Betawi dari Masa ke Masa
-->
Dalam budaya tradisional Betawi, pengaruh ulama di tengah masyarakat begitu besar.
HASANUL RIZQA
Betawi merupakan sebutan untuk suku bangsa yang mendiami daerah Jakarta, sebagian Jawa Barat dan Banten. Setidaknya, itulah yang tercatat dalam kamus.
Alwi Shahab dalam artikel Penduduk Asli Betawi (2006) mengatakan, penduduk asli Betawi adalah penduduk Nusa Jawa, seumpama orang Sunda, Jawa, atau Madura. Mengutip sejarawan Sagiman MD, orang-orang Betawi telah menghuni daerah yang kini menjadi Ibu Kota itu sejak zaman Neolitikum.
Sementara itu, tokoh Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) yang juga alumnus Fakultas Sejarah Universitas Indonesia (UI), Yahya Andi Saputra, berpendapat, penduduk Betawi pada masa dahulu berbahasa Kawi atau Jawa Kuno. Seperti halnya orang-orang Jawa atau Sunda, mereka pun sudah mengenal aksara hanacaraka.
Pada abad kedua Masehi, wilayah Betawi masuk dalam kekuasaan Salakanagara atau Holoan yang berpusat di kaki Gunung Salak. Sebagaimana daerah-daerah pesisir lainnya di Nusantara, rakyat Salakanagara di muara Sungai Ciliwung itu pun akrab dengan perniagaan dengan bangsa-bangsa luar. Bahkan, pada 432 Salakanagara diketahui telah mengirim utusan dagang ke Cina.
Pada akhir abad kelima, Tarumanagara meluaskan pengaruhnya hingga ke wilayah Betawi. Kerajaan Hindu itu berpusat di tepi Sungai Candrabagha, yang oleh guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Poerbatjaraka diidentifikasi sebagai Sungai Bekasi.
Raja Tarumanagara cenderung pada sektor pertanian. Pemerintahannya diwarnai pembangunan banyak bendungan untuk mendukung irigasi. Sejak saat itu, rakyat setempat --termasuk masyarakat Betawi-- mengenal persawahan menetap.
Pada medio abad ketujuh, Sriwijaya datang dari Pulau Sumatra untuk menaklukkan Tarumanagara. Kerajaan Buddha itu tak sekadar mengukuhkan kekuasaan politik, tetapi juga pengaruh budaya, terutama dalam abad ke-10.
Sejak saat itu, bahasa Melayu mulai menggusur dominasi bahasa Kawi sebagai bahasa pergaulan (lingua franca). Penyebabnya, Shahab menyebutkan, perkawinan antara penduduk asli dan pendatang yang berbahasa Melayu. Mula-mula, penutur bahasa Melayu sebatas di daerah pesisir. Lama kelamaan, bahasa itu juga dipakai masyarakat penghuni kaki Gunung Salak dan Gunung Gede.
Ridwan Saidi dalam Warisan Budaya Betawi (2000) menegaskan, pada masa peralihan kekuasaan dari kerajaan Hindu ke kerajaan Buddha itu penduduk Betawi sudah mengenal kebudayaan yang khas. Ini didukung dengan besarnya jumlah populasi setempat. Saat masih menjadi rakyat Tarumanagara, menurut Saidi, penduduk Betawi paling sedikit berjumlah 100 ribu jiwa.
Asumsinya, jika seekor lembu dapat dikonsumsi 30 orang, maka pesta itu paling sedikit dihadiri 30 ribu orang. Anggaplah 5.000 orang pemuka keraton Tarumanagara ikut hadir. Alhasil, rakyat yang ikut pesta itu sekurang-kurangnya 25 ribu orang. Dengan pengandaian satu unit keluarga empat orang, maka populasi penduduk mencapai sekitar 100 ribu orang.
Dominasi Sriwijaya di Jawa bagian barat menyusut pada abad ke-12. Selanjutnya, Pajajaran muncul sebagai kekuatan baru yang berpusat di Batutulis, Bogor. Kerajaan Hindu itu memiliki banyak bandar. Yang terpenting di antaranya ialah Sunda Kelapa. Sementara itu, antara abad ke-13 hingga 15 kedaulatan kian menyebar di sekujur Nusantara. Pada 1475, Raden Patah mendirikan kerajaan Islam di Demak.
Raja Demak ketiga, Sultan Trenggono, melakukan ekspansi ke arah barat. Bersama dengan adik iparnya, Syarif Hidayatullah, ia menggerakkan pasukan untuk merebut Sunda Kelapa dari tangan kekuasaan Pajajaran. Sebab, kerajaan Hindu itu telah berkoalisi dengan Portugis.
