Peran Ratu Inayat Zakiatuddin Syah Saat Memerintah Kerajaan Aceh
Ilustrasi Istana Darud Donya
Ia dikenal cerdas dan mampu berbahasa Arab dengan lancar. Diplomasi politiknya dengan negara-negara luar juga sangat tegas.
RATU Inayat Zakiatuddin Syah merupakan Sultanah Kerajaan Aceh Darussalam ketiga pengganti Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin. Ia telah lama disiapkan oleh Sri Ratu Safiatuddin sebagai pengganti keduanya memimpin Kerajaan Aceh.
Rusdi Sufi dan Muhammad Gade Ismail dalam buku Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah, menuliskan kesaksian orang-orang Inggris yang datang ke Aceh pada 1684. Saat itu, pemimpin Aceh tersebut berusia 40 tahun.
Ia digambarkan sebagai seorang yang berbadan tegap dan memiliki suara yang keras.
Ratu Inayat Zakiatuddin Syah dalam memimpin kerajaan Aceh menggunakan Syaikh Abdur Rauf yang dikenal sebagai Teungku Syiah Kuala sebagai mufti sekaligus penasehatnya.
Hoesien Djajadininggrat dalam buku “Critisch Overzicht van de in Maleische Werken Vervae Gegevens Over de Geschiedenis van Het Soeltanaat van Atjeh” mengungkapkan, Ratu Inayat Zakiatuddin Syah juga meminta Syaikh Abdur Rauf, ulama besar Aceh untuk mengarang kitab yang berisi tentang ulasan dan kumpulan Arba’in kompilasi 40 hadis yang berasal dari Nawawi.
Beberapa utusan luar negeri seperti dari Mekkah dan Inggris datang ke Aceh membuka diplomasi masa pemerintahan Ratu Inayat Zakiatuddin Syah. Ia juga pernah menolak izin pendirian kantor dagang sekaligus benteng pertahanan milik Inggris pada 1684 M.
"Sebagai penguasa kerajaan Aceh ia menyadari dan mengerti arti sebuah benteng pertahanan bagi warga asing di wilayah kekuasaannya. Ratu Inayat Zakiatuddin Syah hanya mengizinkan pihak Inggris mendirikan kantor maskapai perdagangannya di pelabuhan Aceh," tulis Rusdi Sufi dalam bukunya.
Menurutnya Kerajaan Aceh mampu memberikan perlindungan untuk kantor perdagangan Inggris dan tidak memerlukan benteng pertahanan. Jawaban tegas tapi diplomatis dari Ratu Inayat Zakiatuddin Syah menunjukkan ketangguhan politik sang ratu dalam menjalin hubungan dengan luar negeri.
Selain itu, masa pemerintahan ratu ketiga ini juga dilengkapi dengan mengeluarkan mata uang emas milik kerajaan. Mata uang emas tersebut menjadi alat tukar sah di wilayah Kerajaan Aceh Darussalam.
Sejarawan terkenal dari Aceh, T. Ibrahim Alfian dalam bukunya Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan di Aceh, menjelaskan kadar emas dalam uang tersebut yaitu 17 karat, berdiameter 13 mili meter (mm) dengan berat 0,55 gram.
"Pada bagian muka uang emas itu tertulis dengan aksara Arab, Paduka Seri Sultanah Inayat Syah. Sedangkan pada bagian sisi belakang tertulis Zakiat at-Din Syah Berdaulat. Ratu Zakiatuddin Syah memerintah di Kerajaan Aceh selama sebelas tahun dari tahun 1677 hingga 1688," tulisnya.[]
Boy NA AP
No comments:
Post a Comment