Syekh Hasan Maksum menuntut ilmu di Makkah selama sembilan tahun.
Pada 1894 M, Hasan ikut bersama dengan rombongan dari Sumatra yang hendak menunaikan ibadah haji. Seluruhnya transit terlebih dahulu di Pulau Temasek (kini Singapura). Sesampainya di Tanah Suci, Hasan turut melaksanakan rukun Islam kelima itu. Akan tetapi, sesudah masa haji dirinya tetap bertahan di Masjid al-Haram. Di sana, ia berguru dengan sejumlah alim ulama, antara lain, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.Waktu itu, mubaligh asal Sumatra Barat itu merupakan pengajar di Makkah. Darinya, Hasan muda mempelajari banyak ilmu, terutama fiqih.
Selain itu, perantauan asal Deli ini juga belajar ke pada sejumlah ulama dari Indonesia lainnya, seperti H Abdussalam. Gurunya itu berasal dari Kampar dan namanya cukup terkenal di Kota Suci. Maksum juga belajar kepada Muhammad Khayyath, seorang ulama ternama di Tanah Haram, khususnya mengenai tasawuf. Disiplin keilmuan tata bahasa Arab-nahwu dan sharaf-dipelajarinya dari Syekh Abdul Malik. Tak hanya Makkah, Madinah juga menjadi kota tambatannya dalam menuntut ilmu.Di Kota Nabi, ia belajar kepada Syekh Amin Ridwan, seorang alim yang berdarah Minangkabau.
Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar dalam artikelnya yang terbit di Journal of Contemporary Islam and Muslim Societies menjelaskan, Hasan Maksum menjalani rihlah keilmuan di Tanah Suci selama sembilan tahun. Setelah itu, ia kembali bersama rombongan jamaah haji Nusantara ke Medan, via Singapura dan Labuhan.
Selang beberapa waktu kemudian, Hasan Maksum bertolak lagi ke Makkah. Kali ini, safar keilmuan itu dijalaninya selama tiga tahun.Sesudah itu, ia pulang ke Tanah Air antara lain untuk melangsungkan pernikahan. Berikutnya, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Menurut Arwin, pada periode itulah namanya mulai populer di komunitas penuntut ilmu di Makkah.
Di sana, Syekh Hasan juga menjadi seorang ulama yang banyak memiliki murid dari Nusantara.Sebagai guru di Masjid al-Haram, ia kerap berinteraksi dengan sesama alim ulama dari berbagai bangsa. Fokusnya bukan lagi masalah keislaman, sosial, atau politik Tanah Air, melainkan dunia Islam pada umumnya.
Suatu kali, ia pernah mengikuti pertemuan para ulama sekota Makkah. Rapat ini dipimpin mufti mazhab Syafii setempat, yakni Syekh Sayyid Abdullah, serta hakim agung Hijaz Syekh Abdullah Sarraj. Para peserta berasal dari kalangan ulama macam-macam mazhab, yakni Syafii, Hanbali, dan Maliki. Selain Syekh Hasan sendiri, ada pula Syekh Abdullah bin Ahmad, Syekh Darwis Amin, Syekh Muhammad Ali Husain, Syekh Abdullah bin Abbas, Syekh Abdul Qadir bin Sabir Mandiling, serta Syekh Mahmud Fathani.
Diundangnya Syekh Hasan merupakan salah satu bukti pengakuan masyarakat alim di Tanah Suci terhadap ketinggian ilmunya. Ia juga di pandang se bagai salah satu tokoh penting pemegang teguh paham Ahlus sunnah wa al-Jama'ah. Umur nya kala itu adalah 32 tahun. Dalam usia yang relatif muda, Syekh Hasan telah diakui sebagai ulama besar. Murid-muridnya banyak dan tak sedikit pula yang berasal dari Nusantara. Setelah dua dekade mengajar di Masjid al-Haram, ia pun dengan memboyong keluarganya kembali ke Tanah Air pada 1916.
No comments:
Post a Comment