Pada 22 Juni 1527 atau 22 Ramadhan 933 H, Sunda Kelapa berhasil menjadi bagian dari kedaulatan Islam di Tanah Jawa. Nama pelabuhan itu diubah menjadi lebih islami --Fathan Mubina alias Jayakarta-- dan dimasukkan sebagai bagian dari pengaruh Demak, hingga akhirnya Kesultanan Banten.
Di tengah hiruk-pikuk perebutan kekuasaan politik itu, menurut Babe Saidi, orang-orang Betawi memilih tak melibatkan diri. Ia berpendapat, mereka tak pernah membantu naik atau turunnya penguasa, sejak zaman Tarumanagara, Pajajaran, hingga Jayakarta. Termasuk ketika para pemimpin Jayakarta diserang serdadu Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC/Kompeni) Belanda. Penyebabnya, lanjut Babe Saidi, baik Pajajaran maupun Banten hendak memaksakan penduduk Betawi untuk menggunakan bahasa Sunda.
Barulah pada 1628-1629, ketika pasukan Mataram berkali-kali menyerbu Batavia (nama sesudah Jayakarta dicaplok Kompeni), penduduk Betawi membuka diri untuk bekerja sama. Babe Saidi menuturkan, masyarakat lokal kala itu melihat Sultan Agung tak memaksakan mereka agar berbicara dengan bahasa Jawa. Bahkan, sambung dia, balatentara dari Mataram itu berupaya untuk melakukan komunikasi dalam bahasa Betawi.
Sultan Agung sendiri bertekad mengusir Belanda dari Tanah Jawa. Namun, dua kali misi militer ke Batavia itu berakhir dengan kegagalan. Sisi baiknya, kontak antara Mataram dan Betawi semakin terjalin erat. Beberapa punggawa Mataram bahkan menetap di wilayah Betawi. Di antara mereka, ada yang ahli dalam urusan agama. Mereka tak hanya mengajarkan Islam, tetapi juga menginisiasi pendirian sejumlah surau --yang kini menjadi masjid bersejarah di DKI Jakarta dan sekitarnya. Alhasil, dakwah Islam semakin mendapatkan momen untuk berkembang.
Nama Betawi
Babe Saidi mengatakan, nama Betawi baru dikenal pada abad ke-18. Ini barangkali berkenaan dengan kebiasaan masyarakat lokal dalam menyebut Batavia secara "keliru" sehingga menjadi Betawi. Bagaimanapun, tentu saja kebudayaan setempat sudah tumbuh berkembang jauh sebelum Belanda datang. Mengutip buku Rumah Etnik Betawi (2013), penelitian telah dilakukan di situs-situs arkeologis di Babelan, Bekasi, Karawang, dan Subang.
Banyak anting ditemukan di lokasi-lokasi itu yang diketahui berasal dari abad kedua Masehi. Artinya, kawasan tersebut sudah memiliki corak kebudayaan sendiri sebelum kedatangan penduduk berbahasa Melayu sekitar abad ke-10, yakni seiring pengaruh Imperium Sriwijaya. Masyarakat proto Betawi itu menghuni daerah sekitar aliran sungai-sungai besar, semisal Ciliwung, Cisadane, Kali Bekasi, dan Citarum.
Sebelum zaman penjajahan pun, Babe Saidi mengatakan, penduduk Betawi sudah disebut dengan berbagai nama. Ketika Islam datang, mereka dinamakan orang Selam. Ketika dikuasai Pajajaran, mereka dipanggil kaum langgaran. Sebab, penguasa Pajajaran menganggap mereka telah melanggar ajaran pusaka Sunda. Sebutan itu bahkan membekas hingga kini pada istilah langgar, yang berarti 'masjid'. Adapun saat era Jayakarta, masyarakat Betawi disebut sebagai orang Jawa.
Hal itu bukan berarti kebudayaan Betawi tidak ada pada zaman pra-Islam. Menurut Saidi, keliru bila menilai kebudayaan Betawi baru berkembang sejak bersentuhan dengan Hindu, Cina, Islam, dan Eropa.
Ia mencontohkan, dalam mitologi Betawi, hewan-hewan tertentu, seperti macan atau buaya, mendapatkan tempat "terhormat". Pengaruh ini tidak datang dari Hindu yang menghormati lembu, atau Cina dan Eropa, apalagi Islam. Artinya, ada kekhasan tersendiri yang dihasilkan sejarah penduduk setempat sebelum datangnya pengaruh dari luar.
Betapapun demikian, mantan anggota DPR itu mengakui Betawi seperti halnya kebudayaan-kebudayaan di Nusantara. Kaya akan interaksi dan akulturasi dengan beragam budaya. Ini wajar kiranya. Sebab, sejak ratusan tahun silam kawasan muara di Teluk Jakarta sudah disinggahi berbagai kapal dari bangsa-bangsa dunia.
