Ada banyak pahlawan yang berjuang menentang apartheid di Afrika Selatan. Sejumlah nama yang cukup dikenal di antaranya Nelson Mandela, Sisulu, Tutu, dan Biko. Namun, ada nama yang kurang dikenal yang turut memperjuangkan perlawanan terhadap apartheid yang juga merupakan seorang ulama Muslim di Afrika, yakni Abdullah Haron.
Pemimpin Muslim asal Cape Town ini memimpin perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang rasialis pada 1960-an secara signifikan. Namun, ia secara khusus dipolitisasi oleh gerakan pembantaian dari para pengunjuk rasa Kulit Hitam Afrika 69 di Sharpeville pada 1960.
Kegiatan anti-apartheid yang dipimpinnya membawanya ke seluruh dunia. Dia menjalin hubungan dekat dengan tokoh anti-apartheid terkenal Canon John Collins, yang juga Pendeta di Katedral St Paul di London, Inggris.
Akan tetapi, kiprahnya dalam gerakan menentang apartheid juga menempatkannya dalam bahaya besar. Dilansir di Aljazirah, Kamis (17/9), Haron ditahan tanpa dakwaan dan menerima penyiksaan ketika kembali ke Cape Town.
Hingga akhirnya, ia wafat saat berada dalam tahanan polisi pada 1969 dalam keadaan yang masih misteri. Polisi mengklaim Haron jatuh dari tangga. Penjelasan umum itu disampaikan saat kematian para tahanan politik yang ada dalam penahanan polisi.
Imam Haron adalah imam termuda di Afrika Selatan. Pada usia 32 tahun, dia ditunjuk sebagai imam di Masjid Stegmann Road di Cape Town pada 1955. Dia juga merupakan sosok perintis dalam komunitas Muslim ras campuran yang konservatif di Cape Town.
Imam kelahiran 8 Februari 1924 itu tercatat pernah mengenyam pendidikan Islam di Makkah di mana dia dibimbing oleh Syekh Abdurahman al-Alawi al-Maliki. Dia kemudian melanjutkan studinya di bawah bimbingan Syekh Abdullah Taha Gamieldien dan Syekh Ismail Ganief. Ketiga syekh ini memiliki pengaruh berarti dalam ide dan aktivitas imam Haron.
Haron kemudian menjejakkan kiprahnya untuk mengajar di sekolah Muslim. Pandangan sang imam dipengaruhi oleh kekuatan internal dan eksternal. Dia bergaul dengan mereka yang mempersiapkan diri untuk membangun profesi mengajar dan berdagang dan kerap menghadiri Liga Guru Afrika Selatan (TLSA) dan Gerakan Persatuan Non Eropa (NEUM). Sementara itu, secara eksternal dia dipengaruhi oleh ide-ide Ikhwanul Muslimin Mesir dan gerakan Arab-India lainnya.
Haron dilantik sebagai imam Masjid Al-Jamia di Claremont pada 1955. Bersama teman-teman dekatnya, ia mendirikan Claremount Muslim Youth Association (CMYA) pada 1958.
Organisasi ini juga membentuk koran bulanan, yang mencakup masalah budaya, agama, dan politik. Surat kabar itu memainkan peran yang sangat fungsional karena terus memberi informasi kepada Muslim tentang masalah-masalah Islam yang terjadi di Cape, bagian lain Afrika Selatan, dan di jantung Muslim.
Pada awal 1960-an, Haron dan CMYA mengundang berbagai tokoh terkemuka dari berbagai latar belakang untuk berbicara tentang berbagai topik. Orang-orang seperti Zac de Beer dari Partai Progresif, Ray Alexander dari Food and Canning Union, dan Eulalie Stott dari Black Sash berbicara kepada mereka tentang aspek-aspek yang relevan dari organisasi mereka.
Ide-ide ini memberi Haron dan anggota CMYA perspektif yang lebih jelas tentang bagaimana orang lain berpikir, dan bagaimana mereka perlu menanggapi perkembangan kontemporer. Pertukaran ini membantu mereka merumuskan ide-ide mereka sendiri tentang Islam dan masyarakat.
Hal itu lantas mendorong mereka mengedarkan pamflet anti-apartheid berjudul Panggilan Islam yang terkenal pada 1961. Selain mendengarkan berbagai sudut pandang, mereka juga menjaga hubungan dekat dengan sejumlah aktivis seperti Alex la Guma (wafat pada 1985) dan Albie Sachs (anggota CPSA), Prof. Hoffenberg (mantan Profesor Musik UCT), dan Robert Sobukwe (pemimpin Pan Africanist Congress/PAC).
Ide-ide sang imam tidak hanya disalurkan melalui Berita Muslim, tetapi juga melalui khutbah Jumat dan ceramah umum selama akhir 1950-an dan 1960-an. Dalam khutbah dan ceramah inilah, dia secara kritis berkomentar tentang hukum rasial yang berbeda dan biadab.
Ketika pawai pimpinan PAC 1960 yang terkenal sedang berlangsung di Cape Town, Imam menyampaikan khutbah Jumat yang penting yang menekankan konsep persaudaraan manusia dalam Islam dan peran Muslim selama masa itu. Dia juga mendesak mereka untuk mendukung orang Afrika yang diperlakukan lebih buruk dalam sistem rasialis.
Pada 1968, dia melakukan perjalanan ke Makkah dan bertemu dengan para pejabat Arab Saudi, termasuk Raja Faysal. Dia juga menyambangi Mesir dan sejumlah negara dan bertemu dengan para tokoh. Kala itu, posisinya di Afrika Selatan sudah berbahaya.
Pada 28 Mei 1969, Haron dipanggil oleh Kantor Cabang Keamanan yang terkenal kejam ke Caledon Square. Di sana, dia diinterogasi atas keterlibatannya dalam perjuangan menentang sistem rasialisme.
Dia kemudian ditahan oleh polisi dan tanpa komunikasi selama lebih dari empat bulan (123 hari). Haron akhirnya meninggal dalam penyiksaan polisi pada 27 September 1969.
Pada 9 September 2019, Masjid Stegman dan kuburannya di Pemakaman Muslim Mowbray dinyatakan secara resmi sebagai situs warisan provinsi Cape Town, sebagai bentuk menghormati dan mengenang kontribusinya terhadap perjuangan atas kebebasan dan demokrasi. Pengajuan status warisan sejarah itu diluncurkan oleh Imam Haron Foundation.
https://www.aljazeera.com/programmes/aljazeeraworld/2020/09/south-africa-imam-fought-apartheid-200916064539198.html
No comments:
Post a Comment