Peristiwa Besar Saat Gerhana Matahari Zaman Nabi, Kini Pertanda Apa?
Gerhana Matahari cincin di atas New Mexico. Foto/Ilustrasi/apod.nasa.gov/Colleen Pinski |
Gerhana Matahari Cincin pada 27 Januari 632 M yang bertepatan dengan 29 Syawal 10 hijriyah adalah hari berduka bagi kaum muslimin. Kala itu, putra Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam (SAW) bernama Ibrahim meninggal dunia. Buah hari Rasulullah dengan Sayyidah Mariyah itu meninggal tatkala masih bayi.
Kala itu, di kota suci Madinah, gerhana tersebut tampak sebagai gerhana sebagian di pagi hari dengan 76% cakram Matahari tertutupi saat puncak gerhana.
Lantaran terjadinya gerhana matahari bertepatan dengan meninggalnya putra Rasulullah, banyak kalangan umat Islam yang menghubung-hubungan kedua peristiwa tersebut. Ada yang menganggap itu sebagai mukjizat Nabi Muhammad SAW.
Muhammad Husain Haekal dalam "Sejarah Hidup Muhammad" melukiskan karena cintanya yang begitu besar kepada Ibrahim, dan rasa duka yang begitu dalam karena kematiannya, adakah ia lalu merasa terhibur mendengar kata-kata itu, atau setidak-tidaknya akan didiamkan saja, menutup mata melihat orang sudah begitu terpesona karena telah menganggap itu suatu mujizat?
"Tidak," tulis Haekal. "Dalam keadaan serupa itu, kalau pun ini layak dilakukan oleh mereka yang suka mengambil kesempatan karena kebodohan orang, atau layak dilakukan oleh mereka yang sudah tak sadar karena terlampau sedih, buat orang yang berpikir sehat tentu hal ini tidak layak, apalagi buat Nabi Besar!" lanjutnya. Baca juga: Mengupas Mitos hingga Takhayul Dibalik Peristiwa Gerhana Matahari
Oleh karena itu, usai memakamkan putranya, Rasulullah SAW menjelaskan gerhana tidaklah berhubungan dengan hidup matinya seseorang. Karena Bulan dan Matahari adalah dua dari sekian banyak tanda–tanda kekuasaan Allah SWT. Nabi Muhammad SAW kemudian meminta Umat Islam agar segera berzikir dengan menunaikan salat gerhana tatkala menyaksikan peristiwa gerhana.
Rasulullah melihat mereka yang mengatakan bahwa matahari telah jadi gerhana karena kematian Ibrahim, dalam khutbahnya kepada mereka ia berkata:
"Matahari dan bulan ialah tanda kebesaran Tuhan, yang tidak akan jadi gerhana karena kematian atau hidupnya seseorang. Kalau kamu melihat hal itu, berlindunglah dalam zikir kepada Tuhan dengan berdoa."
Haekal menyatakan sungguh suatu kebesaran yang tiada taranya. Rasul tidak melupakan risalahnya itu dalam suatu situasi yang begitu gawat, situasi jiwa yang sedang dalam keharuan dan kesedihan yang amat dalam!
Kalangan Orientalis dalam menanggapi peristiwa yang terjadi terhadap diri Rasulullah ini, tidak bisa lain mereka bersikap hormat dan kagum sekali! Mereka tidak dapat menyembunyikan rasa kekaguman dan rasa hormatnya itu kepadanya.
"Mereka menyatakan pengakuan mereka tentang kejujuran orang itu, yang dalam situasi yang sangat gawat ia tetap mempertahankan hak dan kejujurannya yang sungguh-sungguh!" tulis Haekal.
Baca juga: Muhammadiyah Terbitkan Maklumat Salat Gerhana Matahari Cincin
Tiga Peristiwa Besar
Menurut Muhammad Ma’rufin Sudibyo, pengurus LF Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), berdasarkan data hisab Five Millenium Canon of Solar Eclipses yang disilangkan dengan data sejarah, pada zaman dahulu, terdapat tiga peristiwa besar yang terjadi saat gerhana matahari.
Selain pada saat putra Rasulullah SAW meninggal, peristiwa besar kedua adalah gerhana matahari total pada 9 Mei 1533 SM bertepatan dengan masa Nabi Ibrahim AS di Tanah Palestina. Menurut Ma’rufin, gerhana tersebut berlangsung kala matahari dalam proses terbenam.
Selanjutnya yang ketiga, Ma’rufin menyebut bahwa pernah juga terjadi gerhana matahari cincin (GMC) yang bertepatan dengan pertempuran puncak penaklukan tanah Palestina oleh pasukan di bawah pimpinan Nabi Yusya, tepatnya pada 30 Oktober 1207 SM.
Selain itu, gerhana matahari juga terjadi pada 24 November 569 M, berdekatan dengan masa kelahiran Rasulullah SAW. Saat itu, terjadi peristiwa gerhana matahari total (GMT). Namun, gerhana nampak sebagian di Kota Makkah.
“Di Kota Suci Makkah, gerhana itu nampak sebagai gerhana sebagian di pagi hari dengan 64 persen cakram matahari tertutupi,” tutur Ma’rufin.
Konjungsi Bulan-Matahari
Hari ini, Ahad (21/6/2020) atau bertepatan dengan 29 Syawwal 1441 H masyarakat Indonesia juga akan kembali menyaksikan Gerhana Matahari Cincin (Annular). (Baca juga: Besok Gerhana Matahari Cincin, Begini Tata Cara Salat Gerhana Pendek)
Sebagian besar masyarakat Indonesia berkesempatan menyaksikan gerhana matahari ini meski dalam wujud gerhana sebagian, karena hanya sebagian kecil paras Matahari yang tertutupi oleh Bulan.
Gerhana matahari (al–kusuf asy–syams) terjadi saat bumi, bulan, dan matahari benar-benar sejajar dalam satu garis lurus ditinjau dari perspektif tiga dimensi, dengan Bulan berada di antara Bumi dan Matahari.
KH Sirril Wafa, Ketua Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengatakan dalam khazanah ilmu falak, Gerhana Matahari terjadi bersamaan dengan konjungsi Bulan-Matahari (ijtima’) dengan Bulan menempati salah satu di antara dua titik nodalnya.
Titik nodal, terangnya, merupakan titik potong khayali di langit di mana orbit Bulan tepat memotong ekliptika (masir asy–syams), yakni bidang edar orbit Bumi dalam mengelilingi Matahari.
“Sebagai akibat kesejajaran tersebut maka pancaran sinar Matahari yang menuju ke Bumi akan terblokir sedikit oleh Bulan. Maka peristiwa Gerhana Matahari selalu terjadi di siang hari,” kata dosen Ilmu Falak UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Lebih lanjut, Kiai Sirril Wafa menjelaskan bahwa pemblokiran tersebut terjadi secara tidak merata di sekujur paras bumi yang sedang terpapar sinar matahari pada saat itu. Melainkan hanya di sektor–sektor tertentu saja yang bergantung pada geometri orbit Bulan kala kesejajaran tersebut terjadi. Hal tersebut mengingat ukuran bulan jauh lebih kecil dibanding bumi. (Baca juga: Lafaz Niat Puasa Sunnah Kamis dan Keutamaannya)
(mhy)
No comments:
Post a Comment