Islam dan Jakarta tak Terpisahkan
Aspirasi keislaman sudah melekat di Jakarta sejak masa silam. Menurut Ridwan Saidi, seperti dikutip dalam Genealogi Intelektual Ulama Betawi, Islam masuk pertama kali ke wilayah kebudayaan Betawi sejak dibawa Syekh Quro atau Syekh Qurotul Ain pada abad ke-15.
Ulama asal Campa itu lantas mendirikan masjid dan pusat pengajaran Islam di Karawang. Artinya, syiar Islam sudah diterima masyarakat Betawi sebelum pengusiran Portugis dari Sunda Kelapa pada 1527.
Jejak perjuangan Muslimin Betawi dapat terbaca jelas setidaknya sejak abad ke-16. Yakni, ketika Syarif Hidayatullah dan Fatahillah (Falatehan) berhasil mengamankan Sunda Kelapa dari ancaman Portugis. Keduanya juga mengubah nama setempat menjadi Jayakarta (disingkat: Jakarta). Mereka pun tak sekadar pemimpin politik-militer, melainkan juga ulama.
Fatahillah ketika pertama kali mendarat di Sunda Kelapa segera membangun masjid di Marunda (Jakarta Utara). Menurut Dr F de Haan dalam buku Periangan, daerah Marunda dalam abad ke-16 menjadi pusat gerilyawan Islam, baik dari Cirebon, Demak, maupun Banten. Sesudah berhasil mengusir Portugis, Falatehan mendirikan keraton, masjid, alun-alun, dan pasar.
Masa berikutnya, Kompeni Belanda merebut Jayakarta. Bangsa Eropa ini mengubahnya menjadi Batavia. Tatanan islami yang dibangun Falatehan diratakan dengan tanah. Bangunan fisik dapat sirna. Akan tetapi, semangat berjuang tak padam dari dada pejuang Muslim.
Ini terbukti, misalnya, pada abad ke-17 ketika Mataram Islam hendak mengusir Belanda dari Jakarta. Dengan pimpinan Tumenggung Bahurekso, pasukan Muslim juga mendirikan Masjid al-Alam di Marunda. Di sanalah rencana penyerangan terhadap benteng-benteng Belanda disusun. Pemusatan kekuatan pun dilakukan di masjid tersebut.
Selain itu, pihaknya juga membangun Masjid al-Nawir di Pekojan. Masjid-masjid lainnya yang bersejarah jihad di Tanah Betawi ialah Masjid Luar Batang. Didirikan bersamaan waktunya dengan pembangunan tempat tinggal gubernur jenderal Kompeni.
Perintisnya adalah seorang ulama keturunan Rasulullah SAW asal Hadramaut, Habib Husein bin Abubakar bin Abdillah Alaydrus. Peranan kaum habaib menunjukkan, kuatnya solidaritas antara keturunan Arab dan etnis Betawi dalam semangat berislam sekaligus tekad melawan penjajah.
Jakarta sebagai salah satu permata peradaban Islam di Nusantara terus mengemuka memasuki abad modern. Banyak tokoh agama Islam lahir dari sana. Pengaruhnya pun tak berbatas pada komunitas lokal, melainkan juga regional dan bahkan dunia.
Bila ditilik sejak setidaknya abad ke-19, kata Azyumardi Azra dalam pengantar buku Genealogi Intelektual Ulama Betawi (2011), kaum alim dari Betawi jelas terlibat dalam jaringan ulama internasional yang berpusat terutama di Makkah al-Mukarramah.
Untuk menyebut satu contoh saja: Syekh Junaid al-Batawi. Ia adalah orang Indonesia pertama yang menjadi imam besar Masjid al-Haram. Selama puncak kariernya, tokoh kelahiran Pekojan itu digelari sebagai gurunya guru (syaikhul masyakih) para ulama mazhab Syafii. Di dalam negeri, ia dipandang sebagai poros silsilah ulama Betawi hingga zaman modern.
Dalam budaya tradisional Betawi, pengaruh ulama di tengah masyarakat begitu besar. Ini menandakan tingginya religiusitas mereka. Kaum alim selalu mendorong perjuangan melawan ketidakadilan. Sejak zaman JP Coen hingga prakemerdekaan Indonesia, nyali penduduk Betawi --khususnya kalangan jagoan mereka-- begitu tinggi.
Kisah Si Pitung atau Entong Gendut menjadi legenda bahkan hingga kini. Begitu pula selama revolusi fisik, yakni periode 1945-1949. Ulama-ulama Betawi terjun langsung memimpin umat di medan pertempuran, dalam semangat jihad fii sabilillah.
No comments:
Post a Comment