi para mahasiswa Unsyiah:
“Tugas kita (semua pihak) kemudian adalah melestarikan. Kita mengajak dan mensosialisasikan kepada warga setempat dan masyarakat luas bahwa ini adalah warisan dari orang-orang dahulu. Orang-orang yang pernah menghuni tempat yang kita pijak ini. Ini warisan yang patut kita jaga sebagai bukti bahwa kita masyarakat kosmopolit, masyarakat yang sering bersinggungan dengan persoalan-persoalan dunia. Kita bukan berada dalam bruek (tempurung), hana ta teupeu sapeu. Tapi kita adalah warga dari masyarakat global, kita harus tahu perkembangan dunia, dan tetap menjaga identitas kita, dan apa yang kita miliki ini adalah istimewa.
Jadi kita inginkan seperti usaha Pak Husaini (Dr Husaini Ibrahim MA, Arkeolog Unsiah) untuk menjaga warisan Lamreh agar dapat kita warisi ke masa mendatang. Dari mulai adik-adik (mahasiswa) sekarang hingga anak cucu kita ke depan. Kita lestarikan ini sebagai identitas bangsa, identitas kita. Kita punya masa lalu yang jauh, dan memang pantas untuk dibanggakan. Dan kebanggaan itu bukan omong kosong, mereka telah melakukan kerja-kerja besar. Kerja-kerja besar itu patut kita beri penghormatan dan apresiasi. Sebagai masyarakat berbudaya yang beradab, kita akan mengapresiasi kerja-kerja besar yang telah dilakukan.
Apa yang dilakukan Pak Husaini adalah salah satu kerja besar dengan menggabungkan usaha ini dengan USM Malaysia, juga Pak Suprayitno (Dr Suprayitno MHum, Ketua Program Magister Ilmu Sejarah USU Medan). Ini adalah langkah-langkah yang sangat ril bahwa kita ingin melestarikan supaya dapat kita wariskan kepada generasi masa depa. Ini menjadi suatu latar belakang kita, kita menjadi bangsa yang punya sejarah, dan kita akan berperan sebagaimana orang dahulu berperan.
Jadi kon cerita-cerita mantong; ‘hai nek lon ureung hayeu’. Gadoh peugah nek tanyoe hayeu. Tapi bagaimana kita dapat memangku kembali tanggung jawab dan peran nenek kita itu. Nenek kita tanggung jawabnya apa, perannya apa, kerja besar yang mereka lakukan jangan kita padai pada mereka saja. Kita juga harus mampu mengulangi sejarah itu kembali.
Slogan kita: ‘melestarikan sejarah lewat kontinyunitas kerja dan berkarya’. Saya lihat satu hal yang terbaik dalam melestarikan sejarah itu bukan cuma kita ngomong-ngomong tentang sejarah. Akan tetapi, kita harus menyambung peran yang telah dilakukan pendahulu kita. Mereka belajar, bangkit menjadi orang yang berperan lebih besar. Kita juga harus bangkit untuk menyambung peran mereka.
Jadi tidak cukup masyarakat masa silam yang kaya dan jaya, masyarakat sekarang juga perlu kaya, kemapanan ekonomi. Artinya kita harus bekerja keras, menyambung peran itu, mereka telah bertanggung jawab pada kawasan yang luas di Asia Tenggara.
Aceh cukup terkenal. Kemana-mana kita datangi sampai ke Banjamasin kalau adik-adik lihat televisi pada bulan puasa, ditayangkan jejak sejarah Islam, ada batu nisan Aceh. Mereka meyakini orang Acehlah yang membawa Islam kepada mereka.
Nama Nuruddin Ar-Raniry itu tidak ada tak dikenal oleh kaum Muslim di Asia Tenggara, kecuali orang tidak mau membaca sejarah. Artinya mereka yang menelusuri sejarah Islam itu sampai bagaimana para pengajar-pengajar dari Aceh datang mengajarkan Islam, pasti tahu peran Nuruddin Ar-Raniry, begitu juga peran dari Syiah Kuala.
Sekarang kita ingin mengulangi peran itu. Jadi bukan cuma menceritakan peran pendahulu. Maka intinya kita harus tekun, terus belajar, mengembangkan pengetahuan agar lebih baik. Kalau nenek kita punya tanggung jawab menyebarkan Islam kemana-mana, kita mungkin punya tanggung jawab mengangkat kembali Asia Tenggara secara keseluruhan ke tingkat peradaban yang diakui oleh dunia luar sebagaimana nenek kita diakui pada masa lalu.
Inilah motivasi, bagi saya sendiri da juga untuk adik-adik (mahasiswa). Kita harus belajar dengan tekun, bekerja keras, menggali apa yang kita miliki, dan kemudian menyambung peran nenek kita. Han meumada ngon peugah-peugah, ‘hai nenek lon hayeu, hebat’. Nye cuma peugah mantong han akan na ase sapeu, tetap ciep. Hana yum nye sengkira geu tanyoe han hayeu lagee kiban nyang ka geu peu buet lee nenek teuh jameun.
Dari segi bahasa misalnya, tidak cukup dengan menguasai satu bahasa. Masuk ke Arkeologi Islam, bahasa Arab wajib. Dan percayalah kemampuan otak kita lebih besar, mungkin kita cuma menggunakan lima persen dari otak kita sudah berapa bahasa kita kuasai. Maka jangan takut-takut; “O… nyoe takot pungo meureunoe bahasa Belanda, han”.
Banyak catatan-catatan tentang Aceh awal-awal abad ke-20, itu ditulis oleh orang asing, orang Belanda. Banyak sekali. Termasuk saya lihat tadi malam, Perpustakaan (milik) Almarhum Gade Ismail, seorang Sejarawan Aceh, alumni (Universitas) Leiden (Belanda). Almarhum itu perlu pengganti dari generasi sekarang. Saya berharap ada dari adik-adik yang akan melanjutkan belajar ke Leiden, misalnya. “Amin…,” ucap para mahasiswa serentak.
Ya, harus semangat, misalnya punya obsesi; “saya perlu mencapai tingkat tertentu”. Itu saya rasa obsesi yang bagus. Dengan sarana internet sekarang tidak susah lagi untuk belajar bahasa. Orang-orang dahulu ketika internet belum berkembang, tapi mereka cukup tekun belajar, mengumpulkan dan mengoleksi buku-buku yang untuk sekarang susah untuk kita koleksi. Akan tetapi seperti Pak Husaini, salah satu generasi yang bekerja kuat mengumpulkan dan mengoleksi berbagai karya.
Maka sekarang belajar, apa saja yang suka, bahasa Prancis? Jadi han meumada ngon bahasa Aceh dan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia pih Cuma; ‘elo-elo, gue-gue’. Watee tayeu teumuleh ka bala, tidak sesuai dengan ejaan yang benar.[]
No comments:
Post a Comment